KESHI SANCHEZ tidak pernah tahu apa pekerjaan yang ayahnya lakukan. Sejak kecil hidupnya sudah bergelimang harta sampai waktunya di mana ia mendapatkan kehidupan yang buruk. Tiba-tiba saja sang ayah menyuruhnya untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang di sekelilingnya di tumbuhi hutan belukar dengan hanya satu orang bodyguard saja yang menjaganya.
Pria yang menjadi bodyguardnya bernama LUCA LUCIANO, dan Keshi seperti merasa familiar dengan pria itu, seperti pernah bertemu tetapi ia tidak ingat apa pun.
Jadi siapakah pria itu?
Apakah Keshi akan bisa bertahan hidup berduaan saja bersama Luca di rumah kecil tersebut?
***
“Kamu menyakitiku, Luca! Pergi! Aku membencimu!” Keshi berteriak nyaring sambil terus berlari memasuki sebuah hutan yang terlihat menyeramkan.
“Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku.” Luca terus mengejar gadis itu sampai dapat, tidak akan pernah melepaskan Keshi.
Hai, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di tinggal Seminggu
“Aku berbicara dengan Bowen kemarin tentang pria yang menjadi si penembak itu. Dia memberikan ciri-cirinya.” Dante mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah kertas dengan beberapa kalimat di sana.
“Dia memiliki tato di tangannya bergambar naga.” Dante menyerahkan kertas itu kehadapan Rio.
“Dan paman, kau ingin tahu sesuatu? Si penembak itu juga menembakku di hari yang sama. Mungkin memang bukan hanya satu ornag saja, mereka berkomplotan. Ciri-cirinya sama, memiliki tato bergambar naga di tubuh mereka. Maka itu saat beberapa hari lalu aku mengambil anak buahmu karena beberapa orang bertato naga tersebut menyerang tempat yang sedang ku datangi untuk melakukan pekerjaanku.”
Ucapan panjang lebar Dante bagaikan bom yang bisa meledak saat ini juga. Rio merasa kepalanya bisa meledak sekarang, terlalu kalut, takut dan marah menjadi satu.
Para musuh itu sudah berani menampakkan dirinya di depan putrinya, dan ini sudah memasuki kondisi darurat.
“Kamu menangkap mereka?” Rio mendongak dari kertas itu dan menatap wajah keponakannya.
“Aku hanya dapat menangkap dua saja, dia ada di ruang bawah tanah di rumahku. Aku datang kemari untuk memberi tahu paman tentang hal ini sekaligus mengajak paman untuk ikut menginterogasi mereka.” jawab Dante.
Pria 28 tahun itu mundur lalu duduk di sofa empuk yang berhadapan dengan meja kerja Rio. Kaki kirinya naik di atas kaki kanannya.
“Mereka sudah berani untuk mencelakai putrimu yang berarti juga adik kecilku. Kita tidak bisa diam saja, paman.” Dante berucap kembali.
Rio mengangguk, keringat membasahi wajah dan kepalanya. Ia tidak bisa diam saja jika sudah menyangkut tentang putrinya. Selama bertahun-tahun Rio mati-matin menyembunyikan pekerjaan aslinya dan merahasiakan putrinya, sekarang memang sudah waktunya para musuhnya tahu dan berusaha untuk mencelakai putri satu-satunya.
Rio tidak bisa hanya diam saja.
“Mari kita pergi kerumahmu dan interogasi mereka.” final pria paruh baya itu, matanya menatap tajam pada jendela di belakang tubuhnya yang menampilkan hutan di belakang mansion besarnya.
...\~\~\~...
Keshi mengeratkan selimut di tubuhnya, ia sedikit mengerang kesal saat merasakan kepalanya di elus oleh tangan kasar seseorang.
“Putriku.”
Gadis itu membuka satu matanya, wajahnya masih amat mengantuk, tetapi ia berusaha untuk melihat siapa orang yang sudah menganggu tidurnya.
“Ayah? Ada apa?” tanya Keshi.
Rio duduk di tepi kasur putrinya dengan tangan mengelus lembut puncak kepalanya. Rio merutuki dirinya sendiri karena membangunkan putrinya di jam 2 pagi ini.
“Maafkan ayah, tapi ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
Keshi merubah posisi untuk duduk, hanya satu matanya saja yang terbuka menatap wajah ayahnya. “Ada apa?”
“Ayah akan pergi bekerja untuk beberapa hari, mungkin sekitar seminggu? Kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Rio.
Gadis itu bergeming sejenak, mencoba mengusir kantuknya. “Ya, ayah. Tidak apa-apa.”
Rio tersenyum, tangannya terangkat untuk merapihkan riak-riak rambut putrinya.
“Baiklah, kembali tidur.” ayahnya mendorong pelan bahu Keshi untuk berbaring dan menyelimuti tubuh gadis itu.
Sebelum pergi keluar dari kamar Keshi, Rio menatap lama wajah tenang putrinya yang tertidur kembali dengan nyaman.
“Ayah janji akan melindungimu dengan titik darah penghabisan ini, Keshi.” monolog pria paruh baya itu.
...\~\~\~...
