Dicampakkan saat sedang mengandung, itu yang Zafira rasakan. Hatinya sakit, hancur, dan kecewa. Hanya karena ia diketahui kembali hamil anak perempuan, suaminya mencampakkannya. Keluarga suaminya pun mengusirnya beserta anak-anaknya.
Seperti belum puas menyakiti, suaminya menalakknya tepat setelah ia baru saja melahirkan tanpa sedikitpun keinginan untuk melihat keadaan bayi mungil itu. Belum hilang rasa sakit setelah melahirkan, tapi suami dan mertuanya justru menorehkan luka yang mungkin takkan pernah sembuh meski waktu terus bergulir.
"Baiklah aku bersedia bercerai. Tapi dengan syarat ... "
"Cih, dasar perempuan miskin. Kau ingin berapa, sebutkan saja!"
"Aku tidak menginginkan harta kalian satu sen pun. Aku hanya minta satu hal, kelak kalian tidak boleh mengusik anak-anakku karena anakku hanya milikku. Setelah kami resmi bercerai sejak itulah kalian kehilangan hak atas anak-anakku, bagaimana? Kalian setuju?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duka dan Lunas
"Ada apa ini?" terdengar suara seseorang yang membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu menoleh ke sumber suara.
Nafas Zafira tiba-tiba tercekat saat melihat sosok yang amat sangat dikenalnya itu telah berdiri di ambang pintu. Raut wajah keduanya dipenuhi keterkejutan. Bahkan wajah sang ayah telah memucat, sedangkan sang ibu nampak berkaca-kaca.
"A-ayah? I-bu," cicit Zafira penuh keterkejutan. 'Sejak kapan ayah dan ibu ada di sini? Apakah jangan-jangan mereka sudah ... '
"Kalian ... kalian apakan anakku? Kalian mengusirnya? Setelah pengabdiannya bertahun-tahun, ternyata begini perlakuan kalian?" ujarnya dengan dada bergemuruh. Tangan pria paruh baya yang merupakan ayah kandung Zafira itu terulur mengurut dadanya yang berdenyut nyeri. Ia tak tahu, kedatangannya karena merindukan buah hati dan cucu-cucunya justru disambut dengan sebuah pengusiran sang anak dan cucu-cucunya. "Bahkan darah daging kalian sendiri pun turut kalian usir? Apa salah mereka dan dimana hati nurani kalian, hah?" bentak pak Ahmad, ayah Zafira.
"Nak," cicit ibu Zafira dengan tatapan sendunya.
Zafira yang tak kuasa menahan derai air matanya pun mendekati kedua orang tuanya setelah kedua putrinya mendekat terlebih dahulu.
"Kenapa nak? Kenapa mereka mengusirmu? Apa yang sebenarnya terjadi?" lirih Bu Mayang, ibu Zafira.
"Sudahlah, Bu, tak ada yang bisa kita bicarakan lagi. Semua telah berakhir. Mari kita pergi!" ajak Zafira tak mau kesehatan ayahnya kembali memburuk akibat permasalahan dirinya.
"Tidak bisa, Fira. Mereka tidak bisa memperlakukanmu seperti ini. Mereka yang memintamu dari ayah dan ibu, kalaupun mereka tidak menginginkan mu lagi, bukan begini caranya. Bukan dengan mengusir dan menghinamu seperti itu. "
"Kau pikir kami yang menginginkan anakmu itu? Tidak. Andai papa tidak memaksa anakku menikahi perempuan itu, mana sudi kami menerima dan menikahkannya dengan putraku. Kau pikir kualifikasi apa yang dimiliki putrimu sehingga pantas bersanding dengan putraku? Tidak ada. Perempuan miskin seperti dirinya mana pantas menjadi pendamping putraku," desis Liliana.
