Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Renaya menatap Mario dengan mata membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Hah! Me-menikah, Dad?!” Suaranya sedikit terbata, menunjukkan campuran keterkejutan dan kebingungan.
Mario tersenyum lembut, jari-jarinya masih membelai wajah Renaya. "Ya, menikah. Kenapa tidak, sayang? Aku mencintaimu, dan aku ingin memastikan kamu selalu ada di sisiku, tanpa ada yang bisa memisahkan kita."
Renaya menggigit bibir bawahnya, merasa gugup sekaligus tersentuh. Hati kecilnya menginginkan itu, tetapi pikirannya penuh dengan kekhawatiran. "Tapi, Dad... Ini terlalu tiba-tiba. Lagipula, Papi pasti nggak akan setuju."
Mario menghela napas pelan, masih dengan senyuman tenang. "Renaya, Daddy bukan orang yang suka main-main, apalagi soal kamu. Aku tahu mungkin ini terdengar mendadak, tapi aku serius. Kamu tahu sendiri, ayahmu tidak akan pernah setuju apapun alasannya, jadi kenapa harus peduli? Yang penting adalah kita berdua."
Renaya menunduk, pikirannya berputar cepat. Dia mencintai Mario, itu tak perlu diragukan lagi. Namun, keputusan ini terasa besar, terlalu besar untuk dicerna dalam sekejap. "Tapi, Dad... Aku masih kuliah. Apa nggak lebih baik kita tunggu dulu? Sampai aku selesai kuliah, mungkin?"
Mario menggenggam kedua tangan Renaya dengan erat. "Sayang, menikah tidak akan menghentikan kamu untuk mengejar mimpimu. Aku akan mendukungmu dalam semua hal, seperti yang selalu kulakukan. Aku ingin kamu tahu bahwa Daddy ada di sini untukmu, dan hanya kamu."
Renaya terdiam, menatap mata Mario yang penuh keyakinan. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya merasa aman, seolah-olah semua masalah akan teratasi jika Mario ada di sampingnya. Tapi menikah? Itu adalah langkah besar yang membutuhkan lebih dari sekadar cinta.
“Biarkan aku berpikir dulu, Dad,” Renaya akhirnya berkata dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini.”
Mario mengangguk, tak ingin memaksa. "Tentu saja, sayang. Daddy nggak akan memaksa. Tapi ingat, apapun keputusanmu, Daddy akan tetap mencintaimu dan mendukungmu. Oke?"
Renaya tersenyum kecil, merasa lega dengan pengertian Mario. "Oke, Dad. Terima kasih sudah mengerti."
Mario mengusap pipinya sekali lagi, kemudian menegakkan tubuhnya. “Sekarang, bagaimana kalau kita nikmati makan siang ini dulu? Daddy janji, nggak akan menyinggung soal ini lagi sampai kamu siap.”
**
**
**
Arnold tampak geram saat melangkah masuk ke dalam rumah. Wajahnya memancarkan kekesalan yang tidak bisa ia sembunyikan. Tanpa sepatah kata, ia langsung menuju kamarnya, membanting pintu dengan cukup keras sehingga suara itu menggema di rumah. Bella, yang baru saja melepas sepatu di ruang tamu, menghela napas dan mengikutinya.
Bella masuk ke dalam kamar dengan langkah pelan. Arnold sedang berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan tajam. Bella mendekatinya dari belakang, lalu memeluk pinggang suaminya dengan lembut.
“Sayang,” bisik Bella, suaranya dibuat selembut mungkin. “Tenang dulu, biarkan Renaya bersama pria itu sementara waktu. Aku akan bantu pikirkan cara untuk menyingkirkannya.”
Arnold menghela napas panjang, tetapi tidak menoleh. “Aku tidak habis pikir, Bell,” gumamnya dengan nada berat. “Yang aku tahu, Mario itu umurnya 35 tahun, sedangkan Renaya baru 20 tahun. Perbedaan usia mereka sangat jauh! Apa mungkin Mario hanya memanfaatkan Renaya untuk sesuatu? Aku nggak bisa membayangkan itu!”
Bella tersenyum kecil di belakang punggung suaminya, lalu mengusap lengannya untuk menenangkan. “Mungkin saja, sayang. Bisa jadi dia hanya mencari pelampiasan sesaat. Mario itu, seperti yang kita tahu, pria dengan kekuasaan dan kekayaan besar. Banyak yang bilang dia manipulatif. Tapi aku akan cari tahu lebih banyak tentang dia.”
Arnold akhirnya berbalik, menatap wajah Bella yang tampak penuh keyakinan. “Kamu bisa melakukan itu, Bell? Tapi jangan sampai malah kamu yang terpikat pada pria itu!” Nada suaranya mengandung sedikit cemburu.
