Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10 Memendam Sendirian
Reyhan menyelimuti tubuh Mili. Sesekali mengecek selang infusnya. Pria tampan itu tersenyum lembut. “Cepetan sembuh, Mil. Kasihan Inara gak ada temennya.”
Mili mengangguk pelan. “Soal gosip itu, apa benar?”
Reyhan mengangguk. Sepertinya tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Meski ia belum tahu kisah yang sebenarnya mengenai sahabatnya itu, Reyhan juga takut salah bicara. Hanya saja teringat yang tadi, ah, Reyhan bahkan belum menerima kabar dari sahabatnya itu.
“Aku enggak tahu pastinya, tapi Inara memang putus dari Pak Artha, dan akan menikah dengan Pak Argha.”
“What? Jadi itu beneran, Rey? Ya Allah … apa yang ada di pikiran dia? Mana dia gak ke sini-ke sini, nomornya juga susah banget dihubungi. Sebenarnya dia nyimpan masalah apa, sih? Dia sengaja buat Pak Alan ngamuk apa gimana?” Sebagai seseorang yang memang sangat dekat dengan Inara, Mili begitu sangat prihatin dengan hal yang menimpa sahabatnya itu. Terlebih Inara adalah gadis yang cengeng meski ceplas-ceplos begitu.
Milea, atau yang biasa disapa Mili itu memang tahu bagaimana perjalanan cintanya Inara dengan Artha. Inara sering menangis karena hubungannya dengan Artha yang tak direstui oleh Alan. Hanya saja, kabar baru ini membuatnya terkejut. Selain dengan hubungan Inara dan Argha, sahabatnya itu bahkan sama sekali tidak cerita terhadapnya terlebih dahulu.
“Aku juga gak nyangka, tapi dari bahasa Pak Argha tadi, dia memang sangat posesif. Kabar yang beredar itu, Inara selingkuh dengan Pak Argha dan putus dengan Pak Artha, kabar lain, Inara hanyalah sebagai tameng.”
“Tameng?” beo Mili.
Reyhan mengangguk. “Kamu tahu, kan kabar Pak Argha yang pisang makan pisang?”
Mili mengangguk. Kabar itu sudah menyebar di seluruh penjuru kantor. Hanya saja, ia tidak begotu percaya. Akan sangat disayangkan, pria setampan Argha pisang makan pisang.“Jadi, apa mereka menikah karena itu? Tapi, kenapa Inara mau?”
“Intinya kamu fokus untuk sembuh dulu, deh, Mil. Aku yakin, Inara bakalan cerita sama kita nantinya. Biarin tuh, bocah hadapi dulu masalah yang ada. Aku yakin juga, para penyebar gosip itu akunnya akan hilang kalau Pak Argha sudah bertindak.” Meski terkenal arogan, Argha adalah orang yang baik, tentu tidak akan membiarkan Inara kesulitan sendiri, kan?
Siapa yang tak tahu Argha, pria yang tak kenal belas kasihan. Ia akan menghilangkan akun siapapun yang bermasalah dengannya. Tak hanya itu, ia akan memecat karyawannya secara kejam detik itu juga dengan kalimat pedasnya.
“Aku nginep di sini sama abangmu, Mil. Biarin Tante Asti pulang untuk istirahat. Pasti Tante Asti capek nungguin kamu mulu.”
“Thanks, Rey. Kamu emang sahabat terbaik.” Mata Mili berkaca-kaca, ia sangat terharu oleh kebaikan Reyhan.
Reyhan menatap sendu Mili. Tanggannya menggenggam tangan Mili, andai Mili tahu, perasaan Reyhan yang sebenarnya. Sepertinya, selamanya mereka hanya terjebak dalam ikatan persahabatan saja.
“Its okay. Yang penting kamu sembuh dulu.”
Sejak lama, Reyhan memendam perasaan ini sendirian. Ia memilih diam, demi tetap menjaga kebersamaan mereka.
Kali ini, melihat wajah damai Mili, ia menjadi tenang. Tangannya terulur untuk mengusap lembut kepala Mili.
Klek
Reyhan menarik tangannya menjauh. Mirza datang dengan membawa tas karton dengan logo restoran di sana.
“Makan dulu, Rey.”
Reyhan bangkit, ia duduk di sofa, menghampiri Mirza. “Bawa apaan?”
“Baru mampir di restoran China. Seperti biasa. Mili sudah dari tadi tidurnya?” Mirza memperhatikan Milea. Adiknya itu tertidur dengan pulas.
