Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Malarindu
"Apa? Kambuh? Astaghfirullah Papa!!"
Pagi-pagi sekali Sean dibuat terperanga begitu mendengar kabar buruk dari Zia. Meski bukan hal asing, tapi sungguh Sean ketar-ketir kala sang mama mengabarkan hal itu mengingat dia kini jauh.
"Sean berangkat sekarang, Ma."
"Tidak perlu sekarang ... santai, hati-hati saja, Sean ... jangan buru-buru, sarapan dulu biar fokus. Oh iya, papa minta bawain batagor sama bolu yang waktu itu kalian beli." Permintaan Zia yang kali ini sedikit membuat kening Sean berkerut.
Meski Zia terdengar begitu santai, Sean tetap meminta Zalina menyiapkan koper segera. Secepat itu kesehatan Mikhail menurun, padahal beberapa waktu lalu ketika mereka datang sewaktu syukuran rumah baru Sean, pria itu masih tetap kuat dan terlihat sangat sehat.
Tepat jam delapan pagi, mereka pergi dengan kendaraan pribadi. Tanpa sopir saat ini, Sean memilih menyetir sendiri karena memang lebih nyaman saja. Belum lagi, begitu banyak permintaan Mikhail yang harus dia penuhi sepanjang perjalanan.
Cuaca hari ini tidak begitu bersahabat, Sean terpaksa mengurangi kecepatan lantaran hujan menemani perjalanan mereka hari ini. Zalina yang menguap beberapa kali di sampingnya membuat Sean tidak tega.
"Tidurlah, nanti Mas bangunkan."
"Makasih, Mas."
Tidak ada penolakan sama sekali, sungguh Zalina memang tidak suka basa-basi. Dia terlelap begitu mendapat izin dari sang suami. Sean yang telanjur memintanya tidur kini hanya bisa meratap sendu Zalina yang mendengkur pelan di sisinya.
Memang Sean tidak tega, tapi bukan berarti dia siap ditinggalkan tertidur begitu saja. Harapan Sean bahwa istrinya akan menolak dengan beberapa kalimat dan menawarkan diri menemani dirinya hanya sebatas angan, Zalina memang bukan tipe wanita peka yang paham dengan bahasa laki-laki.
Lama tidak melakukan perjalanan jarak jauh, punggung Sean terasa sedikit pegal. Kedatangannya disambut baik oleh Bastian, sopir pribadi yang mengabdi sejak muda dan memiliki banyak peran di keluarga papanya.
"Papa gimana, Om?" tanya Sean dengan wajah cemas dan benar-benar berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada Mikhail.
"Gimana apanya, Den? Tuan besar baru saja pulang bawa Hudzai ... tuh lihat."
Bastian menunjuk tuan rumah yang sedang mengikuti langkah cucunya, sedikit bingung juga kenapa kedua putra Mikhail datang dengan melontarkan pertanyaan dan ekspresi yang sama hari ini.
"Papa sudah sembuh berarti, Om?"
"Sembuh? Tuan besar tidak sakit, Den ... jangan begitu bilangnya."
Ingin marah, tapi tidak bisa. Sean menatap kesal pria yang kini semakin makmur dan sama sekali tidak ada tanda-tanda dia sakit. Zalina yang paham jika sang suami sebal hanya mengusap pelan punggungnya.
Sudah telanjur, hanya demi Mikhail Sean bahkan membawa banyak baju karena di pikirannya jika sudah kambuh maka akan lama. Belajar dari pengalaman segala penyakit Mikhail dapat terjangkit dalam satu waktu, dan Sean khawatir saja hal itu terjadi.
Jika Sean tengah kesal saat ini, Zalina justru sebaliknya. Setelah menikah ini adalah kali pertama Sean benar-benar membawanya ke rumah, selama ini mereka yang datang ke Bandung hingga kesempatan Zalina untuk menginjakkan kaki di kediaman keluarga Sean baru kesampaian sekarang.
"Papa!!"
"Om Teyan?!" teriak Hudzai yang kini melepaskan tangan Mikhail sebagai pegangannya.
Bak tidak bertemu setengah abad, Mikhail berbinar begitu menyadari kehadiran sang putra dengan membawa serta wanita di sisinya. Sejak dahulu mimpi Mikhail sama, ingin melihat Sean datang dengan membawa serta pendamping hidupnya. Sayangnya, Sean harus dipaksa dengan drama dahulu baru memiliki pikiran untuk membawa Zalina ke rumahnya.
Kemarahan Sean luntur seketika kala melihat Mikhail yang berlari ke arahnya. Bersaing dengan Hudzai yang juga hendak memeluk Sean, sungguh pemandangan itu terlalu menggemaskan di mata Sean.
"Akhirnya datang juga, bagaimana perjalanan kalian?" tanya Mikhail menatap keduanya penuh cinta, baik Zalina maupun Sean sama di mata Mikhail.
"Sedikit terhambat, Pa ... tadi hujan pas masuk tol."
"Ah begitu, ya sudah ayo masuk dulu. Mama sudah masak banyak," titah Mikhail yang kini menarik koper besar Sean tanpa diminta yang menunjukkan betapa Mikhail menginginkan mereka.
"Tunggu, Pa. Bukankah Papa sakit?"
"Iya, makanya Papa minta kau datang," jawabnya dengan wajah melas bahkan sengaja menghentikan langkah agar terlihat lebih realistis.
"Sakit apa? Kolesterol Papa naik lagi atau apa?"
"Bukan, Se, tapi papa sakit mala ...." Telinga Sean kurang mengerti apa yang diucapkan sang papa hingga dia hanya mengerutkan dahi seketika.
"Mala? Mala apa, Pa? Apa virus jenis baru?"
"Iya malarindu hahaha!!"
Jawaban Mikhail seketika membuat Sean tertampar. Candaan di balik senyum sang papa menunjukkan keseriusan. Hingga ketika Mikhail berlalu lebih dulu dia hanya menghela napas panjang. Jika hanya rindu, harusnya bisa disampaikan tanpa perlu membuat pengakuan gila dengan mengatasnamakan sakit, pikir Sean.
"Papa lucu, Mas."
"Lucu memang, saking lucunya dia sampai buat Mas lemas berjam-jam, Zalina."
.
.
- To Be Continue -