Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamera Tua
"Rapat OSIS ditunda sampai besok ya," kata Reza pada anggota OSIS yang sudah berkumpul di ruang rapat. "Ada urusan mendadak yang harus aku dan Dimas selesaikan."
Beberapa anggota tampak kecewa, tapi tidak berani membantah. Sebagai ketua OSIS, Reza dikenal tegas namun bijaksana dalam mengambil keputusan. Lagipula, persiapan pensi masih on track berkat kerja keras mereka selama ini.
"Tumben kamu membatalkan rapat," komentar salah satu pengurus OSIS saat mereka bubar. "Biasanya kamu yang paling disiplin soal jadwal."
Reza tersenyum tipis. "Ada hal penting yang tidak bisa ditunda. Besok kita bahas dengan lebih fokus."
Di lapangan basket, Dimas sudah menunggu bersama pelatih. "Coach, kami izin tidak latihan hari ini," kata Dimas. "Ada tugas kelompok yang harus diselesaikan."
Coach mengerutkan dahi. "Minggu depan ada pertandingan penting. Kalian yakin?"
"Kami akan latihan ekstra besok," janji Reza. "Dan kami sudah minta Fajar untuk memimpin latihan hari ini."
Setelah mendapat izin, mereka bergegas ke tempat parkir dimana Kinanti, Nadia, dan Arya sudah menunggu. Arya tampak baru selesai kuliah, masih mengenakan kemeja rapi dengan pin BEM di kerahnya.
"Maaf ya harus bolos rapat BEM," kata Kinanti pada Arya saat mereka masuk ke mobil.
"Tidak apa-apa, sudah kuserahkan ke sekretaris," jawab Arya. "Lagipula, ini lebih penting."
Pagi tadi, Nadia menemukan sesuatu saat merapikan ruang klub fotografi. Sebuah artikel tua tentang pameran foto tahun 1946 yang menampilkan karya-karya Kartika.
"Kartika bukan hanya menyamar sebagai guru," jelas Nadia sambil menunjukkan artikel itu. "Dia juga fotografer. Dan menurut artikel ini, dia punya kebiasaan unik, yaitu selalu membawa kamera Leica M3 kemanapun dia pergi."
"Leica M3?" Dimas mengerutkan dahi. "Bukankah itu kamera yang sangat langka pada masa itu?"
Nadia mengangguk bersemangat. "Tepat! Dan yang lebih menarik, artikel ini menyebutkan bahwa Kartika sering memotret gedung-gedung tua dan lokasi-lokasi yang tampak tidak istimewa."
"Seperti mengumpulkan data," gumam Kinanti. "Sama seperti lukisan-lukisan dengan pesan tersembunyi itu."
Mereka menuju ke rumah Eyang Karso. Sepanjang perjalanan, Reza beberapa kali mencuri pandang ke arah Kinanti yang duduk di sampingnya. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu hari ini – determinasi yang lebih kuat di matanya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Reza pelan.
Kinanti mengangguk. "Hanya berpikir... setiap kali kita menemukan sesuatu tentang Nek Kartika, dia jadi terasa semakin nyata. Bukan hanya sebagai cerita atau misteri, tapi sebagai seseorang yang punya passion dan keberanian."
Dari kursi belakang, Arya menambahkan, "Dan setiap temuannya membuktikan bahwa dia bukan orang biasa. Setiap langkahnya terencana."
Reza merasakan sentakan familiar rasa cemburu mendengar Arya melengkapi kata-kata Kinanti, tapi dia menahannya. Fokus. Ini tentang Kartika.
Di rumah Eyang Karso, mereka langsung menuju loteng. Kali ini pencarian mereka lebih terarah, yaitu mencari sesuatu yang berhubungan dengan fotografi.
"Lihat yang ini," kata Nadia, menunjuk sebuah koper tua di sudut. Dengan hati-hati, mereka membuka koper itu.
"Astaga," bisik Nadia, matanya melebar. Di dalam koper, terbungkus rapi dalam kain, ada sebuah kamera Leica M3 dalam kondisi sempurna.
