"Karena kamu yang menggagalkan acara pernikahan ini, maka kamu harus bertanggung jawab!" ucap pria sepuh didepannya.
"Bertanggung jawab!"
"Kamu harus menggantikan mempelai wanitanya!"
"APA?"
****
Bagaimana jadinya kalau seorang siswi yang terkenal akan kenalan dan kebar-barannya menjadi istri seorang guru agama di sekolah?!?
Yah dia adalah Liora Putri Mega. Siswi SMA Taruna Bangsa, yang terkenal dengan sikap bar-barnya, dan suka tawuran. Anaknya sih cantik & manis, sayangnya karena selalu dimanja dan disayang-sayang kedua orang tuanya, membuat Liora menjadi gadis yang super aktif. Bahkan kegiatan membolos pun sangatlah aktif.
Kalau ditanya alasan kenapa dia sering bolos. Jawabnya cuma satu. Dia bolos karena kesetiakawanannya pada teman-teman yang juga pada bolos. Guru BK pusing. Orang tua juga ikut pusing.
Ditambah sikapnya yang seenak jidatnya, menggagalkan pernikahan orang lain. Membuat dia harus bertanggung jawab menggantikan posisi mempelai wanita.
Gimana ceritanya?!!?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cahyaning fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Senyum Itu Ibadah
"Kalian sudah pulang?" tanya bunda Nurma menyambut kedatangan anak dan anak menantunya.
"Alhamdulillah, sudah, Bun." jawaban mereka kompak.
"Ih, kompak banget sih. Seneng deh bunda dengernya." Kekeh Nurma, "Sudah pada makan belum?"
"Sudah kok, Bun. Tadi sekalian makan di rumah mama Mirna," jawab Liora tersenyum kecil.
"Ya sudah, sana masuk. Tuh, papa dan Raisa dah pulang!" ucap Bunda.
Mereka pun masuk ke dalam rumah, dan benar saja, papa Hidayat dan Raisa sudah balik dari Cirebon. Agam dan Liora langsung menyalami tangan papa Hidayat.
"Dari mama mertua, Gam?" tanya Hidayat. Ia melirik ke arah koper yang putranya bawa. Dan sudah pasti itu barang-barang menantunya.
"Iya, Yah. Ngambil barang-barangnya Liora," jawab Agam mendudukkan bokongnya di sofa, disusul sang istri ikut duduk di samping sang suami. Liora merasa segan jika harus berhadapan dengan ayahnya Agam, sebisa mungkin ia harus bisa menjaga image di depan papa mertua.
"Sudah semua, Li?" tanya Hidayat beralih bertanya ke Liora.
"Ehm, sudah, Pak. Eh, ayah....!" Liora tersenyum canggung.
"Sa, salim dong sama Mas dan Mbakmu. Dari tadi sibuk maen hape terus?" tegur Hidayat merebut ponsel anak keduanya, bernama Raisa.
"Ih, ayah ah.....!" sewot gadis yang masih duduk di bangku SMP itu. Melihat Agam dan Liora, dia langsung tersenyum canggung. Lalu beranjak dari tempat duduknya, mengulurkan tangan untuk salim.
"Kamu tuh bukannya rajin belajar malah semakin menjadi. Mau jadi apa kamu?" galak Agam.
Ternyata sikap galak Agam bukan hanya diterapkan pada siswa-siswinya, pada adiknya juga begitu. Raisa beranjak dari tempat duduknya, sambil memonyongkan bibirnya.
"Ish, Mas Agam pelit!" sungut Raisa sambil menggerutu.
Ayah dan bunda terkekeh, sementara Liora mengigit bibirnya kuat-kuat. Sifat Raisa sama persis dengan dirinya, yang tidak suka dilarang-larang.
"Mana hapenya?" seru Agam dengan suara yang cukup tegas. Raisa pun menyerahkan hape itu, bibirnya semakin maju lucu sekali.
"Mas kembalikan kalau kamu sudah selesai belajar!" ujarnya tegas.
"Iya. Iya." Akhirnya Raisa patuh, ia pun langsung berjalan ke arah kamarnya yang berada di lantai dua, di samping kamar Agam persis.
"Hahahaha, disini kamu jangan kaget, Liora. Pemandangan seperti tadi akan kamu lihat setiap hari!" ucap Hidayat terkekeh.
Liora meneguk salivanya kasar.
Jika pada adiknya saja tegas seperti itu, lalu bagaimana pada dirinya. Nafas Liora kembang kempis memikirkan itu. Sungguh itu hal yang tidak baik dan tidak menguntungkan baginya.
"Raisa itu hanya akan takut pada kakaknya," ucap bunda Nurma membelai rambut Liora dengan sayang. Liora hanya nyengir kuda sambil melirik ke arah Agam, yang sedang sibuk dengan gawainya tersebut, seperti biasa tanpa ekspresi.
"Kalian pasti kecapekan. Sana langsung istirahat!" suruh Papa Hidayat pada keduanya.
"Ah, iya. Liora ke kamar dulu ya, Bun, Yah. Besok Liora sudah mulai sekolah, mau nyiapin baju dan bukunya!" pamit Liora pada keduanya.
"Tentu saja. Istirahatlah, Nak. Anggap seperti di rumah sendiri!" ujar Hidayat sambil bercanda.
Dengan malu-malu, Liora pun lekas naik ke lantai dua, ke kamar suaminya itu. Ia akan mengangkat kopernya sendiri, tapi Agam langsung menyambar koper tersebut, dan membawanya menuju kamar. Melihat itu mulut Liora ternganga lebar.
Bukan apa-apa, dia itu terkejut karena suaminya itu langsung menyambar koper begitu saja.
