Di dunia di mana kekuatan adalah segalanya, Liu Han hanyalah remaja 14 tahun yang dianggap aib keluarganya. Terlahir dengan bakat yang biasa-biasa saja, dia hidup dalam bayang-bayang kesuksesan para sepupunya di kediaman megah keluarga Liu. Tanpa ayah yang telah terbunuh dan ibu yang terbaring koma, Liu Han harus bertahan dari cacian dan hinaan setiap hari.
Namun takdir berkata lain ketika dia terjebak di dalam gua misterius. Di sana, sebuah buku emas kuno menjanjikan kekuatan yang bahkan melampaui para immortal—peninggalan dari kultivator legendaris yang telah menghilang ratusan ribu tahun lalu. Buku yang sama juga menyimpan rahasia tentang dunia yang jauh lebih luas dan berbahaya dari yang pernah dia bayangkan.
Terusir dari kediamannya sendiri, Liu Han memulai petualangannya. Di tengah perjalanannya menguasai seni bela diri dan kultivasi, dia akan bertemu dengan sahabat yang setia dan musuh yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir yang buruk
Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menyelinap melalui celah tebing yang menjulang tinggi di sekeliling jurang.
Setelah beberapa jam beristirahat, Liu Han memaksakan dirinya untuk bangkit. Tubuhnya masih terasa remuk, terutama lengan kirinya yang patah dan pergelangan kaki yang membengkak. Namun, rasa lapar dan kebutuhan untuk bertahan hidup memaksa dirinya untuk terus berjalan.
Dia menyusuri tepian sungai, mengikuti aliran air yang semakin menyempit ke arah hulu. Meski jalannya terseok-seok, tekadnya tetap menyala. Sesekali, Liu Han berhenti untuk meminum air sungai, meskipun rasanya tidak terlalu menyegarkan.
Setelah berjalan cukup jauh, suara aliran air mulai mereda, digantikan oleh keheningan aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.
Di depannya, sebuah danau kecil muncul di tengah-tengah jurang. Airnya berwarna jingga, memantulkan kilauan seperti batu permata di bawah cahaya matahari.
Aroma yang samar, seperti campuran mineral dan sesuatu yang tidak ia kenali, menguar dari permukaan air.
"Ini... luar biasa," gumam Liu Han dengan kagum, meskipun rasa lelah masih membebani pikirannya.
Namun, perhatian Liu Han segera tertuju pada sesuatu di sekitar tepi danau. Beberapa tanaman berwarna hijau kebiruan tumbuh di sela-sela bebatuan, memancarkan kilauan samar. Ia mengenali tanaman itu dari pelajaran dasar yang diajarkan ayahnya bertahun-tahun lalu.
"Rumput Vitalitas Qi!" Liu Han menganga. Meski hanya lapisan ketiga Body Tempering, dia tahu nilai dari tanaman itu sangat tinggi. Satu helainya saja dapat mempercepat pemulihan energi dan memperkuat tubuh.
"Jika aku bisa memetiknya... ini bisa jadi awal untuk membalikkan nasibku.
Dengan hati-hati, Liu Han melangkah mendekati tepi danau. Langkahnya pelan, memperhatikan setiap pijakan untuk menghindari jebakan alam yang tidak terduga. Namun, saat dia hanya beberapa meter dari tanaman tersebut, permukaan air jingga di tengah danau mulai beriak.
Dia berhenti, menahan napas. Riak-riak kecil berubah menjadi gelombang, dan tiba-tiba, sesuatu yang besar mencuat dari bawah air.
Seekor makhluk raksasa menyeruak dari danau, tubuhnya licin dan bersisik seperti ular, tetapi dengan dua kepala berbentuk belut yang masing-masing memiliki sepasang mata merah menyala. Taring tajam terlihat jelas di mulutnya yang terbuka lebar, memancarkan aura mematikan.
"Makhluk apa ini?!" seru Liu Han, mundur dengan tergesa-gesa.
Belut kepala dua itu melesat ke arahnya, tubuhnya yang panjang meliuk-liuk dengan kecepatan luar biasa. Liu Han terkejut, tapi insting bertahan hidupnya memaksa dia untuk segera berlari.
