Sabila. seorang menantu yang acap kali menerima kekerasan dan penghinaan dari keluarga suaminya.
Selalu dihina miskin dan kampungan. mereka tidak tau, selama ini Sabila menutupi jati dirinya.
Hingga Sabila menjadi korban pelecehan karena adik iparnya, bahkan suaminya pun menyalahkannya karena tidak bisa menjaga diri. Hingga keluar kara talak dari mulut Hendra suami sabila.
yuk,, simak lanjutan ceritanya.
dukungan kalian adalah pemacu semangat author dalam berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23.
Risma merasa takut, tapi dia harus tetap mengatakan semuanya kalau ingin aman.
"Edward, Edward Sanjaya!" Ucap Risma sembari menundukkan kepalanya. Dia meremas-remas jari jemarinya yang sudah terasa beku.
Deg
Ervan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Edward adalah adiknya sendiri walau beda ibu, tapi dia tetap menyayanginya. Selama ini mereka juga tidak pernah terlibat masalah apa pun.
"Aku katakan padamu sekali lagi, siapa yang sudah memberitahu mu nomor kamar itu?" Ervan merasa Risma hanya ingin menjatuhkan adiknya, dia tidak percaya dengan apa yang disampaikan olehnya.
Risma seperti ditikam tombak, saat lelaki dihadapannya dengan suara yang mulai tinggi kembali bertanya tentang nomor kamar. "Sebenarnya ada apa dengan nomor kamar itu? Apa terjadi sesuatu disana? Bagaimana dengan Mbak Bila?" Gumam Risma dalam hati.
"Aku sudah bilang Edward yang memberikan nomor kamar itu, setelahnya dia mengambil kesucianku." Kata Risma dengan berlinang airmata.
Sebenarnya dia tidak menyesal atas perbuatannya, karena itu pilihannya. Yang dia takutkan adalah kalau dia sampai hamil dan Edward tidak mau bertanggung jawab. Berulang kali dia melakukannya, ternyata Edward tidak menggunakan pengaman.
Ervan mengepalkan tangannya kuat. Tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan adiknya. Dia sudah memberikan nomor kamar pribadi miliknya pada orang lain, ditambah sudah meniduri seorang wanita. Tidak! Bukan seorang mungkin saja lebih, tidak ada yang tahu.
Nico datang membawa rekaman CCTV. Benar saja apa yang dikatakan waitress itu, dia juga melihat Edward yang membawa Risma ke lantai 2 club.
Ervan menatap Risma tapi kali ini amarahnya tidak seperti di awal. Mau tidak mau Edward harus bertanggung jawab kepada Risma. Segera mungkin mereka harus dinikahkan, agar Edward tidak jajan sembarangan lagi.
"Kau harus menikah dengan Edward!" Kata Ervan akhirnya.
Deg
Risma mengangkat kepalanya, menatap Ervan ragu. "Ta pi, Edward tidak mau terikat. Aku tidak boleh menuntut apa-apa darinya." Gumam Risma lirih tapi masih bisa di dengar oleh Ervan.
"Sialan anak itu! Bisa-bisanya berkata seperti itu kepada seorang wanita." Gumam Ervan dalam hati.
"Kalau dia berkata seperti itu, maka kau akan mengikutinya. Bagaimana kalau kau hamil?" Ucapan Ervan menyadarkan Risma. Dia tidak menyesal, hanya takut kalau sampai hamil.
Risma kembali terdiam, airmata nya cukup menjadi jawaban untuk Ervan.
"Nico! Suruh orang untuk mengantarnya pulang." Perintah Ervan pada Nico, yang dijawab anggukan.
"Dan kau harus ingat! Masalah ini tidak ada orang yang boleh tau, sekalipun itu Edward. Tunggu saja di rumah mu, orang tua kami akan datang untuk melamar. Ucap Edward membuat Risma membulatkan matanya. Orang yang dihadapannya kini adalah saudara Edward.
Singkatnya kini Risma sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
...****************...
Rumah Bu Wati
Jarum jam menunjuk ke angka 1 dini hari, suara bel rumah terdengar beberapa kali. Membangunkan Hendra yang sudah terlelap sejak tadi.
"Siapa sih, malam-malam begini?" Gumam Hendra.
Dia pun keluar dari kamarnya bergegas ke pintu depan, melihat siapa yang sudah memainkan bel rumahnya.
Ting Tong
"Iya sabar!" Teriak Hendra.
Ceklek
"Mas Hendra!"
Saat pintu terbuka, Risma menghambur ke pelukan Hendra. Dia segera meminta kakak nya itu menutup pintu. Hendra hanya mengikuti, karena di depan rumahnya dia melihat sebuah mobil hitam yang mencurigakan.
"Risma kamu darimana? Kenapa pulang jam segini?" Setelah melihat adiknya duduk di sofa, Hendra pun menyusul adiknya dan memberondong i dengan beberapa pertanyaan.
"A ku dari rumah teman, mas. Jawab Risma gugup.
