"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Keesokan harinya, Arzio sudah boleh pulang. Dia masih harus mengejar sks yang tertinggal selama di rumah sakit. Aku menceritakan soal Dani kepada ibu di rumah nenek Arzio.
"Loh, kamu masih tinggal di rumah itu?" tanya nenek.
"Sejak kapan aku pindah, Nek?" balasku sambil terkekeh.
"Arzio cerita katanya kamu bikin rumah dari duit yang dia kasih tiap bulan. Jadi Nenek kira kamu udah pindah ke sana," jawabnya.
"Belum pindah Nek, rencananya buat nanti sama Arzio. Lagian kan tahun depan bapak balik dari Korea," balasku.
"Kamu masih mau rawat saya kan, Fia? Meskipun suami kamu pulang," tanya Nenek pada ibu.
"Iya, Nek," jawab ibuku sambil tersenyum ramah.
***
Akhirnya ....
Hari yang selalu kutunggu-tunggu. 1 tahun terakhir yang tidak mudah. Aku, ibu beserta keluarga Arzio datang ke Universitas tempat Arzio menimba ilmu. Kami merayakan kelulusannya.
"Foto dulu!" pekik mama Arzio memaksaku berada di sebelah Arzio. Beliau juga menarik tanganku untuk melingkar di perut anaknya itu.
Arzio dengan setelan jas hitam, memancarkan aura ketampanannya ke segala penjuru.
[Cekrek]
***
Kusimpan foto wisuda itu bersama kenangan yang lain di dalam kotak kayu bawah kasurku.
~Cup!
Kukecup kotak tersebut sebab menyimpan berjuta-juta kebahagiaan setiap kali aku membukanya. Tidak sama seperti kotak kenangan yang kubuat tentang Dani.
***
Arzio mulai bekerja, tapi aku tidak tahu dia kerja apa. Yang aku ketahui hanyalah Arzio bekerja di hotel cabang papanya di Indonesia, sekaligus membuka praktek dokter mandiri di suatu tempat.
Penantianku sudah sampai di penghujung agenda. Tanggal-tanggal yang kusilang di kalender, kini sudah berada di depan lingkaran merah yang kubuat sendiri.
"Lagi ngapain, Ta?" tanya ibu yang masuk ke dalam kamar secara tiba-tiba.
"Eh, Ibu," ucapku tersenyum sambil memegangi kalender stand di atas meja.
Beliau melirik apa yang ada di tanganku itu dan ikut tersenyum. "Udah, tidur. Jangan begadang. Besok bapak pulang. Kamu temenin Ibu jemput ke bandara ya?"
Bahagia yang sangat berganda-ganda. Aku jadi membayangkan bapakku duduk di hadapan Arzio, lalu mereka berjabat tangan dan mengucap janji suci untukku.
Kyaaaaaaaa >.<
***
Sepulang kami menjemput bapak, Arzio datang ke rumah dan memperkenalkan dirinya pada bapakku.
Awalnya, bapak tidak setuju jika aku menikah tahun ini. Alasannya, yaa tentu saja sebab beliau belum puas memanjakanku. Karena ini kepulangannya setelah bertahun-tahun pergi.
Namun, setelah mendengar penjelasan ibu, akhirnya bapak setuju, meski aku yakin ada sedikit rasa kecewa di hatinya.
Sementara bapak mengobrol bersama Arzio, aku masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Akan tetapi ....
Betapa terkejutnya aku melihat Dani di dalam sana. Hordeng jendela yang ditiup angin, membuatku tahu dari mana dia masuk.
Dani langsung menutup pintu kamar dan menguncinya.
"Kamu mau ngapain?!" pekikku yang mendadak merasa takut. Bahkan dia bisa seberani ini masuk ke kamarku.
"Kamu mau nikah sama Arzio?" tanyanya yang kulihat wajahnya sudah sebab dan kumal.