"Apa-apaan ini?! Aku hanya ingin rumput itu, bukan nyawaku!" teriak Liu Han panik sambil berlari sekuat tenaga, melupakan rasa sakit di kakinya.
Suara dentuman terdengar setiap kali belut itu menabrak batu atau tanah di belakangnya. Liu Han menoleh sekilas dan melihat kepala makhluk itu nyaris menyambar kakinya.
"Sial! Kau ini apa, pelindung rumputnya?! Aku bahkan belum menyentuhnya!"
Liu Han terus berlari, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. Tetapi di dasar jurang ini, pilihannya sangat terbatas. Dia hanya bisa mengikuti jalur kecil di sepanjang tepi danau, sementara makhluk itu mengejarnya tanpa henti.
"Apa aku dikutuk atau semacamnya?!" Liu Han mendongak ke atas, menatap puncak tebing yang jauh di atas. "Hei, kalian para dewa di atas sana! Kalau kalian ada, kenapa aku terus dipermainkan begini?! Aku sudah jatuh dari tebing, dikejar serigala, sekarang belut raksasa?! Apa lagi setelah ini, naga?!"
Amarah dan rasa frustasi membuncah di dadanya. Namun, tidak ada jawaban dari atas, hanya gema suaranya yang memantul di dinding jurang.
Belut itu kembali melompat, hampir menyambar punggung Liu Han. Dia melompat ke samping, hampir jatuh ke dalam danau. Tanpa sengaja, kakinya menendang sebuah batu besar yang menggelinding masuk ke air, menciptakan gelombang besar yang sesaat menghentikan pergerakan belut.
Melihat peluang, Liu Han segera memutar arah, menuju sisi lain jurang di mana aliran sungai membentuk terowongan kecil yang tampaknya cukup sempit untuk dilewati.
Dengan sisa tenaganya, dia menerobos masuk ke dalam terowongan tersebut, tubuhnya nyaris terjepit di antara bebatuan. Belut kepala dua itu mencoba mengejarnya, tetapi tubuhnya yang besar terhalang oleh dinding sempit.
Nafas Liu Han terengah-engah. Tubuhnya gemetar karena kelelahan, tapi dia tahu dia belum benar-benar aman. Makhluk itu mengaum dengan suara menggelegar, suaranya bergema di seluruh terowongan.
"Dunia ini benar-benar tidak punya belas kasihan," gumam Liu Han, menatap ke arah danau jingga dari celah sempit tempatnya bersembunyi. Dia bisa melihat makhluk itu masih berkeliaran, tubuhnya menggeliat di air sambil mencari mangsanya.
Liu Han bersandar di dinding batu, mencoba menenangkan napasnya. "Aku harus menemukan cara untuk keluar dari sini... atau mati jadi santapan makhluk itu."
Meskipun keadaannya sulit, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketakutan yang dia rasakan mulai memudar, digantikan oleh tekad yang perlahan menguat.
"Aku mungkin hanya semut di dunia ini," katanya pelan, "tapi bahkan semut pun bisa bertahan hidup. Kalau dunia ini kejam, aku harus lebih kejam lagi."
Liu Han mengatur napasnya, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan adrenalin yang meluap. Belut kepala dua itu masih berkeliaran di danau, mengaum penuh amarah karena mangsanya lolos.
Liu Han menyandarkan tubuhnya pada dinding batu terowongan sempit, mencoba berpikir jernih.
"Aku tidak bisa tinggal di sini selamanya," gumamnya lirih. "Kalau aku tetap di tempat ini, makhluk itu akan menungguku sampai mati kelaparan."
Dia menoleh ke belakang, melihat bagian dalam terowongan yang semakin gelap. Terowongan itu tampak sempit, tetapi ada kemungkinan mengarah ke tempat lain. Itu satu-satunya harapannya sekarang.
Dengan kaki pincang dan tangan kiri yang masih nyeri, Liu Han mulai merangkak lebih dalam ke terowongan.
Dingin dan lembap mulai merasuki tubuhnya, membuat rasa sakit semakin terasa. Namun, dia tidak punya pilihan. Setiap beberapa langkah, dia berhenti untuk mendengarkan apakah makhluk itu masih mengejarnya.
Setelah beberapa saat, terowongan mulai melebar, dan dia bisa berdiri kembali. Cahaya samar muncul dari ujung terowongan. Liu Han memicingkan mata, mencoba memastikan apa yang ada di depan.