“Baru aja.”
Mirza menepuk pundak Reyhan dengan lembut. Sebagai pria yang yang peka, ia selaku mengamati tingkah laku Reyhan. Ia menebak jika teman adiknya itu benar-benar menyukai Milea. “Mau sampai kapan begini terus?”
Reyhan yang sedang membuka tupper ware berisikan bihun goreng mengangkat wajahnya. Tak paham dengan apa yang diucapkan oleh Mirza.
“Maksudnya?”
“Aku tahu, kamu naksir Mili. Mau sampai kapan kamu gak ngaku ke dia?” Reyhan berdeham, wajahnya berubah jadi pucat, seperti orang yang baru saja tertangkap basah mencurii sesuatu.
Reyhan menoleh pada Milea. Gadis itu tak terusik sama sekali, wajahnya begitu damai. Mungkin pengaruh obat juga menjadi salah satu penyebabnya.
Sekali lagi, Mirza menepuk pundak Reyhan, kali ini dengan dengkusan.
“Aku percaya sama kamu, Rey. Aku takut aja kalau Milii jatuh pada tangan pria brengsek,” ucap Mirza penuh penekanan.
Reyhan mengarahkan jari telunjuknya pada bibirnya sendiri, kode untuk Mirza supaya menurunkan volume suaranya. “Kecilin suaramu.”
“Aku gemes tahu gak.”
Beruntung Milea tak mendengar. Gadis itu sama sekali tak mendengar di saat tidur seperti ini.
“Bukannya akan aneh? Jujur, aku takut nanti hubungan kami kaya lain gitu.”
“Kalau sampai Mili diembat sama cowok lain, yakin kamu tidak menyesal?” Sengaja Mirza menakut-nakuti Reyhan. Tujuannya supaya mau mengakui perasaannya.
Kalau dibilang menyesal? Jelas itu sangat. Hanya saja, Reyhan tak tahu harus memulai bagaimana. Pria itu membuka bungkus sumpit dan mulai mengaduk bihunnya. “Kalau itu bisa membuat Mili bahagia, kenapa enggak?”
“Sinting!”
Mau bagaimana lagi? Reyhan sama sekali tidak bisa memulainya. Lebih tepatnya, ia tak ingin Milea justru menjauh. Itu sangat menyakitkan. Reyhan memilih untuk memakan makanannya. Ia yakin, jika takdir berkata mereka bersama, jelas akan ada jalan. Namun, jika takdir mengatakan tidak, sekeras apapun dia mengejar, Milea tetap akan berada dalam genggamannya.
“Bang, bihunnya enak,” kata reyhan berusaha untuk mengalihkan topik.
“Halah! Makanlah makan! Nambah kalau perlu, sekalian tuh, jatahnya si Mili. Udah molor juga anaknya.”
Reyhan melebarkan senyuman. Ia merasa bersyukur, semua keluarganya Milea, menerimanya dengan baik. Andai semesta mendukung perasaannya, tentu Reyhan akan menjadi pria yang paling bahagia di muka bumi ini.
“Tante Asti gimana?” tanya Reyhan yang tiba-tiba teringat dengan mamanya Milea dan Mirza.
“Mama sudah pulang naik taksi. Kasihan, kaya lelah sekali. Aku udah bilang, sih, besok biar agak siangan aja ke sininya. Kasihan pula, kan?”
“Ya, namanya juga seorang ibu, jelas tidak ada yang bisa lihat anaknya kaya gini, kan?”
Mirza menyayangkan sekali sikap Reyhan. Pria itu memilih menyimpan perasaannya sendiri. Sekali lagi ia menoleh pada adiknya yang terlelap. ‘Kamu bodoh banget, sih, Dek. Masa gak bisa lihat perasaan Reyhan? Padahal dia sangat perhatian sekali.’
“Bang, aku udah kenyang. Oh, ya. Abang mau ngopi gak? Aku mau turun sebentar, ngerokok. Sambil nyari kopi.”
“Boleh, deh, americano satu, ya.”
Reyhan mengangguk. Ia menyambar jaket jeans-nya yang ada di sofa, lalu memakai, tak lupa ia menoleh pada Milea. ‘Aku pergi dulu, Mil. Kamu enggak pernah mau ninggalin kamu, kok.’
“Udah, sana!” usir Mirza yang mulai mengemasi makanannya.
“Iya-iya, ah.”
.