Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jerat yang tak terlihat
Setelah berpisah dari Rindi dan Rindu, aku pikir aku akan bisa menjalani hari-hari dengan lebih tenang. Aku masih berhubungan dengan mereka, walaupun kami tidak lagi sedekat dulu. Kalau pun sedang bersama, mereka berdua lebih memilih diam namun tetap memperhatikan aku. Mereka kini lebih sering bersama Mutia dan Cahaya, dua orang yang juga cukup dikenal di kelas dengan kenakalannya. Aku pun lumayan dekat dengan mereka, tapi tetap saja, rasanya masih ada jarak.
Wilona dan Suci, dua nama yang kini selalu bersamaku. Hubungan kami terlihat baik-baik saja di permukaan. Wilona bahkan sudah meminta maaf atas semua yang terjadi sebelumnya. Aku mencoba untuk percaya bahwa dia benar-benar berubah. Mungkin dia menyesal, mungkin dia ingin memperbaiki semuanya. Tapi ternyata, permintaan maafnya hanya sebuah kedok. Dia hanya ingin membuatku lengah.
Awalnya, semuanya berjalan normal. Kami bercanda, belajar bersama, dan sesekali makan di kantin. Tapi perlahan, aku mulai menyadari pola yang sama. Mereka mulai menyuruhku melakukan sesuatu untuk mereka. Awalnya hal kecil-meminjamkan alat tulis, membantu mereka mencatat pelajaran, atau membelikan jajanan di kantin. Aku menurut, karena aku tidak ingin dianggap sombong atau tidak peduli. Aku tidak enakan, dan mereka tahu itu.
Namun, semakin hari, permintaan mereka semakin berlebihan. Mereka mulai memintaku mengerjakan PR mereka, bahkan membantu mereka dalam ujian dengan cara yang tidak seharusnya. Mereka juga selalu mencoret-coret barang ku. Aku tahu itu salah, tapi mereka selalu memiliki cara untuk membuatku menurut. Jika aku menolak, mereka mulai menunjukkan sisi lain dari diri mereka.
Sesekali juga aku lebih memilih menolak, walaupun nanti nya aku akan mendapatkan cacian sana sini, atau mendapat perilaku kasar dari mereka.
"Alysa, pinjemin aku buku catatanmu buat PR," kata Cahaya suatu hari sambil tersenyum manis.
"Aku belum selesai nulis," jawabku ragu-ragu.
"Ayolah, kan kamu lebih rajin nulisnya daripada aku. Cuma sebentar kok, nanti aku balikin," tambah Suci dengan nada lembut.
Aku menggigit bibir. "Tapi aku juga butuh buat belajar..."
Wilona mendadak cemberut. "Ya ampun, pelit banget sih. Masa sama temen sendiri aja pelit?"
Suci menimpali dengan nada lebih santai, "Iya, Alysa, kan kita sahabatan. Kalau aku jadi kamu, aku pasti bakal bantu temen-temenku."
Aku terdiam, merasa bersalah. Aku tidak ingin mereka berpikir aku egois, jadi aku menyerahkan bukuku. "Jangan lama-lama ya..."
Wilona tersenyum cerah. "Makasih, Alysa! Aku tahu kamu baik."
Tapi aku tahu, itu bukan senyuman yang tulus. Aku sadar, senyum itu selalu muncul setiap kali mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Hari-hari berikutnya, semakin jelas bahwa mereka hanya bersikap baik ketika aku menuruti mereka. Jika aku menolak, nada bicara mereka berubah.
"Alysa, beliin aku minuman dong, aku haus banget!" kata Mutia saat kami duduk di kantin.
Aku ragu. "Aku juga lagi mau beli buat aku sendiri."
"Ya udah sekalian aja beliin aku," katanya santai, lalu kembali berbincang dengan yang lain, seolah aku sudah pasti menurut.
Aku kembali ke meja setelah membeli minuman untuk kami berdua, tapi ketika aku duduk, aku melihat mereka semua tertawa tanpa mengajakku.
"Eh, Alysa, kamu lambat banget sih. Udah keburu haus nih," kata Cahaya sambil mengambil botol dari tanganku tanpa menunggu aku menyerahkannya.
Aku tersenyum kecil, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman yang muncul di dadaku.
Setiap kali aku melakukan sesuatu untuk mereka, aku tetap bisa berada di dalam lingkaran itu. Tapi setiap kali aku menolak, mereka mulai menjauh, berbicara tanpa mengajakku, seolah aku tidak ada. Aku tidak ingin ditinggalkan lagi. Aku takut kehilangan mereka.
Aku berada di dalam lingkaran yang sama, terperangkap tanpa tahu bagaimana keluar. Aku berpikir bahwa jika aku cukup sabar, semuanya akan membaik. Jika aku tetap bersikap baik, mereka akan menyadari bahwa aku bukan seseorang yang pantas diperlakukan seperti ini.
Tapi kenyataannya, semakin aku menurut, semakin mereka menekan. Mereka tahu aku tidak bisa berkata tidak. Mereka tahu aku terlalu takut untuk kehilangan teman-teman yang selama ini kujaga.
Aku sadar, aku jatuh di lubang yang sama.
...
Siang itu, aku duduk sendirian di bangku kantin. Teman-temanku pergi lebih dulu, meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Aku menunduk, memainkan sendok di atas piring yang hampir kosong.
"Alysa, boleh aku duduk di sini?" sebuah suara menyapaku.
Aku menoleh, melihat seorang gadis berjilbab syar'i. Aku mengenalnya-Katy, siswi dari kelas sebelah. Aku mengangguk pelan.
"Kenapa kamu duduk sendiri?" tanyanya sambil membuka bungkus roti yang dibawanya.
Aku ragu sejenak, lalu menghela napas. "Teman-teman yang lain udah duluan."
Katy menatapku, lalu tersenyum samar. "Aku tahu tentang apa yang terjadi sama kamu, Alysa. Satu sekolah tau."
Aku menegang. "Tau apa?"
"Kamu dibully," jawabnya jujur.
"Tapi mereka semua diam. Aku juga diam. Karena aku takut. Dari jauh aku juga selalu liatin kamu murung sendirian di taman depan kelas. Aku pengen nyamperin kamu, tapi kita belum kenal, aku malu. Sekarang aku baru berani samperin kamu disini."
Aku menunduk, merasa tidak nyaman.
"Tapi aku mau tanya satu hal," lanjutnya. "Kenapa kamu mau nurutin mereka terus?"
Aku menatapnya, bingung.
"Kenapa?" ulang Katy.
Aku menghela napas.
"Karena kalau aku nggak menurut, mereka akan lebih jahat. Aku nggak punya pilihan, aku terus diancam kalau gak mau nurut, mereka bakal semakin nyiksa aku."
Katy menggigit bibirnya.
"Tapi Alysa, kalau kamu terus kayak gini, mereka nggak akan berhenti. Mereka akan terus injek kami. Kamu tahu itu, kan?"
Katy memegang tangan ku, "Kita emang gak deket, tapi kapan pun kamu butuh aku, aku selalu ada. Cari aja aku."
"Mungkin kalau siswa satu sekolah percaya sama apa yang pembully itu fitnahin kamu, aku yakin kamu bukan orang yang kayak gitu, aku yakin kamu baik. Kalau satu sekolah benci kamu, ada aku yang akan nemenin kamu." Lanjut nya.
Aku terdiam. Di dalam hatiku, aku tahu dia benar. Tapi aku masih belum tahu bagaimana cara keluar dari semua ini.