NovelToon NovelToon
Mawar Kuning Berdarah

Mawar Kuning Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Dokter Genius / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP / Psikopat itu cintaku
Popularitas:477
Nilai: 5
Nama Author: Faustina Maretta

Arka, detektif yang di pindah tugaskan di desa terpencil karena skandalnya, harus menyelesaikan teka-teki tentang pembunuhan berantai dan seikat mawar kuning yang di letakkan pelaku di dekat tubuh korbannya. Di bantu dengan Kirana, seorang dokter forensik yang mengungkap kematian korban. Akankah Arka dan Kirana menangkap pelaku pembunuhan berantai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Orang misterius

Setelah mendengar penjelasan Arka, wajah Kirana memerah dengan kemarahan yang tertahan. Ia menatap Arka dengan mata yang penuh kebencian.

"Apa kau serius, Arka? Kau benar-benar berani mencurigai aku sebagai pelaku pembunuhan berantai hanya karena beberapa catatan keuangan bodoh?" suara Kirana bergetar, penuh emosi. "Kau pikir aku seburuk itu? Hanya karena namaku ada di sana, kau langsung menyimpulkan aku pelakunya? Sialan kau, Arka!"

Arka berusaha tetap tenang, meskipun kata-kata kasar Kirana membuat suasana semakin tegang. "Kirana, aku hanya mengikuti bukti yang ada. Aku tidak menuduhmu tanpa dasar."

"Bukti?!" Kirana berdiri dari kursinya, menunjuk Arka dengan telunjuk yang gemetar. "Kalau kau punya bukti yang valid, tunjukkan padaku! Bukti yang jelas bahwa aku terlibat dalam pembunuhan berantai itu! Kalau tidak, berhenti menuduhku seperti ini!"

Arka menghela napas dalam-dalam. "Kirana, aku tidak ingin mempercayai ini. Aku juga terkejut saat menemukan namamu terhubung dengan semua ini. Tapi kita harus menyelidiki lebih lanjut sebelum mengambil kesimpulan."

Kirana tertawa pahit. "Menyelidiki? Kau sudah menyimpulkan aku pelakunya, Arka. Kau bahkan memanggilku ke sini untuk interogasi bodoh ini. Apa kau tahu bagaimana rasanya dicurigai seperti ini oleh seseorang yang kau percaya?"

"Aku tidak ingin melukai perasaanmu, Kirana," ujar Arka dengan suara lembut, mencoba meredakan situasi. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kita menemukan kebenaran."

Kirana mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi yang membara. "Kalau begitu, carilah kebenaran itu tanpa melibatkan aku sebagai tersangka utama. Sampai kau punya bukti yang nyata, jangan pernah lagi menuduhku. Aku lelah dengan semua ini."

Dengan marah, Kirana mengambil tasnya dan bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan Arka yang terdiam. Dia merasa terluka dan dikhianati oleh tuduhan yang dilayangkan kepadanya, terutama dari seseorang yang dia percayai.

Arka hanya bisa menatap punggung Kirana yang menjauh, menyadari bahwa dia mungkin telah merusak hubungan mereka. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia harus terus mencari kebenaran, meski itu berarti menghadapi konsekuensi yang berat.

Setelah perdebatan yang memanas dengan Arka, Kirana keluar dari ruangan dengan wajah merah padam. Sesampainya di luar, ia merogoh ponsel dari tasnya dan tanpa ragu memblokir kontak Arka. Ia tidak ingin mendengar penjelasan atau permintaan maaf darinya. Setiap kali melihat nama Arka di ponselnya, hatinya terasa sakit.

Di apartemennya, Kirana melempar ponsel ke sofa dan duduk dengan tatapan kosong. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Arka tetapi juga oleh kepercayaan yang telah ia bangun selama ini. Bagaimana bisa Arka menuduhnya terlibat dalam sesuatu yang begitu mengerikan tanpa bukti yang jelas?

Kirana menatap langit-langit dengan perasaan marah dan kecewa. "Aku tidak percaya dia bisa mengira aku pelakunya. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan," gumamnya dengan suara serak.

Selama beberapa hari berikutnya, Kirana mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan dan mencari petunjuk dari masa lalu ayahnya yang bisa membuktikan bahwa ia tidak terlibat. Namun, perasaan terluka karena tuduhan Arka masih mengganggu pikirannya.