"Ini kamera yang sama seperti di artikel," kata Kinanti, tangannya gemetar saat menyentuh kamera itu. "Dan lihat, ada inisial K.P di bagian bawahnya."
"Kartika Pratama," kata Reza pelan.
Nadia, dengan pengalamannya sebagai ketua klub fotografi, memeriksa kamera itu dengan teliti. "Masih ada roll film di dalamnya," katanya takjub. "Dan sepertinya belum pernah dicuci."
Mereka semua terdiam. Film yang belum dicuci berarti foto-foto yang belum pernah dilihat siapapun.
"Kita harus mencuci film ini," kata Nadia. "Tapi harus sangat hati-hati. Film setua ini sangat sensitif."
"Klub fotografi punya peralatan untuk itu?" tanya Dimas.
Nadia mengangguk. "Ya, tapi..." dia melirik jam tangannya. "Sekolah sudah tutup jam segini."
"Aku bisa bantu," kata Arya. "Fakultasku punya lab fotografi yang lebih lengkap. Dan sebagai wakil ketua BEM, aku punya akses ke sana."
Reza menahan diri untuk tidak memutar mata. Tentu saja Arya punya solusi.
"Tapi," Arya melanjutkan, "kita harus hati-hati. Setelah transmisi radio kemarin, kita tidak tahu siapa yang mengawasi."
"Benar," kata Kinanti. "Kita harus berpencar. Terlalu mencurigakan kalau pergi bersama-sama."
Mereka menyusun rencana. Arya dan Nadia akan pergi duluan ke lab fotografi dengan kamera dan filmnya. Reza dan Kinanti akan menyusul setengah jam kemudian, sementara Dimas berjaga-jaga di sekitar kampus.
Dimas tampak gelisah saat Nadia dan Arya bersiap pergi. "Kenapa harus Arya yang pergi dengan Nadia? Aku juga bisa bantu."
Reza menahan senyum mendengar nada protes dalam suara sahabatnya itu. "Karena Arya yang punya akses ke lab, Dim. Lagipula, kita butuh orang yang bisa berjaga-jaga di luar."
"Iya, tapi..." Dimas menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa? Cemburu ya?" goda Kinanti, membuat wajah Dimas memerah.
"Apaan sih!" bantah Dimas, tapi rona merah di wajahnya semakin jelas.
Reza tertawa kecil. "Sudah berapa lama, Dim? Sejak kelas 10 ya? Waktu Nadia pertama kali masuk klub fotografi?"
"Duh, kalian berdua bisa diam tidak?" Dimas mengerang, tapi kemudian bahunya merosot. "Iya, oke? Aku memang suka sama dia. Puas?"
Kinanti tersenyum lembut. "Kami sudah tahu kok. Kamu itu gampang banget dibaca, Dim. Apalagi kalau ada Nadia."
"Masa?" Dimas mengerjap kaget.
"Jelas banget," kata Reza. "Waktu Nadia memenangkan lomba foto bulan lalu, kamu yang paling heboh. Padahal waktu itu kita ada latihan basket."
Dimas menghela napas panjang. "Ya sudahlah, memang aku tidak pandai menyembunyikan perasaan sepertimu, Za."
"Maksudnya?" tanya Reza bingung.
Sebelum Reza bisa merespon, ponsel Kinanti bergetar. Pesan dari Nadia:
"Aman. Kalian bisa kesini sekarang."
Lab fotografi kampus tampak remang-remang saat mereka tiba. Nadia dan Arya sudah mulai proses pencucian film, sementara Dimas berjaga di koridor.
"Ini akan memakan waktu," kata Nadia, tangannya bergerak cekatan dengan larutan kimia. "Film setua ini butuh penanganan khusus."
Mereka menunggu dalam ketegangan. Reza berdiri dekat Kinanti, sementara Arya mondar-mandir di dekat pintu.
"Lihat!" seru Nadia tiba-tiba. Foto pertama mulai terlihat.
Satu demi satu, foto-foto mulai terungkap. Kebanyakan adalah foto gedung-gedung tua, sudut-sudut kota yang tampak tidak istimewa, dan beberapa pemandangan biasa.