"Udahlah, Dani. Aku ga mau ada urusan lagi. Kamu boleh kok nikahin cewek lain yang lebih dari aku. Cewek yang dulu itu juga boleh," ucapku berjalan mendekati jendela yang terbuka tersebut.
Setidaknya, jika dia berlaku aneh, aku bisa langsung melompat atau berteriak di posisi ini.
"Aku maunya kamu, Lita. Aku ga mau kamu nikah sama dia. Aku sayang sama kamu," ucapnya. "Aku harus ngapain biar kamu balik lagi sama aku? Aku harus sujud?" Dani benar-benar bersujud di depanku.
Aku tidak mau. Aku sudah menghilangkan semua rasa untuknya.
"Aku sayang sama kamu," ucapnya kembali berdiri dan menghampiriku.
"Dani!" tegasku membuatnya menghentikan langkah. "Cukup! Aku udah bahagia. Jangan rusak kebahagiaan aku."
"Tapi aku tersiksa sama kebahagiaan kamu yang sekarang! Mana janji kamu buat nungguin aku?!"
"AKU UDAH NUNGGUIN KAMU! KAMU YANG KE MANA?!" balasku.
"Aku mohon, Lita. Jangan nikah sama dia," ucapnya lagi.
"Aku bahagia sama Arzio. Ga ada alasan buat aku ga nikah sama dia," balasku lagi.
Dani terdiam sejenak. Ia menatap tajam mataku. Aku takut. Aku takut dia berbuat aneh-aneh atau mungkin dia berbuat nekat.
Dia berusaha untuk memelukku. Namun aku mendorongnya menjauh. Di memaksa menyentuhkan bibirnya pada bibirku. Membuat dinding mulutku tergigit, sebab aku berusaha untuk tidak membuka mulut.
Dani benar-benar sudah gila. Dia juga meraba tubuhku. Untuk pertama kalinya seseorang menyentuh area sensitifku dari balik celana piyama yang aku kenakan. Aku tak bisa berteriak sebab mulutku masih dikuasai olehnya. Kalang kabut aku meraba-raba segala sesuatu yang ada di sampingku. Namun kini tanganku ikut dikunci dalam pelukannya.
Aku bisa merasakan jari jemari Dani menyusup ke dalamnya, menyentuh sesuatu di bawah sana dan membuatku merasa geli yang amat hebat.
Aku menangis sebab tak bisa melawan lagi.
Tatapan tajam itu semakin menyeramkan. Napas Dani memburu menyentuh wajahku. Air liurnya sudah membanjir.
Aku sudah tidak berdaya dan merasakan geli itu menjadi semakin gila. Entah mengapa, aku rasa aku sudah pipis dibuatnya tapi Dani tetap tidak berhenti. Dia benar-benar bermain. Aku ingin memberontak namun kalah akan tenaga Dani. Hingga akhirnya jari-jari itu semakin cepat dan aku mulai gila.
"Hummmmppppp!" Aku berusaha menahan sesuatu dari tubuhku namun aku tak bisa. Tubuhku mengeras sampai aku memejamkan mata. Gejolak energi yang yang baru pertama kali aku rasakan seumur hidupku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Dani meraih dua bola keramat milikku. Geli sekali. Rasanya aku semakin basah.
Dani tersenyum menyeringai melepaskanku. Ia hendak membuka gesper celana miliknya.
Aku buru-buru melompat dari jendela. Sialnya, tanganku malah didapatkannya.
"Tolooooonggggggggg!!" jeritku. "Arzioooooooooo!! Bapaaaaaak! Heeeeeeeeghhhhh," teriakku sambil menangis.
Dani melepaskan tanganku dan menbuatku terjatuh ke tanah. Dia melompat dan berjongkok di hadapanku. "Kalo aku ga dapetin kamu, itu artinya semua orang juga ga boleh dapetin kamu. Aku ga mungkin nyakitin kamu, tapi aku bisa pastiin tanggal yang kamu tunggu itu bukan acara pernikahan, tapi acara pemakaman," ucapnya dan pergi menjauh.
