Bidadari Yang Ternoda

Bab 25

Ternyata bukan hanya Malika yang dirawat di Rumah Sakit Harapan, Pradipta juga akan mendapatkan perawatan di sana. Selain peralatan lengkap dan canggih, keamanan di sana juga terjamin. 

Malika melihat putrinya yang berada di dalam inkubator. Tubuhnya sangat kecil, seukuran botol air mineral. Beratnya sekitar 2kg dan tinggi sekitar 35cm. Berbeda jauh jika dibandingkan dengan bayi yang terlahir dengan usia kandungan sembilan bulan.

"Dia akan jadi anak yang cantik," ucap Rania yang menemani Malika.

Air mata Malika mengalir. Hatinya pedih karena belum bisa menimang dan menyusui secara langsung putrinya.

"Aku harap dia bisa tumbuh kuat dan tangguh seperti anak-anak berdarah keluarga Lazuardi," ucap Malika lirih.

"Justru aku berharap anak Kakak seperti Kakak atau Tante Aisyah. Wanita yang lemah lembut. Kalau mirip dengan ...." Rania menghela napas, bagaimana badasnya para wanita keluarga dari suaminya.

Sementara itu, Bu Mayang berhadapan dengan Papa Andromeda dan Mama Aisyah. Orang tua Malika tidak suka karena besannya tidak memberi tahu kalau Malika melahirkan di saat usia kandungannya baru tujuh bulan. 

"Kenapa tidak menghubungi kami semalam?" tanya Papa Andromeda dengan nada sinis.

"Semalam kita semua panik ketika menemukan Malika berbaring di lantai. Mana ingat harus menghubungi Anda," jawab Bu Mayang tidak kalah sinis.

"Bukannya tadi pagi Adzam ke rumah Ibu dan bertemu dengannya. Kenapa tidak memberi tahu waktu itu," kata Mama Aisyah kali ini.

"Lupa," balas Bu Mayang singkat.

"Lupa?" Papa Andromeda tertawa mengejek. "Apa Anda sudah mengalami kepikunan? Kejadian menegangkan dan membuat panik belum lama terjadi, bisa sampai lupa."

"Heh, Pak! Anak laki-lakiku juga mengalami kecelakaan. Pikiran aku juga jadi kacau," ucap Bu Mayang beralasan menutupi perbuatannya dengan Selina.

Papa Andromeda ingin menimpali ucapan besannya, tetapi Mama Aisyah memberi kode untuk diam. Dia berharap tidak membuat kekacauan di rumah sakit dan menggangu pasien lain. Saat ini mereka sedang berada di ruang inap yang ditempati Malika yang sedang kosong ditinggalkan pasiennya.

***

Selama satu minggu Malika dan bayinya berada di Rumah Sakit Harapan. Bayi perempuan itu diberi nama Misha. Kini tubuhnya sudah lebih berisi dan bisa disusui oleh ibunya.

Rupanya ancaman Selina tidak macam-macam. Wanita itu meneror Malika lewat pesan chat. Isinya foto Misha yang diambil secara diam-diam.

Belum lagi Pradipta juga yang menunjukkan surat perjanjian yang dia sembunyikan itu. Di sana tertulis kalau bayi yang dikandung oleh Malika akan menjadi milik Pradipta. 

"Lihat, poin nomor lima! Di sana dituliskan kalau bayi yang kamu kandung akan menjadi milikku. Dan kamu setuju. Jadi, jika kamu masih ingin bersama dengan Misha, maka harus tetap menjadi istriku," kata Pradipta dengan wajah puas.

Dahulu Malika sangat sedih karena tidak bisa menikah dengan Airlangga. Dia juga marah kepada dirinya dan tidak ingin hamil dari benih laki-laki asing. Wanita itu bahkan berpikir bisa keguguran saat baru tahu dirinya sedang hamil.

Sekarang Malika merasa mendapatkan hukuman dari Tuhan karena sempat menolak kehadiran anaknya. Saat ini hatinya merasa tidak rela jika harus berpisah dengan bayi mungil yang dia beri nama Misha. 

Malika berpikir sejenak. Kali ini dia tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.

"Baiklah. Tapi, aku ...." Malika tidak mau melayani Pradipta karena laki-laki itu sudah ketahuan tidur bersama dengan Selina sejak dulu.