Bella tertawa kecil, lalu menyentuh pipi Arnold dengan lembut. “Mana mungkin, sayang! Kamu tahu kan, aku hanya menyayangi kamu. Mario mungkin tampan dan berpengaruh, tapi dia bukan tipeku. Aku hanya ingin memastikan Renaya tidak jatuh ke tangan pria yang salah.”
Arnold memijat pelipisnya, mencoba meredam amarahnya. “Baiklah, kalau kamu bisa melakukannya, aku percayakan ini padamu. Tapi hati-hati, Bell. Aku tidak ingin situasi ini jadi semakin rumit.”
Bella mengangguk. “Tentu, sayang. Aku hanya akan mengamati dari jauh. Kita lihat apa yang sebenarnya Mario inginkan dari Renaya.”
Arnold duduk di tepi tempat tidur, menatap lantai dengan pandangan kosong. Dalam pikirannya, ia masih tidak percaya bahwa putrinya bisa jatuh cinta pada pria seperti Mario. Pria yang ia tahu sebagai pengusaha licik, meskipun karismatik.
“Renaya itu masih muda, Bella,” gumamnya pelan. “Dia belum tahu apa-apa soal hidup. Kalau sampai Mario memanfaatkannya, aku nggak akan memaafkan dia.”
Bella duduk di sebelah Arnold, menggenggam tangannya erat. “Aku tahu, sayang. Itulah kenapa kita harus bermain cerdas. Kita tidak bisa langsung melarang Renaya. Kalau kita terlalu keras, dia malah semakin mendekat ke Mario.”
Arnold mengangguk pelan, menyadari kebenaran kata-kata Bella. “Aku hanya ingin melindungi dia, Bell. Dia satu-satunya yang aku punya.”
Bella tersenyum lembut, lalu mencium pipi Arnold. “Kita akan melindungi dia, sayang. Percaya sama aku. Kita akan cari cara.”
Arnold menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia memutuskan untuk mempercayai Bella dalam hal ini, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Sementara itu, Bella dalam hatinya mulai merancang rencana. Bukan hanya untuk “menyelamatkan” Renaya, tetapi juga untuk mengembalikan posisinya di kehidupan Mario. Dia tahu, jika dimainkan dengan cermat, situasi ini bisa menjadi peluang besar baginya.
Bella perlahan duduk di pangkuan Arnold, kedua tangannya melingkar di leher suaminya. Senyum manis tersungging di wajahnya, meskipun dalam pikirannya penuh rencana. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Arnold, membisikkan kata-kata dengan nada lembut dan menggoda.
“Sudah, jangan terlalu banyak berpikir soal itu, sayang,” ucapnya sambil memainkan jemarinya di dada Arnold. “Masalah Renaya dan Mario biar aku yang atur. Malam ini, kita fokus saja ke hal yang lebih menyenangkan, hmm?”
Arnold tampak menghela napas panjang, mencoba mengusir kekhawatirannya. Tetapi sentuhan lembut Bella, aroma parfumnya yang khas, dan cara dia memandangnya membuat pikiran Arnold sedikit demi sedikit teralihkan.
“Apa yang kamu rencanakan, Bell?” tanya Arnold dengan nada yang mulai melunak, matanya menatap Bella dengan penuh kehangatan.
Bella tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium pipi Arnold. “Aku rencanakan malam ini untuk kita, sayang. Hanya kita berdua. Aku rasa kamu butuh relaksasi setelah hari yang melelahkan ini.” Bella berbisik, suaranya nyaris seperti alunan musik lembut di telinga Arnold.
Arnold mengangkat alis, seakan menantang. “Kamu yakin bisa membuatku lupa semua masalah ini, Bell?”
Bella tertawa kecil, suaranya menggoda namun penuh keyakinan. “Aku selalu berhasil, bukan? Jadi, biarkan aku tunjukkan bagaimana caranya.”
Tanpa banyak bicara lagi, Bella mendekatkan bibirnya ke bibir Arnold, menciumnya dengan penuh kelembutan dan kehangatan. Sentuhan itu, seperti biasa, berhasil membuat Arnold melupakan sejenak beban pikirannya. Tangannya kini memeluk pinggang Bella dengan erat, seolah dia menemukan ketenangan di pelukan istrinya.
“Baiklah, Bell,” gumam Arnold di sela ciuman mereka. “Malam ini aku serahkan semuanya ke kamu.”
Bella tersenyum penuh kemenangan. “Itu yang ingin aku dengar, sayang. Malam ini hanya tentang kita.”
“Dan malam berikutnya, hanyalah tentang aku dan Mario,” lanjutnya dalam hati.