Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB - Salah Sangka
Wajahnya lebih enak dilihat tanpa kacamata dan poni menyebalkan, batin Kaisar.
Saat Rumi kembali merapikan poni dan memakai lagi kacamatanya, Kaisar membuang pandangannya ke arah lain.
“Padahal udah paling bener yang tadi.” Ucapan Kaisar mirip gumaman tidak jelas, ternyata didengar oleh Rumi.
“Apa pak?”
“Kita tanya saja, desa Marga Asih di sebelah mana. Pake GPS juga percuma, yang ada nyasar ke kutub,” ujar Kaisar mengalihkan pembicaraan lalu meninggalkan tempat itu berjalan menuju pemukiman yang lebih ramai.
Penampilan dan wajah Kaisar juga Rumi menunjukan kalau mereka bukan penduduk asli, juga bahasa formal yang digunakan. Penduduk yang ramah menunjukan arah di mana lokasi yang ditanyakan mereka.
Tidak sampai sepuluh menit berkendara mengikuti petunjuk dari orang yang mereka tanya, akhirnya sampai juga.
“Itu gapuranya,” tunjuk Rumi dari dalam mobil yang sudah berhenti.
Kaisar hanya menjawab dengan berdehem lalu keluar.
“Hm, hm, diserang si ehem baru tahu rasa.” Mengomel tidak jelas, tentu saja tidak bisa didengar oleh Kaisar.
Berjalan bersisian melewati gapura desa lalu menuju rumah pertama yang mereka lihat. Suasana tampak asri, di kejauhan terlihat anak-anak sedang bermain.
“Permisi Bu, mau tanya rumah Pak Djarot dan Pak Prapto di sebelah mana ya?” tanya Rumi dengan santun.
Perempuan paruh baya yang masih berdiri di pagar menatap Rumi dan Kaisar bergantian.
“Mau apa ketemu mereka?”
Bukan jawaban melainkan mendapat pertanyaan lagi, apa lagi dengan suara ketus.
“Kami … ada keperluan,” jawab Kaisar.
“Kalau cari pesugihan, ilmu kebal atau pelet, jangan kemari. Kalian salah alamat, mereka tidak melayani konsultasi seperti itu.”
“Oh, bukan Bu. Bukan itu tujuan kami,” tutur Rumi sambil tersenyum canggung, bagaimana bisa si ibu itu mengira mereka punya maksud aneh berbau mistis atau sudah biasa orang datang dengan tujuan begitu.
“Kami ada keperluan terkait kepentingan umat, bukan kepentingan pribadi.” Kali ini Kaisar yang menjelaskan.
“Sebelah sana, yang pagar bambu. Tidak jauh dari anak-anak, tapi entah ada atau tidak. Dari kemarin tidak terlihat, kalau Pak Prapto … kalian tanya saja sekalian di sana.”
“Pagar bambu, baik terima kasih Bu.” Rumi dan Kaisar mengangguk pelan lalu menuju rumah yang dimaksud. Belum membahas kenapa ibu tadi mendadak ketus dan menuduh mereka mencari pesugihan, khawatir didengar oleh Ibu tadi.
Ternyata Djarot tidak ada di rumah, Prapto adalah kepala desa. Tinggalnya beda kampung. Namun, kedua pria itu pergi bersama.
“Kira-kira kapan pulangnya ya?” tanya Kaisar pada penjaga rumah itu.
“Nggak pasti mas, mereka di banyu suci. Kadang bisa seminggu atau dua hari saja. Biasanya kalau ada yang perlu ya nyusul ke sana.”
Kaisar dan Rumi saling tatap mendapati jawaban dari masalah mereka. Hanya ingin segera bertemu untuk berdiskusi dan mendapatkan solusi. Semakin urusan di sini beres, artinya tiket untuk pulang ke Jakarta semakin besar. Itu yang ada dalam pikiran Kaisar dan tidak ingin menunda lagi.
“Ayo, takut kesorean kita belum tahu Banyu suci itu di mana.”
“Jadi kita ke sana sekarang pak?” tanya Rumi menghentikan langkahnya membuat Kaisar menoleh dan menatap heran.
“Menurut kamu gimana? Apa nunggu presiden kita nggak gemoy lagi?”
Rumi berharap Kaisar mengajak mereka kembali ke kantor dan balik lagi besok. Mana tahu Pak Medi sudah selesai dengan drama rumah tangga lalu menemani Kaisar kemanapun dia mau.
“Ya … tapi ‘kan kita nggak tahu Banyu suci di mana.”
“Makanya, ayo cepat.”
***
Berbekal informasi dari dua orang yang mereka tanya secara random. Ternyata lokasi Banyu suci lumayan jauh. Hampir satu jam berkendara. Beruntung mereka sempat makan siang dulu, karena semakin dekat dengan tujuan rumah penduduk semakin jarang apalagi warung makan.
Jangan harap minimarket dua puluh empat jam, warung biasa pun tidak terlihat. Mobil berhenti karena jalan sudah buntu. Hanya ada jalan setapak sesuai dengan penjelasan dimana banyu suci berada.
“Kirain nama desa, taunya hutan,” keluh Rumi.
Kaisar juga tidak menduga kalau tujuan mereka adalah semacam pondokan di tengah hutan.
“Cepat turun, keburu sore. Kamu mau malam-malam kita masih di sini.”
