Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 5
"Nggak nyangka kita ketemu di sini."
Entah hanya perasaanku saja ataukah memang benar apa yang aku lihat. Dia tersenyum sumringah, kedua matanya berbinar terang, terkesan begitu bahagia dengan pertemuan ini.
"Iya." Kujawab singkat sambil membalas senyumnya. Memang sebuah pertemuan tak terduga.
"Kamu lagi apa di sini? Cek up?" tanyanya sembari mengedarkan pandangan, mungkin mencari sosok Raka yang seharusnya menemani.
"Lagi nungguin mamah sakit. Kamu sendiri ngapain?" Kuajukan pertanyaan yang sama, terbersit tanya apakah dia tahu soal keberadaan Shila.
Senyum di bibir laki-laki berkumis itu raib, kedua sorot matanya bahkan terlihat sendu dan muram. Oh, mungkin saja dia juga melihat keberadaan mereka. Kasihan sekali kamu, Benny. Kamu laki-laki yang baik, tapi mendapat perempuan seperti Shila. Semoga jodohmu lebih baik.
Ia menghela napas, menunduk sejenak sebelum mengangkat pandangan menatap sekitar.
"Ibu juga dirawat di sini. Darah tingginya kambuh," jawabnya sembari melirik sedih ke arahku.
Oh, kukira dia bersedih karena mereka berdua. Dia laki-laki yang baik, sayang pada ibunya. Kuulas senyum tulus, menatap kedua netranya yang berkabut.
"Yang sabar, ya. Merawat orang tua pahalanya besar. Insya Allah jadi amal sholeh yang akan mengantarkan kamu bertemu jodoh yang baik," ucapku memberinya semangat agar tidak bersedih hati.
Bibir mengukir senyum dengan sendirinya tatkala ia menatapku penuh. Dahinya sedikit berkerut, dia bahkan mendekatkan wajah membuatku memundurkan kepala. Sebentar saja, setelahnya dia menarik kembali kepala menjarak dariku.
"Kamu abis nangis? Atau lagi nggak sehat? Muka kamu pucet banget, Sha. Apa nggak sebaiknya kamu periksa? Takutnya kenapa-kenapa," cerocosnya panjang lebar.
Aku terkekeh spontan, dia memang pandai menebak. Tidak salah, aku memang sakit. Sakit batinku, remuk segala rasaku. Entah apakah akan menemukan obatnya?
"Aku nggak apa-apa, kok. Kamu nggak usah khawatir kayak gitu," ucapku sambil menggeleng. Aku tidak ingin disebut sebagai pencari perhatian karena memang tidak membutuhkan perhatian siapapun.
Suamiku saja tak peduli padaku, padahal ada benihnya yang sedang aku kandung. Biarlah, aku mengalah saat ini untuk menjaga kesehatan janin serta kewarasanku.
"Beneran? Mau aku temenin? Sekalian mau jenguk mamah kamu," tawarnya. Raut cemas jelas terlihat di wajahnya yang memiliki garis kedewasaan. Seandainya dia adalah Raka saat ini, sudah pasti hatiku tak akan merasa risau.
"Kalo emang mau jenguk, nggak apa-apa. Ayo! Mamah sendirian di ruangannya," sahutku.
Aku melangkah lebih dulu mendahului. Menyusul suara derap langkah mengekor di belakang, biarlah. Dia temanku sekarang, tapi ada yang masih mengganjal di hatiku. Tentang Benny yang apakah melihat keberadaan Raka bersama Shila?
"Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja, Sha."
Ucapan spontan yang kudengar darinya sukses menghentikan langkah kakiku yang menyusuri lorong. Kuhela napas, melanjutkan langkah tanpa berniat menanggapi ucapannya.
"Dia ada di sini. Aku yakin kamu pasti ketemu sama mereka."
Lagi. Kalimat yang menguar dari lisannya kembali menghentikan langkahku. Aku tertegun, mencerna ucapannya. Apa itu artinya dia juga tahu mereka di sini. Kubalikkan tubuh menghadapnya, menatap wajah yang dihiasi sorot mata sendu nan muram itu.
Benar. Ada kesedihan di sana. Mungkin cintanya untuk Shila masih sangatlah besar, tapi apa yang dilakukan wanita itu tak dapat ia terima.
"Apa kamu juga lihat mereka?" Aku bertanya untuk memastikan.
Anggukkan kepala darinya menjadi jawaban dari rasa penasaran yang bersarang di hatiku. Aku tersenyum, menyatakan hatiku yang baik-baik saja. Bukannya tak sedih, tapi untuk apa bersedih disaat orang yang kita tangisi justru tak peduli dan sedang bersenang-senang.
