Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hari itu, setelah mempertimbangkan segala risiko, Adit akhirnya memutuskan untuk mencoba peruntungannya bekerja sama dengan perusahaan KH Corp.
Perusahaannya yang tidak seberapa besar seharusnya tidak berani bertaruh melawan raksasa industri seperti KH Corp. Namun, demi keberlangsungan bisnisnya, ia tidak punya pilihan lain.
Adit menghembuskan napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang perlahan menguasai pikirannya. Namun, saat ia sedang membuat reservasi di resepsionis untuk bertemu dengan sosok Kaisar, sesuatu di sudut matanya menarik perhatiannya.
Seseorang baru saja keluar dari lift. Langkahnya tenang, bahunya tegap, dan aura percaya dirinya begitu mencolok.
Adit sempat mengira ia salah lihat. Tetapi semakin lama ia memperhatikan, semakin yakin bahwa itu memang Eka.
Dulu, Eka adalah perempuan yang selalu menunduk, patuh tanpa banyak bicara. Tapi yang berdiri di sana sekarang jelas bukan Eka yang ia kenal dulu. Gaun formal yang membalut tubuhnya, riasan wajah yang tidak berlebihan namun tetap memancarkan pesona, serta ekspresi yang sulit dibaca—semuanya terasa asing bagi Adit.
Pikiran Adit melayang pada laporan yang ia terima tentang Eka. Wanita itu tidak hanya kabur dari hotel, tetapi juga melukai seorang pengawal berbadan besar. Itu saja sudah cukup membuatnya sulit percaya. Tapi kini, melihat Eka dalam wujud yang berbeda, Adit merasa seakan sedang berhadapan dengan seseorang yang baru.
Tanpa sadar, ia berdiri dari kursinya. Suaranya lantang memecah kesibukan di lobi.
"Eka!"
Langkah Eka terhenti. Perlahan, ia menoleh. Tatapannya tenang, seolah namanya tidak baru saja dipanggil dengan nada penuh kepemilikan.
Adit mengerjap, memastikan sekali lagi bahwa ini benar-benar Eka. Lalu, dengan kepercayaan diri yang khas, ia mendekat.
"Oh, benar kamu Eka! Ngapain kamu di sini? Kamu mengikutiku?" tanyanya dengan nada arogan, seperti biasa.
Eka tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Adit sejenak sebelum akhirnya terkekeh kecil—tawa yang terdengar begitu sinis di telinga Adit.
"Dilihat dari sudut mana aku terlihat ingin mengikutimu, Adit?"
Ada ketegasan dalam nada Eka, sesuatu yang tidak pernah Adit dengar sebelumnya.
Adit menyipitkan mata, memperhatikan setiap detail. Dari postur tubuh hingga raut wajahnya, tidak ada sedikit pun ketakutan atau keraguan di sana.
"Jadi sekarang kamu kerja di sini?" Adit mencoba mencari celah. Matanya mengamati Eka dari atas ke bawah. "Atau jangan-jangan... kamu jadi simpanan seseorang di KH Corp?"
Eka menegang sejenak, lalu tersenyum miring.
"Menurutmu?" tanyanya dengan nada mengejek.
Adit tertawa pendek. "Sekali murahan tetap murahan."
Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Eka justru melangkah lebih dekat. Tatapannya tajam, menusuk langsung ke mata Adit.
"Kamu bicara seperti itu seakan lupa siapa yang menjerumuskan siapa."
Suara lantang Eka mengundang beberapa pasang mata di lobi untuk melirik ke arah mereka. Adit menyadari hal itu dan menghela napas. Ia tidak boleh membuat keributan di tempat ini. Jika sampai pemilik KH Corp tahu, rencananya bisa gagal.
Lalu, ia teringat sesuatu. Semalam, ia bertekad untuk membawa Eka pulang, dipikir secara logika Eka adalah bintang keberuntungan keluarganya maka ia tidak bisa membiarkan Eka lepas begitu saja.
Dengan nada yang lebih lunak, Adit mencoba mendekat.
"Eka, aku tidak ingin berdebat denganmu." Suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang berusaha bersikap bijak. "Kali ini, aku akan membukakan pintu maaf untukmu. Kamu bisa kembali lagi ke keluarga Wirawan."
Eka terdiam, lalu terkekeh. Kali ini lebih keras. Ia bahkan menggeleng, seolah ucapan Adit adalah sebuah lelucon yang konyol.
"Maaf?" ulangnya dengan nada sinis. "Kamu pikir aku masih peduli dengan apa yang disebut sebagai keluarga Wirawan?"
Adit menatapnya tajam. "Jangan keras kepala, Eka."