Napasku tak terkendali. Aku terus menangis sejadi-jadinya. Arzio dan bapak membuka jendela dan melihatku terduduk di tanah.
"Lita! Kenapa?!" pekik bapak.
Arzio melompat dari jendela dan menghampiriku. Dengan pergelangan tangan kanannya yang masih dibalut perban.
"Kamu ga apa-apa?" tanyanya.
Aku terus menangis dan merasakan sakit di area sensitifku. "Dani," bisikku menatap mata Arzio.
Rahangnya mendadak mengeras. Bahkan aku bisa melihat urat leher Arzio terekspos dengan jelas.
Sejak kejadian itu, aku takut berada di rumah. Aku takut Dani datang lagi. Arzio juga bilang kalau Dani merusak engsel jendela kamarku. Salah satu jendela juga diambil kunci slotnya.
Teror. Itu yang bisa aku pastikan. Dani menerorku.
Bahkan aku tak bisa lepas dari kalimatnya. "Aku bisa pastiin tanggal yang kamu tunggu itu bukan acara pernikahan, tapi acara pemakaman."
Apa dia akan membunuh Arzio. Tapi .... Tidak. Dani yang kukenal tidak seperti itu.
Tapi aku takut dia berbuat hal gila seperti kemarin. Aku tidak pernah bertingkah nakal. Aku juga tidak pernah mencoba hal yang aneh-aneh. Tapi kenapa hal semacam ini terjadi padaku? Kenapa Dani menodaiku?
Aku terpaksa menginap di rumah nenek Arzio sebab aku takut ditemui Dani lagi. Sudah cukup ibunya membuatku trauma. Sekarang, Dani yang menciptakan rasa takut itu.
Arzio belum pulang sedari tadi. Dia bilang, ingin menemui klien, tapi sudah lebih dari 6 jam pria itu tak kunjung pulang.
"Arzio kok lama ya, Nek?" tanyaku.
"Palingan bentar lagi balik," balas nenek yang bergoyang-goyang di kursi goyangnya.
"Kalo dia ga balik gimana?" tanyaku yang semakin merasa sesak.
"Balik kok. Tunggu aja."
***
Aku menunggu Arzio hingga tertidur di sofa ruang tamu. Dan aku terbangun saat seseorang menggendongku. Saat aku membuka mata, pria itu adalah Arzio. Aku sangat bersyukur tidak terjadi sesuatu padanya.
Setelah membaringkanku di kasur. ~Cup! Dia memberikan sebuah kecupan di bibirku.
"Have a nice dream," ucapnya.
"Aku takut," balasku.
"Ga ada hantu di sini."
"Bukan hantu. Aku takut Dani ke sini."
"Semua jendela di sini ada tralisnya."
Aku menoleh pada jendela kamar tamu ini. Ya, semua jendela memiliki tralis tebal dan kokoh. Seharusnya, Dani tidak bisa masuk.
Arzio mengecup jidatku dan tersenyum.
"Tidur di sini dulu ya? Nanti kalo udah sah, aku bisa tidur sebelah kamu," ucapnya dan pergi menutup pintu kamar ini.
Aku melihat ke arah kalender. Apakah Dani benar-benar akan mewujudkan kalimatnya? Atau itu hanya sebuah gertakan?
***
Siangnya, aku kembali menuggu Arzio pulang kerja.
"Arlita! Ada temen kamu," panggil nenek. Aku melangkah ke ruang tamu.
Untunglah Rina atau Xia datang ke sini. Setidaknya aku bisa bercerita pada mereka.
Sesampainya aku di ruang tamu. Kulihat pria duduk di sofa. Pria itu mengangkat pandangan ke arahku.
"Da—Dani?!" Hampir saja aku terjatuh sebab kaki mendadak lumpuh. Aku bertahan pada meja besar di tepi dinding.
"Kamu ga pulang?" tanyanya membuatku ingin menangis.