Jejak Tanpa Nama mengisahkan perjalanan Arga, seorang detektif muda yang berpengalaman dalam menyelesaikan berbagai kasus kriminal, namun selalu merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Suatu malam, ia dipanggil untuk menyelidiki sebuah pembunuhan misterius di sebuah apartemen terpencil. Korban tidak memiliki identitas, dan satu-satunya petunjuk yang ditemukan adalah sebuah catatan yang berbunyi, "Jika kamu ingin tahu siapa yang membunuhku, ikuti jejak tanpa nama."
Petunjuk pertama ini membawa Arga pada serangkaian kejadian yang semakin aneh dan membingungkan. Saat ia menggali lebih dalam, ia menemukan sebuah foto yang tampaknya biasa, namun menyembunyikan banyak rahasia. Foto itu menunjukkan sebuah keluarga dengan salah satu wajah yang sengaja dihapus. Semakin Arga menyelidiki, semakin ia merasa bahwa kasus ini lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Ada kekuatan besar yang bekerja di balik layar, menghalangi setiap langkahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dyy93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak ke Gurun
Pesawat meluncur dengan stabil di atas langit biru. Di dalam kabin, suasana terasa berat. Tim Arga duduk dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka. Proyek Genesis menjadi teka-teki besar yang menggantung di benak semua orang, terutama setelah kabar tentang pelarian Nathan Helios.
Lina duduk di sudut dengan perangkatnya, berusaha menggali lebih banyak informasi dari data yang dia ambil. Arga berdiri di dekat jendela pesawat, memandang ke luar, sementara Alya dan Damar memeriksa persenjataan mereka.
“Kau masih memikirkan Nathan?” tanya Alya sambil menoleh ke arah Arga.
Arga mengangguk tanpa menoleh. “Dia pasti sudah merencanakan ini sejak awal. Pelariannya terlalu sempurna untuk dianggap kebetulan.”
“Dan sekarang dia mungkin menuju Proyek Genesis,” tambah Damar sambil mengamati peta digital di tangannya. “Kita harus sampai di sana sebelum dia.”
Lina menoleh dari perangkatnya. “Masalahnya adalah kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita hadapi. Data ini tidak memberikan petunjuk apa pun tentang Proyek Genesis selain lokasinya.”
“Kita akan tahu begitu kita tiba,” balas Arga dengan nada tegas. “Yang jelas, kita harus siap menghadapi apa pun.”
---
Beberapa jam kemudian, pesawat mereka mulai mendekati koordinat yang disebutkan di data. Dari ketinggian, mereka melihat hamparan gurun luas yang tampak tidak berujung. Namun, di tengah gurun itu, mereka melihat sesuatu yang mencurigakan: sebuah bangunan besar yang tampaknya tersembunyi di bawah pasir, hanya sebagian kecilnya yang terlihat dari udara.
“Itu pasti tempatnya,” kata Lina sambil menunjuk layar di depannya.
Pilot pesawat mengangguk. “Saya akan mendaratkan kalian di lokasi terdekat. Tapi area ini terlalu terbuka. Jika ada pertahanan, kita bisa jadi target empuk.”
“Kita tidak punya pilihan,” kata Arga. “Lakukan saja yang terbaik.”
Pesawat akhirnya mendarat di tepi gurun, sekitar satu kilometer dari lokasi bangunan tersebut. Tim segera turun, membawa persenjataan dan peralatan mereka. Angin gurun yang panas menyambut mereka, membuat pasir beterbangan di sekitar.
“Aku tidak suka ini,” gumam Damar sambil memeriksa senjatanya. “Tempat ini terlalu sepi.”
“Sepi bukan berarti aman,” balas Alya sambil mengaktifkan pemindai di tangannya.
Lina memeriksa sinyal komunikasi mereka. “Aku mendapat gangguan. Sinyal kita lemah di sini. Ada kemungkinan mereka menggunakan jammer untuk mencegah siapa pun menghubungi dunia luar.”
