Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Veltora
Di negeri luas nan indah bernama Veslandia, berdiri kokoh sebuah akademi sihir yang melegenda: Akademi Altais. Akademi ini tak hanya sekadar tempat belajar, tetapi simbol kebanggaan dunia sihir. Didirikan oleh enam Kesatria Suci yang dulu berhasil menyegel Raja Iblis bernama Dark, akademi ini menarik penyihir muda dari seluruh penjuru dunia. Nama mereka yang berjasa, tertulis di batu prasasti di puncak tertinggi Veslandia, Sirius Peak, tempat para Kesatria Suci masa kini bermarkas. Dari ketinggian itu, mereka dapat meluncur cepat jika ancaman besar muncul.
Namun, meski Veslandia dikenal aman, kejahatan tetap bersembunyi di celah-celah gelapnya. Inilah yang membuat murid-murid Altais kerap menjalankan misi, baik untuk melindungi, mempelajari, atau melatih kemampuan mereka.
Pagi itu, kelompok siswa tahun keempat tengah bersiap menjalankan misi pengawalan. Kelompok Satu—yang terdiri dari Akira, Kiria Akazuchi, dan Yui Mizuki—bersama Kelompok Lima—yang beranggotakan Yusei Shimizu, Sai Enoki, dan Hiyori Mizuhara—ditugaskan mengawal sekelompok bangsawan menuju wilayah terpencil bernama Veltora, jauh dari perbatasan Veslandia.
Kereta kuda mulai bergerak, meninggalkan gerbang besar Akademi Altais. Jalanan berbatu melintasi Desa Lysanth, pemukiman yang dipenuhi ladang bunga lavender. Aroma bunga dan suara gemericik sungai kecil menemani perjalanan mereka. Mereka kemudian melewati jembatan besar yang melintasi Sungai Velmar, sungai terbesar di Veslandia. Airnya yang jernih memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan pemandangan yang memukau.
"Jadi, ini perjalanan pertama kita, ya?” ujar Akira dengan antusias. Ia duduk berhadapan dengan Yui dan Kiria.
“Kau terlalu bersemangat untuk sesuatu yang sederhana,” balas Kiria, menyilangkan tangan sambil memutar bola matanya.
“Sederhana? Ini misi pengawalan, tahu! Aku bahkan sudah memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan bangsawan kalau ada bandit menyerang!” Akira menonjolkan dadanya dengan bangga.
“Pfft, kalau kau yang melindungi, kurasa malah bangsawan itu yang harus menyelamatkanmu,” ejek Kiria.
Yui yang mendengar percakapan itu hanya tertawa kecil. “Akira, jangan dengarkan dia. Tapi kalau kau benar-benar menyelamatkan bangsawan, aku yang akan memberikan tepuk tangan pertama.”
Sementara itu, di kereta belakang, Yusei duduk diam, memandangi lanskap yang lewat. Sai mencoba mencairkan suasana.
“Jadi, Yusei, kau tak merasa gugup sama sekali?”
“Tidak,” jawab Yusei singkat tanpa menoleh.
“Serius, Sai, dia takkan pernah merasa gugup,” tambah Hiyori, tersenyum sambil melirik Yusei. “Dia terlalu dingin untuk itu.”
Yusei hanya mendengus pelan, membuat Sai dan Hiyori saling bertukar pandang sebelum mereka meledak dalam tawa.
Setelah beberapa jam, kereta kuda melintasi padang hijau dan ladang gandum milik warga, hingga mereka tiba di Hutan Lumiere, hutan kecil yang rimbun namun damai. Akhirnya, saat matahari mulai condong ke barat, mereka tiba di Pantai Pikago, salah satu lokasi wisata terkenal di Veslandia.
Keindahan Pikago langsung memikat semua orang. Pasir putihnya yang lembut, air biru laut yang tenang, dan langit yang berwarna jingga membuatnya seperti lukisan alam. Para bangsawan mulai bermain di tepi pantai, menikmati waktu istirahat.
Beberapa siswa pun turut bersantai. Akira, dengan riangnya, berlari ke arah pantai bersama Sai, Yui, dan Hiyori. Kedua gadis itu mengenakan pakaian pantai biru laut yang serasi, menarik perhatian Akira. Terpesona oleh kecantikan Hiyori, ia dengan penuh semangat mengejar-ngejar gadis itu di sepanjang pantai. Namun, aksi konyolnya berakhir saat Yui menghantam kepalanya. "Berhenti mengganggu Hiyori, dasar bodoh!" bentaknya, membuat Sai tertawa terbahak-bahak.
Di sisi lain, Yusei dan Kiria memilih duduk di kursi pantai. "Kau tak ikut bermain, anak jelata?" Kiria menyindir dengan senyumnya yang arogan.
"Aku sudah cukup bosan dengan air," balas Yusei datar, menatap laut tanpa minat.
"Lucu. Aku juga tak terlalu suka pantai," gumam Kiria sambil melipat tangan.
Namun, keceriaan mereka terganggu ketika suara jeritan seorang wanita menggetarkan suasana. Seorang anak kecil terseret arus laut, memicu kepanikan. Sang ibu, dengan tangis histeris, berlari mengejar anaknya tanpa hasil. Melihat situasi ini, Akira tanpa pikir panjang melompat ke laut, berenang secepat mungkin. Tapi sebelum ia berhasil mencapai anak itu, si anak telah kembali ke tepi pantai.
“Hah? Di mana anak itu?” tanya Akira bingung sambil mencari-cari.