"Kau pikir kami mau menikahkan anakku dengan anakmu yang sombong? Tidak. Seandainya pak Prambudi tidak mengancam kami dengan meminta bayaran atas bantuannya yang telah membantu biaya operasi pemasangan ring, mana sudi aku menikahkan putriku yang berharga dengan putramu itu," tukas Pak Ahmad dengan bibir bergetar. "Kalian sungguh keterlaluan. Aku bersumpah kalian akan menyesali perbuatan kalian ini," teriak Pak Ahmad membuat Refano, pak Marwan, Liliana, dan Saskia tercekat. "Dan tenang saja, hutangku sebentar lagi akan lunas. Aku ... lebih baik mati daripada melihat anakku hidup tersiksa dengan kalian. Ayo nak, kita pergi sekarang!" ajaknya pada Zafira yang diangguki wanita hamil itu sambil menggeret kopernya, sedangkan koper milik Regina dan Refina ditarik oleh bu Mayang.
"Kau pikir sumpahmu itu berlaku, hah? Kami tidak takut, dengar itu! Dan kami takkan pernah menyesali keputusan kami," tegas Pak Marwan sambil melihat punggung Zafira dan kedua orang tuanya menjauh.
Langkah Pak Ahmad tampak kian tertatih. Zafira yang khawatir pun lantas segera menghampirinya. Zafira shock sebab wajah itu kini sudah seputih kapas.
"Ayah, ayah nggak papa? Mari kita ke rumah sakit dulu, Yah?" ajak Zafira khawatir.
Pak Ahmad justru menggeleng, "tidak perlu, nak. Biarkan ayah di sini sejenak. Ayah pasti akan mengembalikan uang yang mereka berikan itu. Maafkan ayah nak, seharusnya ayah tidak menerima permintaan pak Prambudi untuk menikahkan kamu dengan laki-laki itu. Tapi ... nasi telah menjadi bubur. Namun, ayah ... akan segera mengembalikan semuanya. Semuanya ... di sini. Semuanya ... berakhir ... "
Pak Ahmad lantas memeluk tubuh putrinya yang sudah bergetar karena panik.
"Jaga diri ya, nak! Maafkan ayah!"
Setelah mengucapkan itu, tiba-tiba tubuh pak Ahmad luruh. Zafira yang terlalu terkejut tampak kesulitan menahan bobot tubuh pak Ahmad yang seketika menjadi berat. Bu Mayang yang melihatnya pun gegas membantu menopang tubuh pak Ahmad pun penjaga rumah yang berdiri di dekat pagar rumah.
Mata Zafira dan Bu Mayang terbelalak saat menatap netra pak Ahmad telah tertutup. Dengan tangan bergetar, Zafira meletakkan jari telunjuknya di depan hidung pak Ahmad yang sudah tidak menghembuskan udara, seketika tangisnya pecah.
"Ayah, ayah bangun? Ayah, jangan nakutin Fira kayak gini, ayah? Ayah ... ayah ... ayah, kenapa ninggalin Fira? Ayah, jangan tinggalin Fira, ayah. Ayah ... " pekik Zafira dengan bersimbah air mata.
Bu Mayang yang juga berjongkok di samping sang suami hanya bisa terisak pilu. Padahal pagi tadi mereka masih baik-baik saja. Bahkan suaminya tampak begitu bersemangat ingin bertemu putri dan cucu-cucunya. Tapi ... yang terjadi sungguh di luar dugaan. Suaminya ... justru pergi meninggalkannya di saat anaknya sedang tidak baik-baik saja.
"Kakek ... bangun kakek," lirih Regina yang sudah terisak.
"Kakek .. kenapa mata kakek ditutup? Kakek tidur? Kok tidur di sini?" Refina yang belum paham hanya mengoceh sambil mencebikkan bibirnya.
Refano dan kedua orang tuanya juga Saskia yang mendengar keributan di depan rumahnya pun lantas bergegas keluar. Mata mereka terbelalak melihat apa yang telah terjadi di sana.
Zafira yang menyadari kedatangan Refano dan orang tuanya pun lantas menoleh. Tatapannya menghunus tajam netra calon mantan suami dan mertuanya itu, tak ketinggalan Saskia yang tampak tidak merasa bersalah sama sekali.
