NovelToon NovelToon
Fading Stitches

Fading Stitches

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Trauma masa lalu / Careerlit
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: AMDee

Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Pukul sepuluh lewat, Ode memberikan mereka waktu untuk beristirahat beberapa menit sebelum kembali meneruskan acara berikutnya.

"Sekarang saatnya kalian berkreasi. Selesaikan dalam tiga jam lalu presentasikan hasil karya regu kalian." Ucap Sir Julian sambil berjalan ke barisan mahasiswa baru, melihat proses molding mereka satu per satu.

Aline melihat jam tangannya, sudah pukul sebelas lewat sejak peragaan busana berakhir. Itu artinya hanya ada satu jam kosong yang bisa digunakan para senior untuk mempersiapkan seminar mode yang akan dibintangi oleh Luna Takahashi.

Aline tersenyum sendiri. Gadis itu mulai bersemangat. Ia ingin segera menyelesaikan tugas ini dan bertemu Luna, sang perancang ternama, secara langsung.

"Perhatikan tanganmu, Aline." Elin mengingatkan.

"Ah, iya, maaf." Aline segera menggeser tangannya di bawah kaki Uli. Saat ini mereka sedang bekerja sama untuk membuat karya besar pertama mereka.

Ini memang simulasi pembelajaran, tetapi bagi Aline dan ketiga temannya, mereka seperti akan melakukan acara peragaan busana besar di sebuah event menggunakan karya luar biasa mereka yang saat ini sedang mereka garap.

Kertas-kertas koran yang dibawa James pagi tadi sedikit demi sedikit mulai membentuk tubuh Uli dan mulai terlihat seperti kostum yang cantik. Ini baru bagian bawahnya saja. Masih ada detail-detail lain yang harus mereka selesaikan sebelum tiga jam berlalu.

Aline membagi tugas.

Elin yang mengerti tentang detail roknya ditugaskan untuk merapikan beberapa lipatan bawah dan bagian pinggang Uli. Sementara itu, James mengurus bagian lengan kiri Uli dengan potongan lengan pendek.

Dan, selanjutnya, Aline sendiri menangani bagian badan dan detail tersulit di lengan kanan Uli. Aline harus membuat bentuk bunganya dan menempelkan aksen bunga Bougainville di bagian lengan tersebut.

"Waktu yang tersisa tinggal tiga puluh menit lagi, ya!" Seru Ode. Ia menghampiri barisan kelompok Aline.

"Itu bagian tangan kirinya kurang rapi, Al." bisik Ode sambil menempelkan jari telunjuknya ke mulut.

Aline melirik James, mengamati hasil kerja pria itu. Benar. Ada sedikit lipatan yang seharusnya tidak masuk ke bagian dalam. Beberapa lipatan luarnya juga sedikit miring dan berkerut. Melihat semua itu, Aline segera menegur James dan menyuruhnya untuk membuat ulang bagian lipatan tersebut.

"Ah, syukurlah. Akhirnya kita menyelesaikan ini tepat waktu." James menguap, merentangkan kedua lengannya ke atas dan ke samping, hingga punggungnya mengeluarkan suara "Trak" yang langsung disambut gelak tawa ketiga sahabatnya.

"Capek, Pak?" Tanya Elin yang duduk di sebelahnya.

"Capek banget." James nyengir. "Saya nggak pernah menduga hal ini. Meskipun kita bekerja sama dalam tim, ternyata bikin hal seperti ini melelahkan juga, ya?"

Benar. Memang tidak ada cara yang mudah untuk membuat sebuah karya terlihat menarik. Bukan hanya harus menarik, tetapi juga sesuai dengan ekspektasi dan value-nya.

Setelah James pikir-pikir, ternyata sekadar memiliki selera tinggi di bidang mode tanpa punya keterampilan yang mumpuni, rasanya masih saja kurang. Begitu pula dengan halnya memiliki bakat tapi tidak bisa mengembangkannya dengan benar.

James mendesah melihat hasil molding mereka di tubuh Uli. Ia berpikir, kalau saja ia bekerja sendiri, ia pasti tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan seperti itu dalam waktu tiga jam.

Moulding terkadang memang sering dianggap mudah, karena hanya melibatkan penempelan kain kasar atau media kertas di badan patung, lalu dicetak menjadi replika mode. Tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Saat terjun langsung di lapangan, mengerjakan pekerjaan seperti mencetak mode ini akan terasa sangat sulit apalagi jika dilakukan oleh seorang amatir seperti dirinya.

