Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Aline terkejut melihat isi kamarnya yang berubah drastis. Tembok ruangan itu dicat serba putih, lampu kamarnya menyala terang; menampilkan berbagai macam furniture dengan warna-warna pastel yang tampak menggemaskan. Desain interior bergaya vintage itu sekejap berhasil membuat mata Aline tersihir sekaligus kebingungan.
"Apa aku salah kamar?"
Aline keluar dan melihat plat nomor di pintu.
"Aku nggak salah. Nomornya benar 184, ini kamarku. Tapi kenapa seluruh ruangan ini kelihatan berbeda sekali?"
Aline mematung lama di tempat itu. Ia kembali memeriksa seluruh isi ruangan tersebut dan membuka satu per satu lemarinya. Beberapa di antara barang-barang yang ada di sana tampak seperti baru, tetapi ada juga barang-barang lama Aline yang tersimpan di lemari besar di sudut pintu.
"Bukankah ini kotak pemberian Margin?" Aline mengambil kotak hitam dari lemari besar itu. Ia membawanya ke kamar dan mulai membuka isinya.
"Eh, foto-foto ini..." Aline menemukan beberapa foto dirinya saat masih kecil. Ada satu foto di mana Aline sedang memegang lukisannya sendiri. Di foto itu Aline terlihat bahagia bersama dua orang anak laki-laki yang sedang memeluknya. Mereka kelihatan akrab sekali. Aline termangu. Foto itu persis seperti foto yang diperlihatkan Ren tadi malam.
Aline membalik foto tersebut. Di balik kertas foto itu, ada sebuah kalimat yang ditulis dengan spidol yang kini tampak sedikit memudar. Aline mengeja tulisan ceker ayam yang dihiasi oleh emoji permen itu dengan teliti.
Permintaan untuk Aline;
Jangan lupakan momen kebersamaan ini sampai kalian tua nanti.
Dari : Aksa
"Aksa?" Aline mengernyitkan dahi. "Wajah anak ini cukup familier sih, tapi kenapa aku sama sekali tidak ingat apa-apa tentang orang ini? Bagaimana, ya, rupa dia sekarang? Dia tinggal di mana?"
Aline mencoba mengingat-ingat lagi, tapa ia tetap tidak bisa. Satu-satunya kenangan yang tersisa di kepalanya hanyalah kenangan buruk saja. Dan lagi, hanya ada satu foto Aksa di sana. Selebihnya, dalam album foto tahunan SD itu hanya tersimpan foto Ren dan beberapa teman sekelas Aline yang lain.
"Apa Aksa murid pindahan? Aku tidak ingat pernah sekelas dengannya." gumam Aline.
Di bawah album foto tersebut, terselip beberapa lembar kertas HVS yang dilipat menjadi empat bagian. Kertas itu begitu tebal, ada lima lembar HVS dengan lukisan yang berbeda-beda.
Aline menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya akan lukisan-lukisan yang digambarnya sewaktu SD. Dalam dua lukisan tersebut, gadis itu menuliskan perasaannya.
Aline meneteskan air mata ketika ia membaca ulang apa yang telah ditulisnya di balik kertas HVS tersebut. Kalimat-kalimat itu benar-benar sudah membuatnya malu dengan kehidupannya yang berbanding terbalik saat ini.
Jika aku besar nanti, aku ingin menjadi seperti Vincent Van Gogh. Para seniman boleh saja mengatakan bahwa Van Gogh itu adalah orang gila yang jenius, meskipun beliau dianggap gila tetapi beliau selalu menghasilkan karya-karya yang tak lekang oleh zaman. Suatu hari nanti, aku ingin menjadi seperti beliau juga. Soalnya, teman-teman di kelasku sering menyebutku sebagai anak bodoh. Aku sering dianggap sebagai orang gila dan idiot, tapi aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku pasti akan menjadi seseorang yang nantinya akan memiliki "nama" untuk dunia ini.
Aku mencoba melukis bunga iris seperti Van Gogh, tetapi ini tidak mirip. Suatu hari nanti, jika keahlian menggambarku meningkat pesat seperti Margin, aku akan membuat ulang lukisan ini lagi.
Hari ini aku berhasil menghafal kata-kata Van Gogh. Bunyinya begini:
"Saya selalu berharap bahwa dalam potret, kita masih menunggu sebuah revolusi yang indah."
Kalimat itu kedengarannya bagus. Tapi aku tidak tahu apa arti dari kata revolusi. Aku bukannya bodoh dan tidak pernah belajar, aku hanya tidak pintar saja seperti Margin. Kata-katanya cukup asing di kepalaku. Tetapi aku pikir kata revolusi itu bisa membuat hidup kita menjadi lebih baik. Aku pernah bertanya pada Margin, dan Margin menjelaskan bahwa, revolusi itu semacam perubahan. Suatu hari nanti, aku juga ingin mengubah hidupku menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Aline meremas kertas yang lusuh dan kekuning-kuningan itu. Air matanya jatuh berderai. Sekilas, ia teringat pada percakapannya dengan Margin di kafe beberapa tahun lalu. Sekarang Aline baru menyadari semuanya. Margin benar sekali, Aline memang telah melupakan mimpi dan cita-cita masa kecilnya. Meski Aline sudah berulang kali mencoba untuk menyangkal ucapan Margin, tetapi dalam hatinya, Aline masih ingin melanjutkan cita-cita dan mimpi kecilnya di bidang ini.
