Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Black Death. 1
"Jadi. Total korban tewas adalah dua puluh orang. Luka luka tiga puluh delapan orang." kata Pak Kumis. Dia sedang menceritakan bagaimana kebengisan Udin membunuh para tetanggaku dan teman temanku dengan kondisinya yang cukup memprihatinkan. Tangan kanannya dan kepalanya di perban, di perbannya merembes darah segar.
"Mustahil!! Udin tidak mungkin bisa melakukannya!" teriakku. Lenny langsung mencoba menenangkan aku yang meledak ledak.
"Tidak ada jejak siapapun kecuali kalian para korban dan Udin." Lanjut Pak polisi yang bernama asli Zainal Abidin itu. "Dia juga mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung dirinya di pohon nangka raksasa dimana Naya kalian temukan.
Singkat cerita, Udin adalah orang yang kita cari cari selama ini. Dia adalah kaki tangannya Pak Buang. Lalu, mungkin karena kalian pergi ke kampung mati itu, dan di sana ada petunjuk yang menunjukkan bahwa Udin adalah pelakunya. Dia akhirnya nekat dan mengakhiri semuanya."
"Mustahil! Bagaimana Bogel dan Pak Ponijan? Juga Pak Bejo?"
"Kami sama sekali tidak pernah menemukan bukti dan apapun itu tentang mereka. Kamu mengalami hal yang sangat mengerikan Nak. Mungkin karena itulah ingatanmu sedikit terganggu. Mirip si kecil Ayu. Dia mengalami ganguan mental. Dia histeris dan ketakutan saat melihat orang. Kamu mengalaminya juga Nak."
"Tapi... Tapi. Bagaimana penjelasan dan urutan kejadian itu kalau Udin adalah pelakunya! Udin masih SMP mana mungkin anak sekecil itu bisa melakukan hal yang di luar akal sehat seperti itu!!"
"Ada rekaman video dari handphone milik para korban selamat dan korban tewas. Memang, kejadian di kampung mati itu tidak ada rekamannya, tapi, ketika dia ngamuk di kampung dimana kamu tinggal. Udin lah yang terekam membacok membabi buta setiap orang yang dia temui.
Dia menjadi gila karena dia pikir telah membunuh teman baiknya, yaitu kamu Angga dan Dika yang benar benar tewas. Dan Ayu. Lalu.... Lalu..." air mata mengalir deras di pipinya yang memiliki tulang menonjol. Wajahnya yang tegang setiap saat, kali ini terlihat lelah dan lesu. "Lalu juga putri semata wayang ku. Cikita."
"Bripda Cikita putri Anda?" tanyaku.
"Ya. Dia begitu semangat nak. Apalagi dengan kasus yang ada kamu didalamnya. Dia begitu tertarik kepadamu. Dan, kasus telah berakhir. Dan dia juga pergi.
Lupakan kasus ini nak. Demi dirimu dan Cikita Willy yang menyukaimu.
Kasus ini sudah di tutup. Dan aku harap kamu tidak menanyakan nya lagi. Ok? Mengerti? Jangan repot repot ke kantor polisi lagi. Dan jangan buang waktu dan tenaga mu untuk hal ini.
Aku permisi nak. Harusnya, lima tahun lagi aku ingin kamu menjadi menantu ku. Tapi tuhan berkehendak lain.
Assalamualaikum."
"Aku ingin melihat video rekaman itu. Aku ingin memastikannya dengan mata kepalaku sendiri. Anggap saja itu permintaan terakhir saya kepada anda, Pak Zainal Abidin."
"Aku lebih suka kamu panggil Pak Kumis nak, daripada nama lengkap ku. Ok, baik. Datanglah ke kantor polisi kalau itu maumu, kalau itu bisa melegakan rasa ingin tahumu." Dia tersenyum tulus. Lalu memegang kepalaku. "Satu hal lagi. Pak Jatmiko. Dia menghilang entah kemana. Rumah yang aku beli dengan harga satu miliyar yang ada di kali Gimun telah hangus terbakar dan rata dengan tanah."
"Tapi, dia sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus ini kan? Anda sendiri yang mengatakannya, walaupun pada awalnya anda mencurigai dia sebagai pelakunya."