Sampai di kamar, Liora berdiri canggung. Matanya melirik ke sana kemari, mencari lemari untuk ia gunakan meletakkan baju-bajunya.
"Emmm....., Aa!" panggil Liora.
"Hemm!'
"Lemari bajuku mana? Terus baju-baju ku mau ditaruh di mana, Aa?"
"Kamu nggak liat lemari segede gaban?" tunjuk Agam, "Kamu bisa meletakkan baju-bajumu di sana!" ujar Agam tanpa ekspresi.
"Kita satu lemari, Aa?" tanya Liora lagi.
"Lah, iya. Emang kenapa?"
Liora langsung mengigit bibirnya sendiri. Pikirannya sudah berkelana ke mana-mana.
"Duh, kalau Aa sampai liat celana dalam dan bra punyaku, aku kan malu. Mana celana dalamnya udah pada bolong lagi!" gerutu Liora dalam hati.
"Kenapa? Kok diem aja?"
"Hehe, nggak apa-apa, Aa." Liora pun berjalan menuju lemari yang Agam maksud. Di sana ia meletakkan semua baju-bajunya.
******
Keesokan harinya.
Liora sudah siap kembali ke sekolah dengan wajah sedikit masam.
Bagaimana tidak?
Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Matanya tak mau terpejam. Padahal sudah berbagai macam cara ia lakukan.
Semalaman Liora hanya menatap langit-langit kamarnya, mencoba membaca hingga mendengarkan musik lembut, tetapi matanya tetap terbuka lebar.
"Kamu nggak bisa tidur semalam?" tanya Agam, sambil mengusap rambutnya yang masih basah setelah mandi.
Dengan ekspresi lelah, Liora hanya mengangguk pelan.
Agam tersenyum nakal, "Kenapa? Takut saya terkam?"
Liora mengibaskan tangannya dengan cepat, "Eh, nggak. Siapa juga yang takut?" serunya, bibirnya mengerucut dalam pertahanan.
Agam mendekatkan wajahnya, penasaran, "Terus, kenapa nggak bisa tidur?"
Liora terdiam, malu mengakui bahwa dia takut Agam akan tahu kebiasaannya tidur sambil ngiler dan ngigau.Jatuh harga dirinya di depan gurunya sendiri.
"Aku mau turun. Mau sarapan!" ucap Liora mengalihkan pertanyaan suaminya itu.
"Tunggu. Kita keluar bareng!" ujar Agam.
"Ish, Aa manja sekali sih?" sungut Liora. Baru tau kalau Agam ternyata manja sekali.
"Bukannya manja. Aa cuman mau mendisiplinkan istri Aa!" ujarnya.
"Ck," desis Liora dengan melipat bibirnya.
Agam menatap Liora dengan sorotan yang tajam, namun suaranya berusaha tetap lembut.
"Li, sekarang kamu istriku, coba tunjukkan sikap yang pantas sebagai istri." Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aa tahu ini semua baru bagi mu dan Aa tidak meminta kamu untuk langsung mahir dalam segala hal. Waktu akan mengajarkanmu. Tapi, bisa tidak, setidaknya kamu mulai hari dengan senyuman manis? Bukan dengan cemberut yang mirip cuka basi. Senyuman itu ibadah, Li." Sengaja Agam ngomong begitu, untuk mengajari Liora sebagai seorang istri.
Liora menarik nafas dalam, mencoba menstabilkan emosi yang kacau balau sejak menikah. Kadang, dia merasa begitu marah pada Agam, terutama saat memikirkan tanggung jawab dan harapan yang dia pikul. Namun, kemudian, ada saat-saat dia tersadar bahwa ini semua sudah garis takdir.
"Iya, Maaf, Aa," katanya lembut, sebuah usaha tersenyum menghiasi bibirnya meski matanya tetap berkabut kebingungan.
Agam tersenyum, "Nah, itu kan lebih baik. Kamu cantik sekali kalau tersenyum."
Agam pun melenggang meninggalkan Liora yang masih terpaku di tempatnya berdiri setelah sang suami memujinya. Entahlah, tiba-tiba saja pipinya langsung memanas. Jantungnya bertalu-talu.
"OMG. Apakah dia sedang memuji?" Liora sampai memegangi pipinya sendiri.
"Ayo sarapan!" ajak bunda dan ayah untuk sarapan.
"Maaf ya, Bun. Liora bangunnya kesiangan!" jawab menantunya itu merasa tidak enak, "Liora jadi nggak bisa bantuin bunda deh!"
"Hehehehe, nggak apa-apa. Lagian bunda tau kok. Kamu hari ini sekolah. Harus mempersiapkan ini dan itu. Bunda paham kok. Kamu jangan mencemaskan itu, sudah ada bibi yang membantu bunda!" ujar wanita berkerudung itu dengan lembutnya.
"Terima kasih, Bunda!"
Betapa beruntungnya Liora memiliki mertua yang begitu baik seperti bunda Nurma. Nggak seperti mirnawati yang cerewet banget, sudah kayak mama tiri. Pagi-pagi begini pasti sang mama akan cerewet sekali, kuping Liora sampai budek mendengar Omelan sang mama di pagi hari.
"Nanti berangkat bareng aja? Kalian kan satu sekolah?" ucap Hidayat pada keduanya.
"Tentu dong, Yah. Kami kan tujuannya sama....!" sahut Agam mengulum senyum dalam hati.
"Wah, Raisa boleh nebeng dong?"
"Ish, seperti biasa kamu sama ayah dong?" ujar Hidayat pada putrinya.
"Ih, ayah nggak seru....!" sungut gadis muda itu cemberut.
Bersambung....
Komen ya????🤣🤣🤣