NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:388
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6: Efek Kerja

Mery? Ngapain dia ke rumah gue waktu gelap begini? Keadaan emang benar-benar gelap sampai gue gak bisa melihat apapun. Bahkan pedang yang sedang gue pegang sekarang, yang waktu itu bisa memantulkan cahaya bulan juga gak kelihatan. Sementara itu, pintu terus aja diketuk, diiringi panggilan nama gue.

"Iya ... iya bentar," kata gue sambil terus berjalan ke arah ketukan pintu.

"Mardo ... Mardo ...." panggilnya lagi.

Saat batas antara suara ketukan pintu dan muka gue semakin tipis, saat itulah muncul sebuah cahaya dari saku celana gue. HP gue menyala, berbunyi, dan terlihat gambar Naruto. Sebuah telepon dari Sulay! Mumpung ada cahaya, gue buru-buru membukakan pintu buat Mery. Dia berdiri membelakangi gue saat pintu dibuka. Waktu gue mengangkat telepon dari Sulay, barulah dia berpaling dan menatap gue.

"Boleh masuk?" tanyanya.

"B-boleh."

Mery masuk, dan gue kembali menutup pintu karena takut angin malam ikutan masuk.

"Do! Lo udah di rumah, kan?" tanya Sulay.

"I-iya, Pak. Ini lagi di rumah."

"Gak ada yang aneh, kan di rumah lo? Lo gak terima tamu, kan?"

Mery menatap gue sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Hah? I-iya, Pak gak ada tamu, kok. Malingnya juga udah pergi lagi kayak malam tadi,"

"Rumah lo hampir kemalingan gayung lagi!? Lo hati-hati, deh. Siapa tahu itu bukan maling!"

Dari cahaya kecil yang dipancarkan HP gue, terlihat Mery berjalan menuju kamar mandi. Suara Sulay juga jadi putus-putus, kayak orang kehabisan sinyal. Gak lama, telepon terputus dan semua lampu menyala. Mery tersenyum dari depan pintu kamar mandi.

"Selain bisa bikin kopi, lo juga bisa benerin lampu, ya?"

Mery cuma senyum dan berjalan mendekati gue.

"Pedangnya bagus. Dapat di mana?"

"Oh, ini ... bonus kerjaan."

Mery senyum lagi. Lalu dia berjalan ke kamar gue.

Gue pertama kali ketemu Mery itu tadi sore di kantin, dan gue ketemu lagi sama dia di rumah gue malam harinya. Bukan jarak pertemuan yang panjang untuk merasa kalau ada yang berbeda. Bajunya sama, hanya aja gak pake celemek lagi. Apaan, ya? Bingung gue.

Gue mengikutinya ke kamar. Sekarang dia duduk di kasur gue sambil memainkan kelopak bunga mawar yang masih berserakan. Sebelum gue mendekatinya, gue meletakkan pedang di atas meja laptop. Dia kelihatan senang banget sama bunga mawar cincang itu. Gue jadi ikut-ikutan menghambur-hamburkannya.

"Lo suka mawar, ya?" tanya gue.

Mery mengangguk dan tersenyum.

"Gue suka mancing," kata gue.

Mery menatap gue dengan senyumannya. Wajah Naruto dan lagu Indonesia Raya kembali terdengar. Sulay menelepon lagi.

"Aman, kan, Do? Gak ada apa-apa, kan di sana?"

"Aman, Pak."

"Lo kalau ada apa-apa langsung telepon gue. Kalau bukan perintah dari si Bos buat mantau lo, udah gue hapus WhatsApp lo ini."

Mery masih tersenyum. Sambil menatap gue, dia kembali mengangkat jari telunjuknya di depan bibir. Nah! Itu dia! Itu yang dari tadi gue pikirin, kenapa Mery ini agak beda dari tadi sore di kantin! Dia gak pakai gelang, sedangkan gue pakai gelang pemberian dia. Aneh, kan?

"Gelang lo mana?"

Perlahan, senyum di bibir Mery menghilang. Dia menurunkan jari telunjuknya serta berhenti memainkan kelopak mawar. Dia berdiri, sambil terus menatap gue dia berjalan keluar kamar. Gue gak ngikutin dia karena Sulay masih menelepon.

"Gue tahu lo bohong, Do! Ada tamu, kan di rumah lo!?"

Terdengar bunyi keran air di kamar mandi serta bantingan pintu.

"I-iya, Pak ... mohon maaf, Pak. Ada Mery di sini."

"Mery!? Dia masih di kantin! Kedai kopinya buka 24 jam!"

Gue kaget banget, dong! Terus yang tadi siapa!?

"Terus yang di rumah gue ini siapa, Pak!? Pak tolong, Pak! Lo ke sini, Pak! Gue takut, Pak!"

Semua lampu mendadak mati lagi. Mumpung gue masih ingat lokasi pedang, gue segera mengambilnya dan segera mengunci pintu kamar buat pertahanan diri.

"Jangan panik dulu, Do! Sekarang Mery yang di rumah lo ada di mana?"