"Benar. Ok, sudah terlalu lama aku di sini. Tugasku menumpuk, jadi aku pamit. Lenny, jadi si bodoh ini baik baik. Jangan biarkan dia bertindak nekat. Mengerti?"
"Siap Pak Ndan!" Lenny memberi hormat kepada Pak Zainal Abidin. "Serahkan kepada saya!".
Nex
Dua hari setelah aku sadar, aku menjalani terapi untuk memulihkan otot kakiku. Dan di hari ke empat, aku telah mendapatkan kekuatan otot kakiku lagi. Dan keesokan harinya aku benar benar merasa kembali seperti semula.
Lalu di hari itu juga, perban di kepalaku di ijinkan untuk di lepas. Saat aku melihat wajahku di cermin, aku melihat ada bekas luka yang cukup mengerikan di wajah sebelah kanan dan tengah. Yang di tengah miring dari kening atas ke pipi kiri bawah. Dan satu lagi tepat di mataku, dan benar saja aku telah kehilangan satu bola mata.
"Yon? Kamu baik baik saja kan?" tanya suster yang merawat ku saat Lenny harus jualan.
"Alhamdulillah, baik." jawabku sambil tertegun melihat wajahku yang cukup mengerikan. "Sangat baik."
"Lukanya tidak terlalu dalam. Jadi, akan tertutup sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Tapi, kalau mata kanan mu..."
"Tidak apa apa. Nanti akan terbiasa kok. Yah, walaupun pandangan ku sedikit terbatas sih. Bagian kanan sama sekali tidak terlihat, aku harus menoleh ke kanan untuk melihat di sisi sana."
"Ini." dia menyerahkan sebuah bola mata palsu kepadaku. "Pak Zainal Abidin membelikannya untuk kamu. Apa perlu bantuan untuk memasang nya?" aku mengangguk, karena ga bisa membayangkannya rasanya memasang benda aneh tepat di sana. Rasanya ngeri ngeri sedap. "Yosh! Beres. Kamu terlihat lebih ganteng sekarang."
Aku tersenyum mendengar celotehan nya. "Terima kasih suster?"
"Rani."
"Terima kasih suster Rani. Kalau boleh tahu, apakah kamu tahu tempat pasien yang bernama Ayu Karisma?"
"Tahu, tapi dia tidak bisa di dekati oleh siapapun."
"Tidak apa apa, saya cuma ingin melihat dia secara langsung. Aku benar benar mengkhawatirkan keadaan dia."
"Baik. Ikuti saya."
Kamar Ayu berada di lantai yang sama dengan kamarku tapi jaraknya cukup jauh dari kamar yang aku tempati.
"Silahkan. Tapi, cukup lihat dia dari jendela ini saja." kata suster Rani.
Ayu duduk sambil memeluk kakinya di ujung tempat tidurnya. Kakinya di belenggu dengan tali yang terbuat dari kulit. Dia memakai baju pasien yang sama denganku. Rambutnya acak acakan dan terlihat kusut. Wajahnya sama sekali tidak terlihat. Sesekali dia terlihat sesenggukan, sesekali dia terlihat tertawa. Begitu terus selama aku memperhatikan dia.
"Ayu." aku mengguman pelan sambil menempelkan wajahku ke kaca jendela kamar itu. Namun, seolah dia mendengar namanya aku panggil, dia langsung menoleh ke arahku. Aku melambaikan tanganku kepadanya dan dia awalnya menatapku dengan tatapan kosong, tapi sepersekian detik wajahnya langsung berbinar dan memberi gestur tubuh ingin di peluk. "Suster? Apakah aku boleh masuk ke sana?"
Suster Rani tertegun melihat ekspresi Ayu yang di luar dugaan. "Aku minta izin dulu ke dokternya yang bertanggung jawab."
"Baik."
Lima menit kemudian, dokter yang bertanggung jawab atas Ayu datang dengan tergopoh gopoh lalu menyapaku. "Silahkan, siapa tahu dia akan kembali seperti sediakala."
"Terima kasih dok." dan tanpa ba bi Bu lagi, aku langsung masuk dan menghampiri Ayu.