"Nggak apa-apa. Mereka sedang dibuat gila oleh yang namanya rasa cinta. Nggak akan dengar nasihat dari manapun, nggak akan peduli pada siapa yang disakiti. Aku nggak apa-apa, tapi gimana sama kamu?" Kembali kuulas senyum demi mempertahankan ketegaran di hati.
Aku tidak ingin terlihat lemah apalagi menyedihkan hanya untuk menarik simpati banyak pihak. Aku yakin aku kuat dan sanggup menjalani ini semua sampai waktu yang kutunggu tiba.
"Kamu hebat, Sha. Rugi banget suami kamu udah nyia-nyiain perempuan hebat kayak kamu," ujarnya memuji.
Tak akan terbang aku dipuji, tak akan tumbang aku dicaci. Kutundukkan kepala sambil menggeleng. Berlama-lama membahas masalah mereka justru semakin membuatku sakit. Aku takut tak mampu menahan luapan air yang sejak tadi merangsek hendak keluar.
"Udahlah. Ini semua aku lakuin demi anakku. Aku nggak boleh lemah karena ada dia. Yuk, kasihan mamah." Aku berbalik dan melanjutkan langkah teringat Mamah seorang diri di ruangan dan rasanya terlalu lama juga aku tinggalkan.
Entah apakah Benny mengikuti ataukah dia memutuskan untuk pergi. Biarlah, aku dapat melihat kesakitan di kedua pancaran matanya. Kasihan sekali dia, sama seperti diriku yang mungkin sangat amat kasihan.
Kubuka pintu ruangan Mamah, wanita di atas ranjang itu menoleh dan tersenyum ketika melihatku. Namun, beberapa saat senyumnya surut, aku mengernyit. Kupalingkan wajah, kulihat Benny sudah berdiri di ambang pintu menatap Mamah.
Aku mengangguk mengizinkan Benny untuk masuk. Mendekat ke arah Mamah dan duduk di kursi samping ranjangnya.
"Mamah nggak tidur? Mau buah? Shanum belikan beberapa buah buat Mamah," tawarku seraya mengeluarkan parsel buah dari dalam kantong plastik.
Mamah tidak menjawab, kulirik pandangannya tertuju pada Benny yang berdiri tak jauh dariku. Ada banyak tanya di matanya, perihal siapa laki-laki yang datang bersamaku. Kuletakkan buah tersebut di atas nakas, mengupas sebuah jeruk dan membersihkannya.
"Ini Benny, teman Shanum. Nggak sengaja ketemu katanya ibunya juga lagi dirawat di sini. Dia mau jenguk Mamah," terangku tanpa ditanya. Kusuapkan sebutir jeruk ke mulutnya. Rasa lapar yang tadi menyerang, tak lagi kurasakan setelah menerima pukulan pahit yang membuatku kenyang tiba-tiba.
Mamah menerima suapan dariku, tapi matanya terus tertuju pada Benny. Seperti menaruh curiga di antara kami ada sesuatu yang terjadi.
"Saya Benny, Tante." Laki-laki dewasa itu terlihat canggung dan gugup. Mungkin karena ditatap Mamah tanpa berkedip.
Mamah berpaling, kali ini pandangan matanya tertuju padaku. Suapan demi suapan jeruk berhasil masuk ke dalam mulutnya, tapi tak sepatah kata pun lolos dari lisan ibu keduaku itu. Mamah terus saja bungkam, belum memberikan komentar tentang Benny. Semoga saja tidak ada kesalahpahaman di dalam pikiran Mamah.
"Kamu nggak makan?" tanya Mamah dengan suara parau.
"Nanti, Mah. Sebentar lagi," jawabku sambil tersenyum.
Mamah menggelengkan kepala, menatapku sendu memberi isyarat untukku mengisi perut terlebih dahulu.
"Kamu belum makan, Sha? Pantes aja muka kamu pucet. Malam dulu, Sha," sambar Benny dengan nada cemas yang kentara.
Aku tersenyum canggung, tak berselera untuk makan lagi. Kulirik Mamah yang terdiam, sorot matanya menyiratkan ketidaksenangan terhadap Benny.
"Mamah nggak suka kamu dekat-dekat sama dia, Sha. Kamu itu menantu Mamah, jangan dekat-dekat sama dia!"
Aku tersentak sambil melebarkan kedua bola mata. Terkejut dengan ucapan Mamah yang terdengar ketus, juga tak enak pada Benny.