James sungguh terkesima melihat kegigihan dan ketelitian Aline dalam mengerjakan tugas hari ini. James tersenyum sendiri. Ia mulai mengakui kehebatan Aline di bidang ini. Diam-diam James memuji bakat Aline.

Aline sungguh hebat, saya jadi malu karena kemarin sempat mendebat keyakinannya.

...•••...

Tiga puluh menit berlalu setelah Sir Julian mengumumkan bahwa kompetisi akan segera dimulai.

Sebelum peragaan busana mereka di babak kedua ditampilkan di panggung, setiap tim harus mengundi nomor undian dengan cara menebak nama-nama kain yang dibawa oleh Stev dan Vany. Sudah ada beberapa jenis warna dari berbagai tekstur kain yang ditempel di papan tulis.

Sistem undiannya seperti ini; Bagi mereka yang berhasil menebak lima belas jenis kain akan mendapatkan dua puluh poin dan berhak menentukan urutan penampilannya.

Menebak tujuh kain sama saja dengan mendapatkan hak istimewa seperti menebak lima belas jenis kain.

Dan, untuk mereka yang hanya bisa menebak lima kain akan diberi tujuh poin dan boleh mendaftar jika ingin tampil pertama atau terakhir.

Saat permainan undian tersebut, kelompok dua unggul dengan menebak delapan jenis kain, disusul oleh kelompok delapan yang berhasil menebak tujuh kain, lalu kelompok empat dengan enam jenis kain.

Aline yang telah ditunjuk sebagai ketua kelompok empat, memilih penampilan terakhir karena Uli merasa belum cukup siap untuk tampil berlenggak-lenggok di hadapan seluruh mahasiswa lain.

Nah, saat lagu One of Kind dari G-Dragon diputar, seluruh mahasiswa baru yang sudah mendapat urutan tampil segera berpindah ke belakang panggung dan mulai berlenggak-lenggok di bawah cahaya lampu yang menyilaukan.

Aline duduk dengan gelisah. Ia takut Uli tidak kuat berdiri lama-lama dan membuat kostumnya berantakan, tetapi sepertinya kekhawatiran Aline itu tidak terjadi.

Peragaan busana kali ini benar-benar singkat. Tidak seperti yang dipikirkan Aline, semuanya berjalan dengan lancar.

Di puncak acara, Uli terpilih sebagai penampil terbaik dengan gayanya yang khas. Sorot matanya yang tajam menatap dan mengikuti arah kamera yang dipegang Stev. Ekspresi Uli juga tampak berbeda dengan dirinya yang biasa. Ia terlihat begitu menikmati suasana dan terlihat nyaman dengan kostum korannya. Senyum Uli begitu memabukkan di depan lensa yang menyala-nyala. Uli tampak percaya diri. Karena temanya adalah alter ego, riasan wajah Uli juga sedikit berbeda dari yang biasa ia gunakan. Uli jadi terlihat sedikit feminin tetapi tetap terlihat misterius.

"Selamat sekali lagi buat Uli," Ode berdiri di samping Uli yang memegang kotak hadiah. "Omong-omong, nih, konsep kelompok kamu itu apa, Ul?" Ode melakukan wawancara singkat bersama Uli.

"Kalau nggak salah konsepnya unisex, ya, kak." Uli berkata polos dan percaya diri.

"Unisex? Hm, mungkin kamu bisa cerita lebih mendetail supaya kita semua tahu, apa konsep pakaian yang sudah kamu dan anggota kelompok kamu buat ini?"

Uli menggaruk kepalanya. "Oh, kalau itu aku kurang begitu mengerti, Kak. Mungkin Kak Ode bisa tanya sama orang yang sudah membuat sketsanya."

"Oh, jadi ini bukan kamu yang mikirin konsepnya?"

"Bukan. Aku mana ngerti yang beginian."

"Oke, oke, coba kamu panggil, siapa yang sudah membuat konsep mode kamu?"

"Itu, orangnya ada di depan. Aline." Uli mengarahkan jari telunjuknya ke Aline dan melambaikan tangannya.

"Wah, ternyata Aline yang punya ide ini. Aku pikir ini ide James. Bagus banget loh, Aline." Puji Ode.

Aline menunduk saat semua mata memandang padanya.

"Coba sini, Aline maju ke depan, yuk." Ode kemudian memanggil Aline lewat pengeras suaranya.

"Ayo, Aline, maju." Uli malah ikut-ikutan memanggilnya.