Keshi terbangun dengan mendadak, semalam ia merasa bermimpi panjang sehingga kini dirinya terbangun dari tidur dengan jantung berdegup cepat.
Gadis itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, kepalanya mendongak dan melihat jam sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Tok tok!
“Nona Keshi?” suara Bibi Daya terdengar dari luar kamarnya.
“Masuk saja, Bi.” Keshi berucap dengan lantang supaya Bibi Daya dapat mendengarnya.
Pintu kamarnya terbuka, menunjukkan seorang wanita tua sedang membawa beberapa pakaian Keshi yang sudah di cuci dan di gosok untuk di taruh di dalam lemari gadis itu.
“Apa Anda ingin sarapan dengan sesuatu?” Bibi Daya bertanya sambil memasukkan pakaian tersebut ke dalam lemari.
Keshi masih duduk di atas kasur, matanya terbuka dan terpejam beberapa kali karena masih sedikit mengantuk.
“Ayahku?” tanya gadis itu tanpa disadari.
Daya menghentikan kegiatan memasukkan pakaian itu lalu menatap majikannya. “Tuan Sanchez sudah berangkat bekerja sedari jam 3 pagi, nona.”
Seolah sehabis di siram air dingin, kedua mata Keshi terbuka lebar, hampir melotot menatap bibinya saat mendengar kalimat itu.
“APA?!”
Bibi Daya meringis mendengar teriakan nyaring majikannya itu. “Bukankah tadi malam Tuan Sanchez sudah mengatakannya pada Anda?”
Keshi memutar otaknya untuk berpikir, lebih tepatnya mengingat kejadian semalam. Gadis itu menepuk jidatnya kesal karena baru mengingat bahwa ayahnya memang masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan akan pergi bekerja selama seminggu. Keshi kira yang semalam itu hanya mimpi, tetapi ternyata itu adalah kenyataan.
“Ya, aku baru ingat semalam ayah masuk ke kamarku dan mengatakan akan pergi bekerja selama seminggu.” ucap Keshi dengan nada bergetar ingin menangis.
Bibi Daya mengulas senyum tipis, sangat jarang sejujurnya Tuan Sanchez pergi bekerja sampai seminggu seperti ini, paling tidak dia pergi selama dua atau tiga hari saja. Dan karena hal tersebut, tentu Keshi menjadi sedih karena di tinggal bekerja selama seminggu oleh ayahnya.
“Nona Keshi, apa Anda ingin sarapan dengan sesuatu?” Bibi Daya telah selesai merapihkan pakaian milik nona majikannya lalu ia bertanya pada Keshi.
“Aku ingin….mungkin sup telur? Dan juga buatkan aku beberapa makanan manis untuk penutup.” pinta Keshi seraya turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi.
...\~\~\~...
Sarapan kali ini terasa sangat berbeda, tidak ada ayahnya yang duduk di kursi makan di ujung sana.
Keshi makan dengan perasaan hampa. Biasanya ia sarapan dengan ayahnya sekaligus berbincang tentang kehidupan masing-masing, tetapi sekarang berbeda.
Gadis itu menyuap sup ke dalam mulutnya dengan lemas. Karena tidak ada ayahnya, meja makan ini juga menjadi sepi karena tidak makan bersama dengan para penjaganya yang lain.
Tidak ada Luca yang duduk di hadapannya, Keshi menatap kursi di hadapannya dengan lekat.
Hari ini ia tidak punya kegiatan apa pun untuk pergi keluar, bagaimana caranya supaya Keshi bisa bertemu dengan Luca?
Keshi akan memikirkan hal itu setelah selesai makan, ia menyuap makanannya dengan terburu-buru lalu menghabiskan makanannya yang lain.
“Terima kasih atas makanannya.” ucap Keshi pada beberapa pelayan yang berdiri di belakang meja makan sambil berdiri dari kursi untuk berjalan keluar mansionnya.
Keshi memandang lekat pada halaman di depannya, tidak ada siapa pun. Ia lalu berjalan menuju rumah para penjaga yang berada di sebelah kanannya. Di depan rumah itu terlihat ada dua penjaga yang sedang bercengkerama dengan setelah jas hitam khas mereka.
“Nona Keshi.” salah satu penjaga menyadari kehadirannya.
Keshi mengulas senyum dan berdiri di tengah dua penjaga itu.
“Apa yang Anda lakukan di sini?” penjaga itu bertanya kepadanya.
“Apa kalian melihat Luca?” tanya Keshi
“Luc? Sepertinya dia sedang memarkir mobil di parkiran belakang.”
Keshi mengangkat alisnya lalu mengangguk dan memberikan senyum tipis pada kedua penjaga itu sebelum melangkah menjauh menuju parkiran belakang.
Mansion ini besar, sangat besar dan Keshi selalu kesal jika harus berjalan menuju halaman belakang maupun parkiran belakang karena jaraknya sama-sama jauh.
Sesampainya di depan sebuah gudang besar di belakang mansionnya, mata Keshi mendapati sosok pria yang ia kenal tengah mengenakan kemeja putih dan sedang mencuci beberapa motor sport milik ayahnya dulu.
“Luca!”