“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas hanya duduk dengan menjaga jarak, tetapi begitu motor melaju dan angin malam menerpa kulitnya, dinginnya luar biasa.
Refleks, Syanas merapatkan tubuh ke punggung Kahfi. Ia enggan mengakuinya, tetapi kehangatan suaminya adalah satu-satunya pelindung dari udara menusuk yang semakin menggila.
Kahfi melirik ke belakang tanpa menoleh sepenuhnya. “Dingin?”
“Banget.” Syanas menggigit bibir, berusaha menahan diri agar tidak terdengar terlalu lemah.
Kahfi tidak berkata apa-apa, tapi tiba-tiba ia menarik tangan Syanas dan melingkarkannya ke pinggangnya sendiri.
“Nggak usah gengsi. Pegang aja.”
Syanas membelalakkan mata. “Aku bisa jatuh loh!”
“Makanya, pegangan yang bener.”
Syanas mendengus, tetapi tetap menurut. Tangannya mengerat di pinggang Kahfi, dan ia bisa merasakan napasnya sendiri menghangatkan tengkuk lelaki itu. Ini aneh. Ia tidak terbiasa dengan kedekatan seperti ini.
Motor terus melaju melewati jalanan berliku dengan penerangan minim. Pepohonan di kiri dan kanan jalan bergoyang diterpa angin, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang bergerak liar di pinggir jalan. Syanas mulai merasa sedikit gugup.
“Kampungmu, serem banget ya,” gumamnya.
Kahfi tertawa pelan. “Ini masih jalan utama. Nanti kalau udah masuk gang kecil, baru lebih serem.”
Syanas membulatkan mata. “Itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan tau!”
Kahfi hanya terkekeh dan mempercepat laju motor. Syanas semakin merapat, berusaha menghindari udara dingin yang semakin menggigit.
Setelah beberapa menit, motor akhirnya berbelok ke jalan yang lebih kecil. Jalan ini lebih gelap, hanya diterangi lampu-lampu rumah warga yang berpendar redup dari kejauhan. Suara jangkrik dan binatang malam semakin terdengar jelas.
“Berapa lama lagi?” tanya Syanas sambil mengeratkan pegangannya.
“Sebentar lagi.”
Dan benar saja. Tak sampai lima menit kemudian, mereka sampai di depan sebuah rumah sederhana terbuat dari rotan, dengan halaman luas dan pohon mangga besar di depannya. Lampu di teras masih menyala, menandakan bahwa ada seseorang yang masih terjaga di dalam.
Kahfi mematikan motor, lalu turun lebih dulu. Syanas mengikuti dengan sedikit kaku, matanya menatap rumah itu dengan campuran rasa penasaran dan ketakutan.
“Ini rumahmu?” tanyanya pelan.
Kahfi menoleh dengan ekspresi tak terbaca. “Iya.”
Syanas menelan ludah. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa bahwa petualangan mereka baru saja dimulai.
Kahfi menoleh ke arah dua tukang ojek yang sejak tadi mengikuti mereka. Satu laki-laki sudah turun mendekati, ia juga mengamati rumah di depan mereka dengan ekspresi penasaran.
“Berapa ongkosnya bang?” tanya Kahfi sambil merogoh saku celananya.
“Biasanya sepuluh ribu mas. Tapi karena mas tadi yang bawa motor, kita tambahin pajak posesif dikit.”
Syanas hampir tertawa, tapi ia menutup mulutnya cepat-cepat. Kahfi hanya menghela napas sebelum menyerahkan beberapa lembar uang. “Ini buat ongkos dan pajaknya sekalian.”
Tukang ojek itu menerima uang itu dengan anggukan puas. “Wah... Baik banget. Kalau semua pelanggan kayak mas, kami bisa beli roket beneran buat ke mars.”
Tukang ojek kedua terkekeh. “Iya, tapi kayaknya kita harus bawa mbaknya juga. Kasihan, tadi di motor kayaknya dia lagi introspeksi hidup.”
Syanas langsung melotot. “Aku nggak introspeksi hidup!”
Kedua tukang ojek itu hanya saling pandang lalu tertawa.
“Makasih bang. Hati-hati di jalan,” ucap Kahfi.
Mereka berdua mengangguk saja dan akhirnya menyalakan motor dan bersiap pergi. Tapi sebelum benar-benar melaju, salah satu tukang ojek menoleh ke Kahfi lagi. “Mas, serius nggak mau ikut ke mars?”
Kahfi menyeringai kecil. “Nggak. Saya cukup menderita di bumi aja.”