“Hei, Akira!” Kiria berteriak dari pantai, tertawa terbahak-bahak. “Apa kau berlatih renang atau mencoba menangkap ikan?”
Akira mendongak, menyadari apa yang terjadi. “Diam kau, Kiria!” teriaknya kesal.
Yusei, yang biasanya pendiam, bahkan tak bisa menahan tawanya. “Ini… ini terlalu konyol,” katanya pelan sambil tersenyum kecil.
“Akira, jangan terlalu bersemangat kalau kau tak tahu apa yang sedang kau lakukan,” tambah Sai, menahan tawa.
Akira kembali ke pantai dengan wajah merah padam, disambut Kiria yang terus mengejeknya. “Kau benar-benar pahlawan tanpa medali, Akira. Kalau aku jadi anak itu, aku pasti akan lari lebih jauh agar tidak diselamatkan olehmu!”
“Kau benar-benar menyebalkan, Kiria!” Akira mengepalkan tinjunya, tapi Kiria hanya membalasnya dengan cengiran puas.
Ternyata, Hiyori, dengan sihir airnya, telah bergerak lebih cepat, menyelamatkan anak tersebut. Akira hanya bisa melongo, merasa gagal menunjukkan keberaniannya.
Setelah suasana kembali tenang, mereka melanjutkan perjalanan di malam hari, menuju Pelabuhan Arunika, yang terkenal dengan dermaga kayunya yang kokoh dan pemandangan matahari terbit yang memukau.
Kapal besar yang membawa mereka berlayar melintasi laut tenang di bawah langit malam yang penuh bintang. Kiria, yang belum bisa tidur, berdiri di geladak, menatap bintang terang di atas. Tak lama, Hiyori datang, berdiri di sampingnya.
"Susah tidur?" tanya Kiria tanpa menoleh.
Hiyori hanya mengangguk, matanya teralihkan oleh keindahan bintang di langit.
"Itu Altair," ujar Kiria sambil menunjuk salah satu bintang. "Konon, nama akademi kita diambil dari nama bintang itu. Simbol harapan, cahaya dalam gelap."
Hiyori tersenyum kecil, matanya masih terpaku pada bintang tersebut. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Kiria berujar, "Ayo tidur. Besok perjalanan panjang menanti."
Hiyori mengangguk lagi, mengikuti Kiria kembali ke dalam kapal, meninggalkan malam yang tenang di lautan, mulai menuju kamar masing-masing. Di kapal yang bergoyang lembut di atas ombak. Hiyori dan Kiria berjalan berdampingan. Namun, ketika suasana mulai hening, sebuah suara tiba-tiba menarik perhatian mereka.
Pelan, nyaris seperti bisikan, terdengar suara tangisan. Beberapa detik kemudian, suara itu berubah menjadi teriakan pilu, dan tak lama disusul oleh tawa perempuan yang menggema di udara. Meskipun suara itu kecil, namun cukup jelas untuk membuat mereka berdua terdiam, saling pandang dengan tatapan bingung sekaligus waspada.
Angin dingin berhembus, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Kiria memeriksa sekeliling dengan hati-hati, tapi tak ada apa-apa di lorong sempit kapal itu. Tiba-tiba, tanpa peringatan, lampu ruangan mati. Kegelapan pekat menyelimuti mereka, hanya suara debur ombak yang terdengar samar.
“Ah!” Hiyori menjerit kecil, tubuhnya gemetar karena terkejut. Dengan refleks, ia memeluk Kiria erat, mencari rasa aman di tengah kegelapan.
Kiria membeku sesaat, tetapi dengan tenang ia menenangkan Hiyori. “Tenang saja.”
Beberapa saat kemudian, lampu kembali menyala. Keduanya terdiam, menatap lorong yang kini kembali terang tanpa ada petunjuk apa pun tentang suara aneh atau kegelapan yang tiba-tiba melanda.
Hiyori menyadari posisinya, masih memeluk Kiria. Dengan wajah yang memerah, ia cepat-cepat menjauh sambil menunduk malu. “M-maaf, aku tidak sengaja… aku hanya… kaget,” katanya terbata-bata.
Kiria menatapnya sebentar, lalu mengelus kepalanya perlahan. “Tidak apa-apa,” jawabnya dengan suara tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya yang biasanya datar.
Hiyori makin malu, tetapi ia mengangguk dan berusaha mengatur napas. Kiria, tanpa banyak bicara, memutuskan untuk mengantar Hiyori ke kamarnya. Setelah memastikan Hiyori masuk dengan selamat, ia pun berjalan menuju kamarnya sendiri.
Namun, langkah Kiria terhenti sejenak di depan pintu kamarnya. Ia memandang ke luar jendela, menatap gelombang laut yang bergulung-gulung di bawah sinar bulan. Dalam hati, ia bergumam pelan, “Lautan memang tak bisa ditebak...”
Dengan ekspresi serius, Kiria membuka pintu kamarnya dan menutupnya rapat, seolah menyadari bahwa kejadian malam itu bukan sekadar gangguan biasa. Laut memiliki rahasianya sendiri, dan malam itu, rahasia itu seolah menyapa mereka dengan cara yang tak terduga.
Malam itu hanya awal dari perjalanan panjang mereka ke Veltora. Di balik lautan luas dan perjalanan damai, bahaya yang mengintai perlahan mendekat, menunggu waktu untuk menyerang. Akankah para siswa ini berhasil menyelesaikan misi mereka? Hanya waktu yang akan menjawab.