“Semakin banyak alasan untuk menyelesaikan ini dengan cepat,” kata Arga. “Ayo bergerak.”
---
Tim bergerak perlahan menuju bangunan itu. Semakin dekat mereka, semakin jelas bahwa bangunan ini bukan sekadar tempat persembunyian biasa. Dindingnya yang terlihat terbuat dari logam hitam tampak dipenuhi simbol-simbol aneh yang tidak mereka kenali.
Ketika mereka tiba di pintu masuk, mereka menemukan sesuatu yang aneh. Pintu besar itu terbuka sedikit, seolah-olah ada seseorang yang baru saja masuk atau keluar.
“Sepertinya kita tidak sendirian,” kata Alya dengan nada waspada.
“Aku akan memeriksa sensor gerakan,” kata Lina, mengaktifkan perangkat kecil di tangannya.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan, sebuah suara keras terdengar dari dalam bangunan. Suara mesin yang hidup, diikuti oleh getaran kecil di tanah.
“Apa itu?” tanya Damar dengan nada panik.
“Aku tidak tahu, tapi itu tidak terdengar baik,” balas Arga. “Kita harus masuk sekarang.”
---
Mereka memasuki bangunan dengan hati-hati, senjata terangkat. Di dalam, mereka menemukan lorong-lorong gelap yang diterangi oleh lampu merah redup. Udara di dalam terasa berat, seolah-olah mesin besar sedang menguras oksigen di sekitarnya.
“Tempat ini seperti bunker,” kata Lina sambil memindai dinding. “Tapi sistem keamanannya sudah tidak aktif. Entah siapa pun yang ada di sini sudah mematikannya, atau mereka sengaja membuatnya terlihat kosong.”
“Apa pun alasannya, kita harus tetap waspada,” balas Arga.
Mereka terus menyusuri lorong, hingga tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan layar monitor. Di tengah ruangan itu, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka terdiam: gambar peta dunia yang diproyeksikan ke dinding, dengan titik-titik merah yang menandai berbagai lokasi strategis.
“Itu lokasi markas Helios lainnya,” kata Lina dengan suara gemetar.
“Apa maksudnya semua ini?” tanya Alya.
Sebelum mereka sempat menganalisis lebih jauh, sebuah suara elektronik terdengar dari speaker di ruangan itu.
“Selamat datang di Proyek Genesis,” kata suara itu dengan nada dingin. “Kalian sudah terlambat.”
---
Layar monitor tiba-tiba berubah, menampilkan wajah Nathan Helios. Dia tersenyum dingin ke arah mereka, seolah-olah dia tahu mereka ada di sana.
“Kalian pikir dengan menghentikan markas utama, kalian sudah memenangkan perang ini?” kata Nathan. “Proyek Genesis adalah inti dari semuanya. Dengan teknologi ini, aku akan menciptakan dunia baru. Dunia yang tidak membutuhkan pahlawan seperti kalian.”
“Kau tidak akan berhasil, Nathan,” balas Arga sambil menggenggam senjatanya lebih erat.
“Oh, tapi aku sudah berhasil,” balas Nathan sambil tertawa kecil. “Dan kalian akan menjadi saksi kehancuran dunia lama.”
Layar mati, dan tiba-tiba ruangan itu dipenuhi suara alarm yang memekakkan telinga. Mesin-mesin di sekitar mereka mulai aktif, dan pintu di belakang mereka tertutup rapat.
“Kita dalam jebakan!” teriak Damar.
“Cepat, cari jalan keluar!” perintah Arga.
Namun, sebelum mereka bisa melarikan diri, lantai di bawah mereka mulai berguncang hebat, dan suara mesin semakin keras. Sesuatu yang besar sedang terjadi di dalam bangunan ini, dan mereka hanya punya sedikit waktu untuk menghentikannya.
---