Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.
Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.
Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
"Tenang, Tar, tenang," ucap Nindi sambil menggenggam tangan Mentari erat. "Ambil napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan. Biarkan semua beban itu keluar bersamaan kentut."
"Nindi! Serius, kamu nyuruh aku kentut di saat seperti ini?" Tari melotot kesal ke arah sahabatnya. "Awas ya, aku mau labrak mereka sekarang! Wajah Mas Teguh bakal kujejek sampai puas!"
Nindi malah nyengir kayak kuda lumping, seolah-olah menikmati amukan Tari yang siap meledak kapan saja.
"Lah, kok wajah Mas Teguh yang mau kau ulek? Harusnya kan cewek garangan itu yang jadi target," celetuk Nindi sambil mengerutkan kening, jelas heran dengan logika Tari.
"Ya kan dia yang udah ganjen sama si garangan itu, Ndi," sahut Tari dengan nada jengkel, sambil melipat tangan di dada.
"Iya, tapi kan yang mulai ngegoda pasti si cewek itu, Tar. Gimana sih logikamu?"balas Nindi sambil mengangkat alis, mencoba membuat Tari berpikir ulang.
"Ah, sama aja! Mas Teguh-nya juga yang duluan ngegodain tuh cewek. Lihat deh, yang lebih ganjen malah Mas Teguh!" Tari ngotot sambil menunjuk ke arah suaminya.
Kedua wanita itu malah asyik ribut sendiri, saling membela teori masing-masing, sementara drama di depan mereka terus berlangsung tanpa jeda.
Nindi menoleh ke arah Teguh dan seorang perempuan yang duduk agak jauh dari mereka.
"Ih, kok gitu ya suami kamu, Tari? Geli deh liatnya, lebay bin alay," celetuk Nindi, bergidik ngeri melihat Teguh yang sok manja dengan wanita yang diduga selingkuhan itu. Pandangannya tak bisa lepas, merasa jijik dengan sikap suami Tari yang semakin terbuka di depan umum.
"Nah kan, sudah pas kalau aku ulek wajahnya yang sok kecakepan itu," seloroh Tari, hampir berdiri saking kesalnya, siap menjalankan ancamannya.
"Eh, tunggu dulu, Tar! Jangan terburu-buru," kata Nindi, dengan cepat menarik lengan Tari yang sudah hendak berdiri.
"Gimana sih, liat mereka gitu bikin aku tambah panas! Masa punya istri di rumah, malah bersikap kayak gitu!" kata Tari, suaranya mulai meninggi karena kesal yang semakin memuncak.
"Yang anggun dikit dong, Tar, jaga harga dirimu sebagai istri sah. Cewek garangan itu nggak ada apa-apanya dibandingin kamu. Mending kamu main cantik aja, biar dia yang malu sendiri," nasehat Nindi dengan suara tenang, mencoba meredakan amarah Tari.
"Maksudnya, kamu nggak perlu turun ke level mereka, Tar. Kalau kamu marah, malah ngasih mereka perhatian yang nggak mereka pantas dapetin. Lebih baik kamu tunjukin kalau kamu lebih elegan dari itu," jelas Nindi, sambil menatap Tari dengan penuh keyakinan.
Tari mulai duduk tenang kembali, mendengarkan dengan seksama nasehat sahabatnya.
"Aku mau tanya satu hal deh sama kamu, Tar," kata Nindi, menatap Tari serius. "Yakin kamu mau pertahanin pernikahan yang tiap hari bikin mentalmu hancur begini?"
"Seumur hidup itu masih lama, Tar. Sayang banget kalau kamu habisin sisa umurmu yang masih panjang ini bersama laki-laki yang mentalnya kayak suamimu itu," kata Nindi, mulai mempengaruhi Tari dengan cara yang lebih halus, berusaha membuka matanya.
Tari tercenung mendengar pertanyaan dari sahabatnya tersebut, matanya mulai berkaca-kaca. Ia terdiam sejenak, seakan mencerna setiap kata yang baru saja Nindi ucapkan.
"Sebenarnya, pernah ada pikiran untuk pisah sih, Ndi,"cicit Tari, suaranya hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat Nindi terkejut.
"Nah itu, saran aku mending pisah aja lah sama tuh laki," kata Nindi, dengan nada serius. "Bukannya aku mau kasih bisikan iblis, ya Tar, tapi aku lihat suami dan keluarganya cuma mau memperbudak kamu aja. Aku kasihan banget sama nasib kamu, Tari. Kita lihat sendiri kan, suamimu malah pacaran lagi sama cewek lain?"