"Aku tidak akan pernah memaksa kamu untuk melayaniku sampai kamu benar-benar siap," balas Pradipta. "Tenang saja aku bersih dari segala penyakit. Aku juga tidak akan menyentuh Selina lagi."

Mau tidak mau Malika bertahan menjadi istri Pradipta demi Misha. Walau dalam bayang-bayang ketakutan akan ancaman Selina. Dia juga takut jika sampai Pradipta menikah dengan wanita itu dan menyakiti Misha.

"Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir panjang dan teliti saat itu?" batin Malika merutuki dirinya.

"Satu lagi," kata Malika.

"Katakan saja," balas Pradipta.

"Aku ingin tinggal di rumahku. Aku tidak mau tinggal di rumah kamu. Di sana tidak aman," ucap Malika.

"Baiklah. Tidak masalah bagiku. Yang penting kamu merasa senang. Bukannya ibu menyusui harus dibuat bahagia agar ASI nya lancar. Aku tidak mau Misha kekurangan ASI," ujar laki-laki yang menggunakan setelan kasual.

***

Waktu terus berlalu dalam kedamaian, Malika hidup bersama keluarga kecilnya di rumah yang dulu ditempati olehnya. Pradipta melakukan tugas sebagai seorang ayah dengan baik dan cekatan. Dia ikut mengurus Misha dan tidak membolehkan Malika kelelahan. Alasannga agar ASI nya bisa terus diproduksi. Setiap malam, dia juga yang begadang.

Sejak pindah ke rumah ini, tidak ada gangguan dari Selina. Hal ini membuat Malika curiga kepada Pradipta. Dia yakin kalau suaminya sudah melakukan sesuatu kepada wanita itu.

Malika tidak tahu kalau Selina di penjara atas tuduhan melukai Pradipta. Laki-laki itu sengaja melaporkan mantan kekasihnya agar tidak menggangu kehidupannya bersama Malika dan Misha.

Puput yang mulai sibuk masuk kuliah, hanya sesekali main ke rumah Malika untuk menengok kakak ipar dan keponakannya. Gadis itu sebenarnya baik, hanya saja sering kebawa arus dan hasutan. Namun, sekarang sudah dewasa dan berpikir bijak, walau terkadang masih suka manja kepada ibu dan kakaknya.

Bu Mayang akan datang ke rumah Malika ketika ada Puput, jika tidak ada, maka tidak akan datang. Berbeda dengan Papa Andromeda dan Mama Aisyah yang hampir setiap hari datang ke rumah untuk melihat Misha dan berebut ingin menggendongnya.

Malika memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai dokter. Pradipta tidak ingin Misha di asuh oleh orang lain. Dia mempercayakan putrinya kepada Malika.

"Misha sudah bisa mengangkat pantatnya mau merangkak, nih!" seru Pradipta senang. Dia mengabadikan momen itu dengan video lewat handphonenya.

Malika yang sudah tahu hanya tersenyum tipis. Tadi, siang Papa Andromeda dan Mama Aisyah juga sama hebohnya. Mereka terus menyemangati sang cucu agar bisa merangkak.

"Nanti malam kita pergi ke kediaman Mister Green," kata Malika.

"Ada apa?" tanya Pradipta. Dia kurang nyaman jika berkumpul dengan keluarga bule Amerika itu.

"Adzam akan tunangan dengan Queen," jawab Malika.

"Apa?" Pradipta terkejut soalnya karena calon tunangan adik iparnya masih duduk di bangku SMA.

"Mereka sudah dijodohkan sejak masih kecil," kata Malika.

Tiba-tiba ekspresi wajah Malika berubah. Potongan memori sewaktu dia masih kecil tiba-tiba bermunculan memenuhi pikirannya. Dia memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit. Keringat dingin pun langsung membasahi sekujur tubuhnya.

Merasa ada yang aneh kepada istrinya, Pradipta mendekat sambil menggendong Misha. Wajah Malika terlihat sangat pucat sekali dan keringat membasahi kening dan lehernya.

"Ada apa?" tanya Pradipta menatap sang istri. "Hei, Malika! Kamu kenapa?" 

***