Ketika dia mendekat, dia menyadari bahwa cahaya itu berasal dari rembesan air yang memantulkan sinar matahari dari celah kecil di atas. Dia kembali ke tepi sungai kecil yang mengalir keluar dari danau jingga.
Namun, tidak ada tanda-tanda belut kepala dua itu di sekitar.
"Apakah... apakah dia menyerah?" pikir Liu Han.
Dia melangkah pelan, mengintip ke arah danau. Air jingga itu tenang, tetapi tubuh makhluk itu tidak terlihat. Hatinya berdegup keras. Dia tidak percaya bahwa makhluk sebesar itu akan pergi begitu saja.
Saat dia memutar pandangan, Liu Han melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Tidak jauh dari tepi danau, dinding batu jurang tampak memiliki celah besar, seperti mulut goa. Dari celah itu, keluar pancaran cahaya lembut yang sulit dijelaskan. Aura dari goa itu terasa berbeda, menimbulkan sensasi dingin dan menekan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat.
"Apa itu?" gumamnya.
Namun, belum sempat dia bergerak lebih jauh, air jingga di danau kembali bergolak. Tiba-tiba, belut kepala dua itu melompat keluar dengan kecepatan luar biasa, meluncur langsung ke arah Liu Han.
"Benar-benar tidak menyerah!" Liu Han segera berlari, meskipun setiap langkah terasa menyiksa.
Dia mengarahkan tubuhnya ke arah goa yang bercahaya itu, berharap bahwa tempat itu dapat menjadi pelindungnya. Belut raksasa itu mengejarnya, tubuhnya yang besar membuat tanah bergetar setiap kali menabrak batu atau akar di sepanjang jalur.
Ketika Liu Han mencapai mulut goa, dia merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitar goa lebih dingin, dan tekanan yang dia rasakan semakin kuat. Namun, belut itu tiba-tiba berhenti beberapa meter dari goa.
Makhluk itu menggeram, kedua kepalanya mengibas ke arah Liu Han dengan marah.
Tetapi, seolah ada dinding tak terlihat yang menghalangi, belut kepala dua itu tidak berani mendekat lebih jauh.
"Hah?" Liu Han menoleh ke belakang, menyadari bahwa makhluk itu hanya bisa mengaum dari kejauhan. Kedua mata merahnya menatap Liu Han penuh kebencian, tetapi tubuhnya mundur perlahan, kembali ke danau jingga.
Dia memandang ke arah goa dengan mata terbelalak. "Apa yang ada di dalam sini... sampai makhluk seperti itu pun takut?"
Ketika dia melangkah lebih jauh ke dalam goa, aura dingin yang menekan semakin terasa. Dinding goa dipenuhi dengan kristal kecil yang memantulkan cahaya samar, memberikan pemandangan yang surreal.
Udara di dalamnya terasa bersih, tetapi setiap langkah membuat bulu kuduknya meremang.
Liu Han melihat ke sekeliling, memperhatikan bahwa lantai goa tampak licin, seperti sering dilalui air yang mengalir. Namun, tidak ada suara apapun selain detak jantungnya sendiri.
Setelah beberapa meter masuk, dia melihat sesuatu di tengah goa: sebuah altar kecil yang terbuat dari batu hitam legam, dikelilingi oleh formasi aneh seperti tulisan kuno. Di atas altar, sebuah benda bercahaya melayang pelan—buku emas.
"Buku emas...?" Liu Han melangkah mendekat, matanya terpaku pada benda itu. Aura misterius yang sama dengan yang dia rasakan dari goa ini tampaknya berasal dari buku tersebut.
Dia ragu untuk mendekat, tetapi rasa penasaran dan putus asa mengalahkan ketakutannya. "Apakah ini... yang akan mengubah takdirku?"
Dengan hati-hati, Liu Han mengulurkan tangan kanannya yang gemetar, menyentuh permukaan buku itu. Ketika jari-jarinya menyentuhnya, sebuah cahaya menyilaukan memenuhi goa.
tangan melayang saja, sdh cukup MENGHADAPI PREMAN PASAR (KROCO²)..
Gak perlu setiap x ketemu Lawan, pake PISAU