"Gue dengar dia masuk ke kamar mandi."

"Oke. Kalau lo berani, bawa pedang lo ke kamar mandi, dan siapa aja yang lo lihat di sana, langsung lo tebas aja! Atau, kalau lo penakut, lo tidur aja sambil megangin pedang lo."

"Oke, Pak! Gue tidur dulu!"

Siapa yang penakut!? Gue cuma ngantuk! Gue mencoba tidur dalam keadaan gelap gulita. Ditambah suara keran air yang sangat deras di kamar mandi, gue merasa kayak sedang di pinggir aliran sungai yang damai. Gue sebenarnya agak takut juga kalau harus tidur sambil megang pedang sepanjang 1 meter begini. Gue takut waktu gue bangun nanti, anggota tubuh gue malah ada yang putus.

Jadinya, pedangnya gue taruh di lantai aja. Saat itu juga bunyi keran airnya berhenti walaupun semua lampu masih mati. Sekarang gue merasa kayak sedang berada di pinggir gunung. Sepi, gelap, dan dingin. Karena sudah malam dan sudah capek juga, akhirnya gue ketiduran. Tanpa mimpi sama sekali.

Gue mendengar bunyi alarm kodok, bukan lagu Indonesia Raya. Yang artinya gue terbangung pagi hari seperti biasanya. Bukan terbangun oleh telepon dari Sulay. Seperti biasa juga, keadaan rumah sepi karena gak ada siapa-siapa. Lampu kamar gue menyala walau cahayanya kalah terang dari jendela. Artinya, semuanya sudah normal-normal aja.

Satu-satunya hal gak normal ketika gue bangun adalah: pedang yang gue letakkan di lantai sudah gak ada. Di atas meja laptop juga gak ada. Apa mungkin hilang, ya? Masa iya, sih bisa hilang di rumah sendiri? Atau jangan-jangan diambil Mery tadi malam, ya? Tunggu, tunggu! Gue aja masih bingung soal Mery. Apakah yang tadi malam beneran Mery, walau Sulay bilang dia di kantin 24 jam, atau jangan-jangan itu maling gayung yang selama ini gue takutkan!? Anjir! Selain bisa kabur lewat toilet, dia juga jago menyamar!?

Setelah matiin lampu, gue keluar kamar dan berharap gak ada siapa-siapa seperti biasanya. Pintu kamar mandi tertutup dan gak ada bunyi keran air. Gue memberanikan diri buat masuk, dan gak ada siapa-siapa atau ada yang aneh lagi. Setelah mandi dan bersiap, gue berencana untuk pergi ke tempat biasa gue mancing dulu.

Gue stress dengan semua hal baru di hidup gue. Gue butuh ketenangan sejenak. Walau sudah gak punya peralatan mancing lagi, gue yakin gue akan ketemu pemancing lain di sana dan bisa ngelihatin mereka. Itu aja sudah cukup. Berangkatlah gue tanpa membawa HP, karena yang gue cari adalah ketenangan.

Benar aja, gue langsung tersenyum gembira waktu melihat banyak pemancing di sana. Yang bikin gue lebih girang lagi, saat gue melihat orang yang gue kenal! Bapak-bapak yang dengan kata-kata bijaknya membuat gue dapat kerjaan ini sekarang.

"Pak! Apa kabar, Pak?" sapa gue saat mendekatinya.

"Oh, Mardo! Lama gak ketemu kita!"

Dia memperhatikan gue, seakaan mencari sesuatu.

"Pancingan kamu mana?"

"Udah gak ada lagi, Pak. Udah kejual karena butuh uang."

Dia langsung menyerahkan pancingannya kepada gue.

"Saya tahu kamu pasti rindu. Iya, kan?"

Gue mengangguk dengan semangat.

"Siapa namanya? Dulu kamu sering ngajak dia mancing."

Rasanya gue gak pernah ngasih nama ke pancingan, deh.

"Pacar kamu itu, lho ... yang cantik rambut panjang itu."

"O-oh dia ... dia ... dia udah pergi, Pak."

Bapak-bapak itu menepuk pundak gue.

"Kamu gak penasaran kenapa dia pergi?"

Iya juga, ya. Dia mutusin gue dengan alasan yang gak jelas.

"Kalau kamu penasaran dengan satu hal, tapi kamu juga masih ragu dengan hal itu, maka coba tanyakan pada hatimu yang lugu. Jawablah penasaranmu rasa demi rasa."

Kayaknya gue pernah dengar kata-kata ini sebelumnya.

"Gimana ngerasainnya, Pak?"

Bapak-bapak itu menunjuk joran pancing yang sedang gue genggam. Gak lama, umpan disambar, dan terasa ada perlawanan dari si ikan. Gue berusaha menarik dan mengangkatnya, tapi si ikan juga berupaya kuat untuk melepaskan diri. Hanya yang menyerah dan kehabisan tenaga lah yang akan kalah.

"Itu," kata bapak-bapak itu, seperti motivator selesai ngomong.

1
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!