Suara lembut Ode memanggil nama Aline. Uli nyengir karena Aline terlihat begitu malu saat semua orang memanggil namanya untuk berjalan ke depan kelas.

"Ayo, Aline. Maju sana!" teriak Stev bersemangat.

Aduh... Stev kenapa ikut-ikutan, sih? Bikin tambah deg-degan aja.

Aline menahan napas. Melihat sekeliling. Ada berapa banyak orang yang akan menatapnya nanti?

Satu?

Dua?

Sepuluh?

Tiga puluh?

Lima puluh?

Enam puluh?

Nggak.

Mereka ada lebih dari seratus orang.

Aline menghela napas berat.

Ini gawat!

Aline memejamkan mata. Beberapa mahasiswa di barisan depan dan sampingnya mulai bersorak. "Aline maju, dong! Ayo, maju ke depan kelas biar kita tahu wajah kamu!"

Wajah Aline berkeringat mendengar teriakan itu. Aline gugup. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menguasai emosi dan situasi saat ini. Perlahan-lahan Aline bangkit dari tempat duduknya.

Helaan napas Aline terasa lega ketika ia sudah berdiri di dekat Ode dan memegang mikrofon yang disodorkan olehnya.

"Nah, Miss Aline sudah ada di sini. Bisa nggak sih, Miss Aline ceritakan sedikit tentang konsep mode yang barusan ditampilkan oleh Uli? Ini, teman-temannya yang ada di sini juga pasti penasaran, soalnya cuma kostum dari tim empat saja, nih, yang kelihatannya agak beda dari yang lain."

Aline mengangguk. Sebelum bicara, Aline mengambil napas sejenak, menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga.

"Sebenarnya aku mengusung konsep unisex ini dengan tema sanctuary." Jawab Aline singkat.

"Sanctuary? Kenapa harus tema sanctuary? Apakah ada cerita di balik terciptanya konsep ini? Mungkin bisa dijelaskan secara rinci, Miss Aline?" Kali ini Ode membuat Aline sibuk memikirkan banyak jawaban untuk mereka.

Aline menarik napas dalam-dalam—tersenyum sebisa mungkin. Matanya menatap deretan siswa yang duduk dengan antusias mendengarkannya.

Aline menarik napas lagi. Sekarang wajahnya tertunduk dalam-dalam.

"Alasan aku memilih tema sanctuary? Karena, secara pribadi aku mengartikan fashion sebagai tameng bagi diriku sendiri. Menurutku, fashion tidak hanya berfungsi sebagai cerminan jati diri kita, tetapi juga sebagai tempat perlindungan diri. Mengapa? Pasalnya, banyak orang yang memiliki kekurangan, tetapi mereka kemudian mendapatkan kepercayaan diri dari penampilan luarnya. Dari mode, riasan atau pakaian yang mereka kenakan—seperti aku yang sering berpenampilan seperti gadis retro, atau Uli dengan pakaian edgy-nya, yang bertolak belakang dengan sikapnya sehari-hari. Sanctuary sebenarnya adalah pelindung bagi diri kita sendiri. Itulah mengapa saya menambahkan aksen bunga Bougainville di lengan kanan Uli,

"... jadi fungsi bunga ini, selain sebagai aksen yang bisa ditempel dan dicopot, juga seperti melambangkan jati diri wanita yang lemah, yang terlihat mudah ditindas. Namun sebenarnya bunga ini memiliki kekuatan yang dapat melindungi dirinya dari bahaya, yaitu duri. Saya tidak terlalu menonjolkan bunga dan duri di bagian depan, karena menurut konsep saya yang unisex, duri adalah tameng dan duri itu ada di dalam diri kita.

"Selain itu, rok dan blazer juga memiliki fungsi dan maknanya masing-masing. Sanctuary dalam mode yang dipakai Uli tadi merupakan gabungan sisi feminin dengan sisi maskulin yang sesuai dengan karakteristik Uli secara pribadi. Begitulah."

Ode tampak mengerti, ia menganggukkan kepalanya. "Jadi pada dasarnya model ini dijadikan semacam alter ego, begitu?"

"Benar, seperti itu."

Ode mengangguk. "Dari mana kamu mendapat inspirasi seperti ini?"

Masih dengan suaranya yang khas, terdengar ramah dan pelan. Ode terus mengajukan berbagai pertanyaan.