Tukang ojek itu tertawa keras sebelum akhirnya melaju pergi, meninggalkan Kahfi dan Syanas berdiri di depan rumah dengan suasana yang tiba-tiba lebih hening.
Syanas melipat tangan di dada, menatap Kahfi dengan tatapan penuh selidik. “Kamu emang berbeda ya Yang?”
Kahfi menoleh santai. “Kenapa? Baru sadar?”
Syanas mendengus pelan. “Ya ampun. Aku pikir kamu tuh orangnya dingin dan nggak pedulian.”
Kahfi hanya tersenyum tipis. “Tergantung situasi.”
Kahfi membuka pintu rumah dengan gerakan yang santai, seolah pintu itu sudah sering ia buka. Syanas mengerutkan kening, matanya terfokus pada rumah itu yang jujur saja terlihat seperti rumah yang siap ambruk kapan saja.
Dindingnya dari anyaman bambu, dan atapnya yang dari daun nipah tampak rapuh, seperti bisa jatuh hanya karena terdorong angin.
“Ini... Benaran rumahmu?” tanya Syanas sekali lagi dengan nada lebih pelan, mencoba untuk tidak menunjukkan ketegangan yang mulai merayapi seluruh tubuhnya.
Kahfi menoleh dan mengangguk ringan. “Iya. Rumah yang paling nyaman buat aku.”
Syanas menelan ludah. "Tapi kenapa aku, jadi takut ambruk ini rumah?"
Kahfi tersenyum. “Ayo, masuk aja dulu. Jangan langsung skeptis. Rumah ini punya banyak kenangan.”
Syanas melangkah ragu-ragu masuk ke dalam. Begitu kakinya menyentuh lantai, ia langsung merasa dinginnya lantai semen.
Pintu yang terbuat dari rotan itu pun sudah retak di sana-sini, dan beberapa bagian bambu tampak bergoyang. Syanas tidak bisa menahan diri untuk memeriksa bagian dinding yang berdebu, takut kalau-kalau ada serangga yang muncul.
"Yang, rumah ini nggak ada orang ya?" Syanas bertanya lagi, merasa aneh karena suasana sepi sekali. Di luar, suara jangkrik dan burung malam masih terdengar jelas, tetapi di dalam sepi sekali.
Kahfi menutup pintu lalu berjalan ke dalam dengan santai. "Nggak ada. Tapi ada orang yang cuma bersihin rumah aja."
Syanas menatap Kahfi bingung. "Bersihin rumah? Emang siapa yang bersihin?"
“Pak Dul, tetangga sini.”
Syanas mengangkat alis. “Pak Dul itu keluarga kamu ya Yang?”
Kahfi tersenyum lebar. "Bukan. Keluargaku sudah banyak pindah ke kota. Pak Dul itu warga sini, orang yang ngejaga rumah. Ngurusin rumah, kadang ngasih saran kalau rumah ini harus direnovasi sedikit."
Syanas melihat ke sekeliling dengan perasaan yang makin tercampur antara kebingungan dan ketakutan. “Kayaknya renovasi rumah ini butuh lebih dari sekedar saran deh. Ini rumah kayaknya bakal tiba-tiba roboh kalau ada gempa kecil!”
Kahfi semakin tersenyum. "Santai aja. Emang kelihatan sedikit... Antik, tapi nyaman kok."
Syanas menatap dinding yang hampir terbuat dari anyaman bambu itu, dan rasa khawatirnya makin mendalam. "Kamu serius nggak sih? Lihat deh, rumah ini kayaknya udah ratusan tahun nggak dihuni. Kalau ada hantunya... Aku sih nggak akan kaget."
Kahfi hanya tersenyum simpul, berusaha menahan tawa. “Hantu nggak tinggal di sini kok. Ini tempat untuk orang-orang yang tau cara hidup sederhana, nggak perlu takut.”
Syanas mendengus. "Hidup sederhana tuh kalau rumahnya nggak kayak gini juga kali Yang. Aku khawatir deh. Kalau nanti tidur, tiba-tiba rumah ini roboh, siapa yang bisa nolong?”
Kahfi mulai melepaskan jaketnya. “Jangan khawatir. Kalau rumahnya roboh, aku bawa kamu ke tempat aman. Kita bisa cari tempat yang lebih nyaman.”
Syanas hanya bisa terdiam, melihat ke sekeliling rumah yang semakin terasa seperti bukan tempat tinggal manusia biasa. Semua perabotan terbuat dari kayu yang terlihat sudah usang.
Tanpa ada lampu penerangan selain lampu temaram dari sebuah pelita kecil, suasana rumah itu makin menambah kesan menyeramkan.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..