"Fira, apa yang terjadi?" tanya Refano mencoba mendekat.
"Sekarang kalian puas?" desis Zafira membuat langkah Refano terhenti. "Seperti yang ayahku katakan tadi, hutang kami sudah lunas. Ayah sudah melunasinya. Ayah sudah mengembalikan apa yang pernah keluarga kalian beri. Ayah ... memilih mati daripada berhutang budi pada kalian," desis Zafira tajam sambil mengusap kasar air matanya.
"Zafira, jangan sembarang bicara!" sentak Refano.
"Tapi itulah kenyataannya. Kau dan orang tuamu selalu mengingatkan hutang budi ayahku pada kalian selama ini. Dan kini ... ayah sudah melunasinya. Sekarang kalian puas!" sentak Zafira tak kalah murka.
"Zafira, berhenti! Mari aku antar ayahmu ke rumah sakit untuk ... "
"Aku tidak butuh bantuanmu. Apa kau pikir, ayahku bisa hidup lagi setelah dibawa ke rumah sakit, hah? Aku membencimu, Refano. Sangat membencimu!" Raung Zafira yang sudah muak melihat calon mantan suami dan mertuanya itu.
Setelahnya ia pun segera meminta bantuan penjaga rumah itu menghentikan taksi. Dibantu penjaga, ibunya membawa masuk pak Ahmad ke dalam taksi. Mereka tidak membawa pak Ahmad ke rumah sakit, tapi ke rumah orang tuanya yang berjarak kurang lebih 3 jam perjalanan.
Sepanjang perjalanan, Zafira dan ibunya terus menangis. Tubuh pak Ahmad sudah dingin. Tanda-tanda kehidupan pun sudah benar-benar tak ada lagi. Zafira menyesali, semua yang terjadi karena permasalahan dirinya. Secara tidak langsung, dirinya lah penyebab ayahnya meninggal.
...***...
Di depan gundukan tanah merah, tampak Zafira tercenung seorang diri. Tiada air mata. Meskipun ia masih ingin menumpahkan tangisnya, tapi sebisa mungkin ia cegah sebab ia tahu, tidak boleh menangis di depan makam. Sebisa mungkin Zafira bersikap tenang. Mencoba memahami kepergian sang ayah merupakan bagian dari takdir yang tak dapat dicegah.
Setibanya di kampung tempat tinggal kedua orang tuanya, mereka memang langsung mengabarkan kepergian sang ayah dengan pemuka setempat sehingga acara pemakaman pun segera dilakukan.
Saat sedang melamun, sebuah tepukan terasa di pundaknya yang ternyata itu berasal dari sang ibu.
"Sudah, nak. Ikhlaskan kepergian ayah. Ingat, kau sedang hamil. Anak-anakmu juga membutuhkanmu, sayang. Jangan terlalu terlarut dalam kesedihan!"
"Tapi Bu, ini semua salah Fira kan! Karena Zafira, ayah ... "
"Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri! Tidak ada yang menginginkan dibuang seperti yang kamu alami. Mereka lah yang sudah sangat keterlaluan. Ibu benar-benar tak menyangka, ibu pikir selama ini kamu benar-benar diterima dalam keluarga itu, tapi ternyata ..." Nafas bu Mayang terasa tercekat. Ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya. "Tapi ya sudahlah. Semuanya telah terjadi. Yang terpenting sekarang, kau tetap harus melanjutkan hidupmu. Tunjukkan pada mereka, tanpa mereka pun kamu bisa. Ibu ... selalu ada untukmu, sayang."
Mendengar itu, Zafira pun lantas berdiri dan segera memeluk tubuh ibunya. Semuanya belum berakhir. Ini baru awal. Ia akan buktikan, tanpa mereka pun ia bisa. Akan ia tunjukkan, kalau anak-anaknya bukanlah anak tak berguna. Ia akan mendidik anak-anaknya dengan baik. Zafira akan buktikan itu.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...