"Tunggu," kata Arya, mengamati foto-foto itu lebih dekat. "Ada pola di sini. Gedung-gedung ini... mereka membentuk rute."
Kinanti mengeluarkan jurnal Kartika dan peta dari lukisan. "Dia mendokumentasikan lokasi-lokasi penting. Tapi dengan cara yang tidak akan menarik perhatian."
"Dan lihat ini," Nadia menunjuk detail kecil di salah satu foto. "Ada simbol yang sama dengan di radio dan lukisan."
Tiba-tiba, ponsel Nadia bergetar.
Sebuah pesan dari grub masuk dan segera ia baca.
"Ada orang menuju kesini!" pesan dari Dimas.
"Cepat, bereskan semuanya!" perintah Reza.
Mereka bergegas membereskan peralatan dan foto-foto. Tepat saat langkah kaki terdengar di koridor, lampu lab sudah mati dan mereka sembunyi di ruang gelap.
"Ada yang aneh," bisik sebuah suara di luar. "Sepertinya ada yang menggunakan lab."
"Periksa sebentar," kata suara lain. "Jangan sampai ada yang tahu tentang foto-foto itu."
Kinanti merasakan jantungnya berdebar kencang. Reza secara protektif berdiri di depannya, sementara Arya menggenggam erat kamera Kartika.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, langkah kaki itu menjauh.
"Mereka mencari foto-foto ini," bisik Kinanti. "Mereka tahu tentang kamera Kartika."
"Kita harus segera pergi," kata Arya. "Tapi tidak bisa lewat pintu depan."
"Lewat sini," Nadia menunjuk jendela lab yang mengarah ke taman belakang. "Aku sering menggunakan ini saat hunting foto malam."
Satu per satu mereka keluar melalui jendela. Reza membantu Kinanti turun, tangannya bertahan sedikit lebih lama dari yang diperlukan.
"Kalian pulanglah duluan," kata Arya. "Aku akan kembali ke ruang BEM seperti biasa, supaya tidak mencurigakan."
Sebelum mereka berpisah, Nadia menahan Dimas sebentar. "Makasih ya, sudah jaga-jaga di luar tadi."
"Oh, uh, sama-sama," kata Dimas kikuk. "Kamu... kerja bagus dengan foto-fotonya."
Nadia tersenyum. "Besok... mau temani aku analisis foto-foto ini lebih detail?"
Wajah Dimas langsung cerah. "Mau! Eh, maksudku... boleh, bisa kok."
Dari kejauhan, Reza dan Kinanti mengawasi interaksi itu dengan senyum geli.
"Mereka lucu ya?" bisik Kinanti.
"Akhirnya Dimas berani juga," Reza menggelengkan kepala. "Padahal di lapangan basket dia paling berani shooting three point."
Mereka berpisah dengan hati-hati. Dalam perjalanan pulang, Kinanti memperhatikan foto-foto yang berhasil mereka selamatkan.
"Kartika tidak hanya mendokumentasikan lokasi," katanya pelan. "Dia membuat panduan. Seolah-olah... dia tahu suatu hari nanti seseorang akan membutuhkannya."
Reza mengangguk. "Dan sekarang kita tahu kenapa ada yang begitu ingin menemukan arsip rahasianya. Informasi ini... bisa sangat berbahaya di tangan yang salah."
Malam itu, sebelum tidur, Kinanti memandangi foto-foto Kartika. Dalam setiap gambar, dia bisa merasakan keberanian dan kecerdikan neneknya. Kartika bukan hanya menghilang – dia meninggalkan jejak yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang cukup cermat untuk mencari.
Sementara itu, di sebuah ruangan gelap entah dimana, radio antik kembali berbunyi: "Burung Merpati telah meninggalkan sarang. Pengawas siaga penuh."
Misteri Kartika semakin dalam, dan mereka tahu – ini baru permulaan.
aku selalu suka sama orang yang yg jago menempatkan diksi dalam tulisan, jadi suka sama narasinya gak monoton
Penyampaian katanya bagus, alurnya apalagi😭
susah ditebakkk, daebak!!
Semangat update ya thor! Awas aja kalo sampe hiatus lagi😭