Secarik kertas lain ditemukan di bawah kotak itu. Kalau tidak salah isi kertas itu ditulis oleh Aline ketika masih SMP pertengahan kelas tujuh. Kira-kira Aline baru berusia empat-lima belas tahun. Saat itu Aline mulai mengerti tentang arti dari cita-cita. Aline menuliskan secarik surat untuk dirinya di masa depan.
Dear Aline,
Di usia berapa kau menemukan surat ini?
Jika kau membaca surat dari masa lalumu, apa yang akan kau lakukan setelah itu? Aku penasaran. Apakah kehidupan kau saat itu sudah jauh lebih baik dari pada sekarang? Apa kau masih bergantung hidup kepada Margin? Atau, apa kau juga masih bodoh seperti aku sekarang?
Aline,
Aku takut sekali jika kau di masa depan akan melupakan semua impian kita di masa lalu. Jadi, aku memutuskan untuk mengirimkan surat ini untukmu.
Hari ini, aku ingin bercerita, semoga saja kau di masa depan masih mengingat tentang ini:
Hari ini, di kelas seni rupa, guru seni dan wali kelas memujimu dan memberikan nilai terbaik untuk maya pelajaran ini. Mereka bilang kau sangat berbakat. kau juga akan diikutsertakan dalam kompetisi melukis untuk mewakili sekolah kita. Menyenangkan sekali.... untuk pertama kalinya aku merasa senang berangkat ke sekolah.
Walaupun teman-teman di kelasmu sering mengejek dan menertawakan tingkahmu, tetapi guru-guru di sekolah ini tetap menyayangimu. Mereka selalu peduli dan memperhatikanmu. Alih-alih menganggapmu sebagai orang bodoh, mereka menyebutmu istimewa. kau hanya berbeda dengan orang lain. Guru-guru bilang, kau harus mengasah bakat alami yang kau miliki. kau tidak perlu merasa sedih, ataupun menangis jika ada orang yang menjahilimu. Kami tidak perlu merasa sedih karena tidak punya orang tua. Mungkin kau memang tidak sepintar orang lain, tapi kau memiliki tekad, dan kau harus percaya pada kemampuan dan keyakinan yang kau miliki.
Oh ya, Aline. Apakah kau masih ingat lukisan Amedeo Modigliani yang kau lihat bersama Margin di galeri seni? Saat kau sedang terpuruk, cobalah untuk mengingat momen kebersamaan antara kau dan Margin lagi. Dan, pandanglah lukisan sang maestro itu.
Guruku pernah berkata, Amedeo Modigliani sebenarnya adalah seniman yang karyanya hampir tidak terkenal. Ia hanya dikenal sebagai seorang pemabuk. Seniman yang kecanduan alkohol. Bahkan, banyak kritikus seni yang mengatakan bahwa hasil karya lukisan Amedeo itu biasa-biasa saja. Amedeo hanya menggambar semacam karikatur yang tidak memiliki daya tarik. Namun, meski banyak yang berkata demikian, sampai saat ini aku tetap mengagumi karya Amedeo Modigliani.
Sebagai diriku di masa depan. kau juga masih menyukai lukisan maestro itu, kan?
Aku tidak pernah melihat ada jiwa di setiap lukisan Amedeo. Tetapi setiap kali aku menatap lukisan-lukisan maestro lain yang berjejer di sekeliling lukisannya, aku langsung dapat mengenali lukisan Amedeo.
kau tahu alasannya? Jika kau lupa, cobalah untuk mencari tahu atau tanyakan saja kepada Marginmu. Ia pasti akan memberikan jawabnya untukmu.
Aline,
Margin selalu berkata bahwa kehidupan kau seharusnya bisa jauh lebih baik dari sekarang ini. Jadi, aku berharap banyak pada dirimu di masa depan, aku sungguh ingin agar kau bisa menjadi "orang" seperti maestro Paris, Amedeo.
Otak kita mungkin dangkal, tapi aku yakin kau bisa berubah di kemudian hari. Jangan biarkan siapapun mengambil semangat ini. Tolong jangan menyerah pada impian masa kecil kita. Namun, saat kau menemukan bidang yang kau sukai. Akan lebih baik jika kau menjalankan semua itu dengan sungguh-sungguh. Jangan pikirkan hasilnya. Teruslah berproses dan jangan pernah berhenti belajar dari kesalahan-kesalahanmu di masa lalu.
Dari aku yang ada dalam dirimu di masa silam,
Alinea Prasasti.
Aline terisak membaca semua tulisan tangannya di masa lalu. Ia terpikir untuk menghubungi Margin dan mempertanyakan tentang kertas-kertas itu.
Aline bangkit, meraih gagang telepon di meja tamu dan menekan nomor telepon Margin. Namun, saat nada telepon tersambung dan gadis itu hendak berbicara, suara ketukan di pintu kamar Aline seketika membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Aline menurunkan kembali gagang teleponnya dan bergegas membukakan pintu.
Saat Aline berdiri di depan pintu dan mengintip ke sekeliling, seorang pria berdiri dan mengejutkannya dari bawah.