"Oh, aku tidak keras kepala." Eka melipat tangan di depan dada. "Aku hanya tidak sebodoh dulu."
Adit mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Ia harus membujuk Eka. Tidak ada cara lain.
"Dengar." Adit menghela napas. "Aku berjanji, kejadian itu tidak akan terulang lagi. Pulanglah. Dan jadi istriku kembali."
Eka mendadak terdiam. Ia menatap Adit dalam-dalam, seolah sedang menilai apakah pria di depannya benar-benar serius atau hanya sedang memainkan permainannya yang biasa.
Kemudian, dengan suara pelan namun penuh ketegasan, ia menjawab.
"Tidak, Adit. Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama."
Dengan itu, Eka berbalik, meninggalkan Adit yang masih berdiri di tempatnya. Namun, sebelum langkahnya membawa dirinya terlalu jauh, suara Adit kembali terdengar, penuh kelicikan.
"Apa kamu ingin keluargamu di kampung tahu tentang kita?"
Eka mendadak berhenti. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang membuncah dalam dadanya. Tangannya mengepal kuat, kuku-kuku jarinya hampir menusuk telapak tangan.
Melihat reaksinya, Adit tersenyum miring. Ia tahu telah menyentuh titik lemah Eka.
"Melihat responsmu seperti ini, berarti kamu memang belum memberitahu mereka," lanjut Adit santai, seolah ini hanya obrolan biasa. "Eka, kamu tidak bisa keluar begitu saja. Kamu masih terikat denganku."
Eka berbalik, matanya menyala penuh amarah. "Kamu berani!" tandasnya, suaranya bergetar menahan emosi.
Adit tetap tenang. Ia melipat tangan di dada, menatap Eka dengan sorot penuh kemenangan.
"Eka, keluargamu selalu mementingkan nama baik. Jika mereka tahu putrinya sudah tidak bisa menjadi istri yang baik dan benar…" Ia sengaja menggantungkan kalimatnya, membiarkan Eka membayangkan sendiri akibatnya. "Kamu bisa membayangkan wajah mereka, kan?"
Eka menggigit bibirnya. Ia tahu ancaman Adit bukan sekadar omong kosong. Jika orang tuanya tahu—jika desas-desus itu sampai ke kampung—mereka pasti akan hancur.
"Sekarang lebih baik kamu ikut pulang bersamaku dan kembali menjadi istriku," lanjut Adit, suaranya terdengar seperti vonis yang tak bisa dibantah. "Ingat, tidak ada lelaki yang mau menerima wanita sepertimu yang sudah ternoda… kecuali aku."
Tiba-tiba, suara lain memecah ketegangan di antara mereka.
"Menarik sekali," ujar seorang pria dengan nada tenang namun penuh ketajaman.
Adit dan Eka sama-sama menoleh.
Kai.
Ia berjalan mendekat dengan langkah santai namun berwibawa, satu tangannya terselip di dalam saku celana, sementara tatapannya penuh penilaian. Di sampingnya, Rendi selalu setia mengikutinya.
Seluruh perhatian di lobi KH Corp seketika tertuju padanya. Bisikan pelan terdengar di antara para pegawai, seolah kehadiran pria itu membawa aura yang terlalu kuat untuk diabaikan.
Eka sempat terdiam, tak menyangka akan bertemu Kai di situasi seperti ini. Namun yang lebih terkejut adalah Adit.
Kai berhenti di samping Eka, ekspresinya datar namun mengandung sindiran yang jelas. Ia menatap Adit seakan pria itu adalah makhluk kecil yang sedang berusaha terlihat besar.
"Aku tidak tahu kalau perusahaan kami juga membuka lowongan bagi pecundang yang suka mengancam wanita," katanya santai, tapi ada ancaman halus dalam suaranya.
Adit menegang. Ia memang tahu siapa pemilik KH Corp, tapi dia tidak pernah menyangka bahwa pria itu akan turun langsung seperti ini.
"Dan satu hal lagi," lanjut Kai, matanya menyipit. "Kamu bilang tidak ada lelaki yang mau menerima wanita seperti Eka?"
Kai tersenyum tipis—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang membuat udara seakan menegang.
"Kebetulan aku tidak sepemikiran denganmu."
Eka menoleh ke arahnya dengan mata sedikit melebar. Sementara Adit, meski berusaha tetap tenang, bisa merasakan hawa dingin menjalari punggungnya.
Kai melanjutkan dengan nada lebih rendah, lebih tajam.
"Datanglah ke hotel bintang lima minggu depan. Saat itu, kamu akan sadar bahwa berlian yang kamu buang sudah dipungut oleh orang yang lebih pantas."