Aline menggigit bibir bawahnya, melirik Ode—seolah meminta belas kasihan. Saat itu tangan dan kaki Aline sudah mulai gemetar dan mengeluarkan keringat dingin. Namun, Ode tidak peka terhadap tatapan sedih Aline. Ode terus bertanya dan bertanya hingga Aline merasa tidak bisa menghentikannya lagi.

Panggung itu kini terasa seperti kursi panas yang digunakan Ode untuk menyelami kehidupan Aline secara mendalam.

Aline pasrah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan kecemasannya.

Ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi saat Aline menarik napas dalam-dalam, mencoba memikirkan jawaban yang tepat.

"Sejujurnya, inspirasi dalam membuat mode ini datang dari dalam diriku sendiri. Dan, sebagiannya, aku ambil dari cerita hidup orang-orang di sekitarku. Aku terinspirasi oleh gambar ilustrasi yang dibuat oleh ketiga temanku, Uli, James, dan Elin. Inspirasi itu kemudian aku ubah menjadi sebuah koleksi."

"Apakah ada cerita tentang mengapa kamu terpikir untuk membuat tema sanctuary ini?"

"Kalau ditanya tentang ceritanya, mungkin ada banyak sekali. Aku juga punya cerita sendiri dalam desain ini. Ini terkait dengan masa laluku yang juga mendapat perlakuan buruk dari teman-teman. Aku pernah menjadi korban bullying dan body shaming," sesaat suara Aline terdengar pilu.

Semua orang di aula itu terkejut mendengar pengakuan Aline. Sudah kepalang tanggung, Aline yang terbawa suasana hampir tidak bisa mengendalikan diri lagi. Ia melanjutkan kalimatnya.

"Seperti yang kukatakan, sanctuary ini mungkin saja menggambarkan diriku yang lain. Dalam desain ini aku memadukan atasan dengan model blazer semi formal dengan aksen bunga Bougainville, dan rok kulot ala Jepang—hakama. Ini cocok untuk mengekspresikan kepribadian kita tetapi juga menggambarkan betapa kuatnya wanita saat menanggung bebannya sendiri."

Suasana hening sejenak setelah Aline mengatakan itu. Aline baru sadar dan akhirnya terdiam melihat semua mata tertuju padanya.

Apa yang kukatakan? Tidak ada yang bertanya, tapi kenapa aku malah membuka kartu As-ku sendiri?

Ode dan Uli saling bertatapan. Mereka terdiam, bingung sekaligus kaget dengan pengakuan Aline.

Aline merasa ada yang aneh dengan keheningan di ruangan ini. Gadis itu mencoba mengingat-ingat kalimat yang diucapkannya.

Aline menutup mulutnya, hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Ia terlalu gembira hingga terperosok ke dalam kubangan lumpur.

Lampu-lampu di ruangan itu seakan menyorot Aline bersamaan dengan tatapan orang-orang yang seakan mempertanyakan kebenaran ucapan Aline tadi.

Apa cerita perjalanan hidupku akan berakhir di sini?

Aline menautkan jemarinya. Kakinya sudah gemetar. Bersamaan dengan itu, terdengar langkah kaki yang semakin dekat ke arah pintu.

1
Ian
kenapa tuh
Ian
Bukan peres kan??
Ian
Bikin geregetan
Ian
/Panic/
Ian
Ikut kemana??!!
Ian
Pikirannya terlalu kolot /Smug/
Ian
Tertusuk
Ian
sending a virtual hug to Aline
Ian
Jadi kepikiran buat nulis ginian juga
Aimee
Terima kasih ya, Kak Eurydice sudah baca dan kasih dukungan di karya ini. Semoga nggak bosan buat terus mengikuti kisahnya Aline. Salam hangat dari Aline. (´∩。• ᵕ •。∩`) (*^3^)/~♡
Aimee
Sayangnya author nggak bisa menggambar, kalau nyomot gambar punya orang nanti kena pelanggaran hak cipta, Kak. Bikin gambar pakai AI aja ada hak ciptanya hiks
Eurydice
suka kesel sama orang yg suka nganggap urusan orang lain tuh enteng
Aimee: Hehe, betul. Aku juga begitu sebenarnya... (╥﹏╥)
total 1 replies
Eurydice
coba ditukar posisinya
Eurydice
gk peka dih
Eurydice
mental alind yg harus diperhatikan/Scream/
Eurydice
🥺😭
Eurydice
hebat bener kebalikannya aline
Eurydice
😭
Eurydice
akhirnya tau kenapa diawal pesimisbgt
Eurydice
dulu aku jga daftar di FD cuma gak keterima
Aimee: Wah, serius, Kak?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!