Di sisi lain, Arka merasa tertekan. Ia mencoba menghubungi Kirana berkali-kali, tetapi selalu mendapat pesan bahwa nomornya telah diblokir. Perasaan bersalah menggerogoti dirinya. Ia sadar bahwa tindakannya mungkin terlalu terburu-buru, tetapi sebagai penyelidik, ia tidak bisa mengabaikan bukti-bukti yang ada.

Bayu melihat kegelisahan Arka. "Pak, mungkin kita bisa mencoba mendekati Kirana melalui cara lain. Kita perlu memastikan dia tahu bahwa kita masih mencari kebenaran."

Arka mengangguk pelan. "Aku hanya ingin membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Tapi sekarang, dia bahkan tidak mau melihat wajahku."

"Berikan dia waktu, Pak. Sementara itu, kita teruskan penyelidikan dan cari tahu siapa yang sebenarnya berada di balik semua ini," saran Bayu.

Arka menghela napas berat, merasa terbebani oleh situasi ini. Ia tahu bahwa untuk mendapatkan kembali kepercayaan Kirana, ia harus menemukan bukti yang jelas dan tak terbantahkan bahwa dia tidak bersalah. Dengan tekad baru, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan kebenaran, tidak hanya demi keadilan, tetapi juga untuk memperbaiki hubungannya dengan Kirana.

---

Kirana berjalan perlahan menuju rumah kosong yang dulunya menjadi tempat dia pulang setelah setiap hari yang melelahkan. Rumah itu, yang dulu penuh dengan tawa dan kehangatan, kini tampak usang, hampir tak dikenali. Dinding-dinding yang dulunya berwarna cerah kini memudar, dan pintu kayu yang biasa terbuka lebar kini terkesan berat dan rapuh. Setiap langkah yang diambil Kirana terasa berat, seolah waktu telah mengikatnya dalam kenangan yang tak bisa lepas.

Di tangannya, ia memegang seikat mawar kuning yang telah sedikit layu, simbol cinta dan pengorbanan ibunya yang selalu ada untuknya. Ia tahu, mawar itu bukan hanya untuk ibu yang telah tiada, tetapi juga untuk dirinya sendiri—sebagai pengingat akan kekuatan yang ia miliki, meski tak lagi ada pelukan ibu yang dulu selalu menyambutnya.

Dengan hati yang penuh perasaan, Kirana melangkah memasuki rumah itu. Setiap sudutnya menyimpan memori yang begitu kuat, kenangan masa kecil, tawa hangat bersama ibunya, bahkan suara lembut ibu yang selalu menenangkan hatinya. Namun, semuanya kini terasa sepi dan hampa. Tidak ada lagi senyum yang menyambutnya, hanya bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui.

Kirana menatap ruang tamu yang dulu menjadi tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Meja kecil di sudut ruangan itu, tempat ibunya sering menaruh teh hangat dan kue buatan tangan sendiri, kini tampak terlantar. Sambil menarik napas dalam-dalam, Kirana meletakkan seikat mawar kuning di atas meja itu. "Ini untukmu, Bu," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar, seolah berharap ibunya bisa mendengarnya.

Beberapa saat ia berdiri di sana, diam dalam kesendirian, membiarkan perasaan itu meresap. Ia merasa seolah kembali ke masa lalu, di mana dunia terasa lebih sederhana dan penuh harapan. Namun, kenyataan kini berbeda—ibu yang selalu ada di sampingnya kini hanya tinggal kenangan, dan rumah yang dulu penuh dengan kehidupan kini hanyalah bangunan kosong yang memudar.

Kirana mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca, lalu melangkah keluar dari rumah itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia menatap sekali lagi ke dalam rumah yang pernah menjadi rumahnya. "Aku akan baik-baik saja, Bu," bisiknya pelan, sebelum melangkah pergi, membawa dengan dirinya mawar kuning dan kenangan yang tak akan pernah pudar.

"Kirana ..." panggil seseorang yang mengejutkan Kirana.

Sontak wanita itu menoleh ke sumber suara. "B-bagaimana mungkin kamu di sini?"

Orang yang memanggil Kirana tersenyum tipis. Perlahan melangkah mendekati Kirana. "Bagaimana kabarmu, Kirana?"

Kirana mencoba untuk tenang. Dia membuang wajahnya. "Apa yang kau inginkan dariku?"

"Kamu memang tidak suka basa-basi." Orang itu terkekeh seakan ingin menerkam Kirana.

To be continued ...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!