Ketika Kesabaran Berakhir

Ketika Kesabaran Berakhir

Cuman Ikan Asin?

“Apa ini, Tari? Masak cuma ikan asin saja yang kau sajikan?” sentak Teguh dengan nada kesal saat melihat menu sarapan pagi itu. Ia baru saja duduk di meja makan, bersiap mengisi tenaga sebelum berangkat kerja.

Tari, yang tengah sibuk mengatur piring di meja makan, hanya menoleh sekilas tanpa menghentikan pekerjaannya. Tangannya masih cekatan merapikan posisi sendok dan garpu, seolah sudah terbiasa dengan rutinitas ini.

"Ya bagaimana lagi, Mas?" jawabnya santai, meskipun ada nada lelah yang tersirat dalam suaranya. "Harga bahan masakan sekarang pada mahal semua. Dengan uang lima belas ribu, cuma ini yang bisa kubeli," lanjutnya sembari menyodorkan sepiring nasi hangat yang masih mengepul.

Teguh mendengus, tetapi sebelum ia sempat merespons, suara lantang lain memotong suasana. “Lima belas ribu, ya? Lalu sisanya ke mana, Tari? Uang itu kau pakai untuk apa?” suara itu berasal dari Bu Ayu, ibu mertua Tari, yang baru saja masuk ke dapur. Wajahnya mencerminkan kecurigaan yang mendalam.

Tari menghela napas panjang, mencoba menahan diri. “Memangnya ada sisa, Bu? Semua uang itu sudah habis untuk belanja bahan masakan ini. Mana mungkin aku pakai untuk hal lain,” jawabnya dengan nada tenang, meskipun di dalam hati ia merasa panas.

“Ah, jangan bohong! Pasti kau sisihkan sebagian untuk jajan dirimu sendiri, kan?” sergah Bu Ayu, matanya memicing tajam.

Sejak awal, Bu Ayu memang tak pernah menyukai Tari. Baginya, menantu perempuan itu tidak pantas menjadi bagian keluarganya. Tari berasal dari keluarga yang, menurut Bu Ayu, terlalu sederhana—rakyat jelata tanpa asal usul yang jelas. Kesan ini membuatnya sering mencari-cari alasan untuk merendahkan Tari di setiap kesempatan.

“Tilep apa sih, Bu? Coba ibu pikir! Sabun mandi habis, belum lagi sampo dan Rinso. Sepuluh ribu sisanya ya kupakai buat beli itu semua. Memangnya baju bisa bersih kalau nggak pakai Rinso? Kalau masih bau, nanti pasti ibu juga yang ngomel,” jawab Tari dengan nada tegas, sambil tetap melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Selama ini, Tari memilih diam setiap kali disudutkan. Namun kali ini ia tak ingin terus dianggap lemah. Ia bukan babu yang hanya menerima perlakuan semena-mena tanpa perlawanan. Ia menantu, dan ia merasa berhak untuk didengar dan dihargai.

Mendengar jawaban Tari yang tak seperti biasanya, Bu Ayu mengerutkan kening, tampak tak percaya. “Lihat istrimu, Teguh! Mulai sekarang melawan terus sama orang tua! Memangnya ini perempuan lupa bagaimana cara menghormati mertua?” serunya dengan nada yang dibuat-buat, mengadu pada Teguh yang duduk tak jauh dari sana.

Teguh Prasetyo, suami Tari, hanya menghela napas pelan. Pria itu bekerja sebagai kepala pengawas di sebuah pabrik besar. Jabatan itu baru ia dapatkan setahun lalu, setelah bertahun-tahun bekerja keras dari posisi sebagai buruh biasa.

Kini, dengan jabatan yang lebih tinggi, gajinya juga ikut meningkat. Ia menerima delapan juta rupiah setiap bulan, jumlah yang cukup untuk hidup nyaman. Namun, Teguh memilih menyembunyikan kenyataan itu dari Tari.

Setiap bulan, ia hanya memberi istrinya uang sebesar dua puluh lima ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. “Cukup, toh?” adalah kalimat andalannya setiap kali Tari memprotes jumlah uang yang diberikan. Bagi Teguh, itu sudah lebih dari cukup.

Namun, Tari tentu merasa berbeda. Dengan jumlah uang itu, ia harus memutar otak setiap hari, memastikan semua kebutuhan rumah terpenuhi. Bagaimana tidak? Setiap bahan pokok kini harganya melambung tinggi. Tapi protesnya sering kali tak dihiraukan, dan kini ditambah dengan tekanan dari sang mertua, Tari merasa semakin terkucilkan.

Keperluan masak dan sabun-sabun jika diperlukan—semuanya harus dicukupkan dengan uang 25 ribu rupiah yang diberikan Teguh. Jumlah yang hampir mustahil memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi bagi Teguh, itu sudah lebih dari cukup.

Dan pagi ini, Teguh kembali dibuat kesal oleh Tari. Hidangan sarapan yang disajikan istrinya hanya berupa ikan asin dan sayur bening bayam. Sesuatu yang menurutnya tidak layak bagi dirinya sebagai kepala keluarga, apalagi dengan gaji yang sebenarnya cukup besar, meskipun itu dirahasiakan dari Tari.

Teguh sudah membuka mulut, bersiap melontarkan omelan yang sudah menumpuk di kepala. Namun, sebelum sempat suara kerasnya keluar, ayahnya, Pak Cahyo, tiba-tiba masuk dan menengahi pertengkaran kecil mereka.

“Sudah, sudah! Kalian ini pagi-pagi sudah ribut saja! Tidak malu apa, kalau sampai tetangga dengar?” ujar Pak Cahyo dengan nada setengah memerintah. Meski mencoba terdengar bijak, nada suaranya lebih menunjukkan ketidaksabaran daripada kepedulian.

Teguh hanya bisa mendengus panjang, menahan diri meski rasa kesalnya masih meluap-luap. Dengan terpaksa, ia mulai memakan sarapan sederhana yang dibuat Tari. Tak ada pilihan lain, ia harus mengisi perut sebelum berangkat kerja.

Setelah menyelesaikan sarapan, Teguh segera menuju kamar untuk mengambil tas kerjanya. Ia sudah bersiap meninggalkan rumah dengan suasana hati yang tidak begitu baik. Namun, saat baru saja mengambil tasnya, Tari tiba-tiba datang menghampiri.

“Mas, minta duit dong. Bedakku habis."

Terpopuler

Comments

Wanita Aries

Wanita Aries

Gila aj dkasih cm 25rb. Uang saku ankq yg SMP itu

2025-01-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!