Kaisar dan Rumi melalui jalan setapak di tengah perkebunan. Sudah terlihat pondok yang mereka tuju. Suasana di sana tidak ramai, mungkin tidak sampai lima puluh orang yang berada di pondok untuk belajar agama dan hal lain. Bisa terlihat dari aktivitas para penghuni pondok.
Sekilas Kaisar dan Rumi tampak lupa dengan tujuan mereka, sibuk mengamati lingkungan di sana. Sampai seseorang menyapa mereka.
“Kami ingin bertemu Pak Djarot dan Pak Prapto,” ucap Kaisar.
“Dari mana?” tanya pria itu.
“Iniland property, proyek perumahan di ….”
“Oh proyek itu,” sahut pria tadi menyela jawaban Kaisar. “Pak Djarot ada, Pak Prapto nggak ada. Mungkin di kantor Desa. Mari saya antar.”
Pria yang bernama Djarot sudah agak sepuh, mungkin berumur tujuh puluh tahun. Bahkan sebagian rambutnya sudah memutih dengan janggut dengan warna yang sama. Memakai pakaian mirip jubah putih.
Djarot hanya diam mendengarkan maksud kedatangan Kaisar dan Rumi. Bahkan Kaisar menjelaskan kalau dia dari Jakarta. Menepis semua dugaan penduduk dan masyarakat kalau perusahaan hanya memikirkan keuntungan saja.
Tidak ada mandor yang mau menerima tawaran untuk memulai pekerjaan kalau belum ada izin dari Djarot. Bahkan Prapto juga tidak memberikan izin, menunggu persetujuan Djarot.
Cukup alot diskusi yang terjadi. Rumi hanya diam menyimak karena pembicaraan itu berurusan dengan kebijakan. Bukan ranah dan posisinya bicara masalah kebijakan perusahaan.
“Pulanglah, sebentar lagi maghrib. Tidak baik kalian kelayapan, apalagi bukan penduduk sini.”
“Lalu izin saya gimana pak?” tanya Kaisar.
“Kita bicarakan lain kali,” sahut Djarot lalu meninggalkan Kaisar dan Rumi begitu saja.
Rumi segera membereskan berkas yang tadi digunakan Kaisar untuk menjelaskan secara singkat. Tidak mungkin mereka tinggal di sana apalagi merajuk karena misi gagal.
“Ayo pulang, pak!”
Meski malas, Kaisar pun ikut beranjak. Rumi sempat mengeluh ingin ke toilet. Menanyakan pada salah satu murid pondok lokasi toilet.
“Kamar mandi perempuan di ujung sana, tapi jam segini biasa antri.”
Kaisar mengajak Rumi bergegas.
“Saya kebelet pak.”
“Bisa di bawah pohon atau cari sungai. Kamu dengar sendiri jam segini kamar mandi antri. Saya juga perlu cuci muka, kulit wajah saya kering. Malam dingin banget, siang terik," keluh Kaisar sambil berjalan.
Samar-samar mereka mendengar suara air.
“kayaknya ada sungai pak, saya nggak tahan.” Rumi berlari menuju asal suara. Kaisar mengekor langkah gadis itu.
Bukan hanya sungai yang mereka temukan, tapi ada air terjun meski tidak begitu tinggi. Dengan air yang jernih dan bebatuan terlihat sangat asri.
Rumi melepas sepatu dan meninggalkan ransel di atas rerumputan hendak turun ke sungai yang terlihat dangkal.
“Pak, saya mau pipis di sebelah sana. Jangan ngintip ya.” Rumi menunjuk sebuah batu besar.
Kaisar hanya berdecak, ikut melepas sepatu dan menggulung lengan kemeja sampai siku. Mengabaikan Rumi yang sibuk mengatakan dia belum selesai dan Kaisar dilarang ke arahnya.
“Rugi mata gue ngintip dia.”
Kaisar menunduk lalu mengambil air dengan kedua telapak tangan dan dibasuh ke wajah. Terasa dingin dan segar. Dia lakukan berkali-kali bahkan helai rambut ikut basah.
“Aaaa.”
Teriakan Rumi membuat Kaisar menoleh. Ternyata gadis itu terpeleset dan terjerembab ke dalam air. Kaisar mendekat, khawatir Rumi terluka.
“Jadi basah deh,” ucap Rumi karena roknya sudah basah terendam air.
“Tidak masalah, mau balik kok. Ayo!” ajak Kaisar.
Rumi melangkah hati-hati mengikuti langkah Kaisar, tapi batu yang dia pijak ternyata berlumut dan licin. Ia pun kembali terpeleset. Refleks menggapai lengan Kaisar yang tidak siap, keduanya terjatuh ke dalam air dengan posisi tidak biasa.
Masih dalam keadaan terkejut, mereka saling tatap apalagi wajah yang begitu dekat. Posisi tidak menguntungkan karena tubuh Kaisar seakan menindih Rumi, membuat keduanya sangat basah.
“Hei, kalian!”
rmhtangga Ardi semakin hari semakin berantakan.. Mela tu istri gk sedar diri
gagal total...sabar ya Kai...
klo ardi yg demo q yg maju
klo kaisar yg demo q ikut othor makan kuaci smbil liat kaisar ngomel kagak jelas smp klimpungan mikirin tu pedang 🤣🤣🤣