Hendra merasa ada yang aneh pada adiknya, tapi dia tidak mau ambil pusing. Hendra masih sedikit kesal pada apa yang sudah dilakukan adiknya terhadap Sabila.
"Ya sudah! Mas mau tidur lagi." Ucap Hendra segera meninggalkan adiknya di ruang tamu.
Setelah kepergian Hendra, Risma juga melangkah ke arah kamarnya. Dia butuh mengistirahatkan badan dan pikirannya. Menyiapkan hari esok, yang mungkin tidak sama lagi seperti biasanya.
*** ***
Pagi hari yang cerah, Risma bangun lebih awal menyiapkan sarapan. Dia belum melihat Ibu dan kedua kakak perempuannya.
Hendra sudah siap dengan baju kerjanya. Dia bersiap untuk sarapan, saat melihat Risma meletakkan lauk ayam goreng ke atas meja.
Melihat masakan yang begitu banyak, Hendra bertanya pada Risma. "Kenapa masak banyak sekali?" Ucapnya.
Risma menatap hidangan yang tersaji, dimana banyaknya makanan ini? Biasanya juga seperti ini.
"Biasanya juga masaknya seperti ini, mas." Kata Risma. "Ibu, Mbak Winda, dan Mbak Riska mana mas? Tumben belum turun sarapan?" Tanyanya.
Deg
"Apa Risma tidak tau kalau ibu dipenjara?" Gumam Hendra dalam hati.
Dengan berat hati, Hendra menyampaikan pada Risma bahwa Ibu dan Mbak Riska ditahan di kantor polisi. "Apa?" Risma terkejut.
"Kenapa baru bilang, Mas? Kenapa bisa mereka di penjara?" Tanya Risma khawatir.
"Katanya difitnah, tapi entahlah mas belum tau pasti." Kita diminta menyediakan pengacara, karena orang yang nuntut Ibu dan Mbak Riska adalah orang yang punya kedudukan tinggi.
...****************...
Villa Ervan
Sabila sudah bangun sejak tadi, dia mondar-mandir di dapur seperti setrikaan. Mbok Jum dan Laras yang melihatnya hanya bisa geleng kepala.
"Kak Bila, kenapa?" Tanya Laras.
Tadi malam Sabila dapat orderan kue dan nasi box untuk arisan sore nanti. Karena semalam dia langsung tidur, jadi orderan itu dia lihat subuh tadi.
Karena pesanan yang cukup banyak, Sabila takut tidak keburu membuatnya. Apalagi dia belum menyiapkan segala perlengkapannya.
"Laras! Jam berapa gerbang di depan terbuka? Apakah disekitar sini ada warung, aku mau membeli sesuatu?" Kata Sabila.
Laras menatap Ibu nya, kemudian kembali menatap Sabila. "Mau beli apa?" Laras berpikir mungkin Sabila ingin membeli pembalut wanita karena datang bulan.
"Aku ada orderan nasi box dan kue, jadi ingin membeli bahan-bahan nya." Kata Sabila.
Laras dan Mbok Jum tersenyum. "Jadi Nona Bila, suka bikin kue." Tanya Mbok Jum, segera Sabila mengangguk.
"Ada apa ini? Kayaknya serius banget." Ervan tiba-tiba muncul di dapur, mengagetkan mereka bertiga.
"Hah, Tu an!" Ucap Sabila gugup.
"Selamat pagi, Tuan." Ucap Mbok Jum dan Laras. "Apa tuan akan sarapan, sekarang?" Imbuh Mbok Jum.
"Iya, Mbok. Tapi apa yang sedang kalian lakukan?" Tanya Ervan ingin tahu.
Sabila tidak berani angkat suara, akhirnya mbok Jum yang mewakili.
"Nona Bila ingin membeli keperluan catering nya, Tuan." Ucap Mbok Jum.
"Catering?" Ervan menatap Sabila penuh tanya.
Sabila mengangkat kepalanya, menatap Ervan. "Mm Iya, Tuan! Hari ini aku ada orderan nasi box dan kue. Jadi apa boleh aku izin keluar membeli keperluan ku?" Ucapnya.
Ervan tersenyum simpul. "Tentu saja boleh. Apa lagi yang kau butuhkan?" Tanyanya.
"Aku ingin meminjam dapur untuk memasak, boleh kan!?" Dengan cepat Sabila menyahuti Ervan. Tapi justru jawaban Sabila terdengar lucu bagi Ervan.
Seketika Ervan menepok jidatnya sendiri. "Maksud ku, Apa kau sudah menulis daftar barang yang akan kau beli?" Sabila merasa malu, tapi dia mengangguk cepat.
"Kalau begitu, kalian bertiga akan diantar Nico. Ayo sarapan cepat, dan segera beli apa yang kau butuhkan." Perintah Ervan.
semangat
dari awal baca sampai di bab ini aku perhatikan tulisannya tuh selalu rapih dan nikmat di baca.
nggak bikin bosan.
pertahankan thor
Hendra juga
kamunya aja yang nggak punya pendirian. cuma manut manuut aja.