Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 25
Kokokan ayam jantan pagi itu tak membuat Sukma bersemangat, jika di pagi-pagi sebelumnya ia akan segera pergi ke pasar untuk berbelanja dan memasak untuk keluarga, tapi pagi ini berbeda. Terlalu banyak menangis semalam membuatnya pusing, matanya bengkak dan terasa sulit terbuka.
Ia memutuskan tetap di kamar, berbaring di atas ranjang sambil terpejam. Bayangan suaminya berhubungan dengan wanita lain membuat darahnya mendidih, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Namun, ia bingung harus melampiaskannya pada siapa. Yang bersangkutan sudah tiada, haruskah ia datang ke kuburnya dan marah-marah?
“Cih, percuma,” gumam Sukma lirih. Ia hanya tak menyangka takdir hidup mempermainkannya seperti ini, seolah tidak cukup menjadi janda diusia muda, berjuang sendiri mencari nafkah untuk keluarga, dan merawat ibu mertua, sekarang malah harus mengetahui fakta masa lalu yang begitu menyakitkan. Sungguh nasib yang malang.
Sukma kembali teringat awal perkenalannya dengan Bagas, kala itu Bagas masih santri baru di pesantren. Bagas sering datang ke ndalem mengantar bahan makanan pokok, sedangkan dirinya khadam ndalem yang membantu di bagian dapur keluarga kyai.
Saat itulah keduanya perlahan mengembangkan perasaan, dan tak menyangka kyai mereka mengetahui hal ini dan menjodohkan mereka begitu saja. Bahkan di hari pernikahannya sang kyai lah yang mewakili mendiang ayah Sukma menikahkannya.
“Kalau tau begini ceritanya, aku nggak akan mau menikah denganmu, Mas,” ucap Sukma menatap bingkai kecil berisi potret pernikahan mereka. Sukma kembali menangis, ucapan itu hanya sebatas emosi, bagaimanapun juga ia sangat mencintai Bagas, terlebih dengan lelaki itu ia bisa berjumpa Nadira, putri yang sangat dicintainya.
Sementara itu, di kamar Nadira. Ia baru saja sarapan, mbah Sani yang datang membawa makanan untuknya, menyuapinya dan memberinya obat. Gadis itu mengeluh seluruh tubuhnya terasa remuk, apalagi memarnya yang masih sakit bila tak sengaja disentuh.
Nenek Ratih tak berani mendekati cucu dan menantunya, selain itu juga karena Wijaya melarang. Lelaki itu meminta budenya memberikan waktu untuk Sukma dan Nadira menjernihkan pikiran dan meredam emosi mereka.
Wijaya mendengar suara salam, ia yang baru saja duduk di sofa setelah kelelahan membersihkan rumah, bergegas melihat siapakah tamu yang datang. Ia cukup terkejut saat melihat Rendra berdiri di depan rumah sendirian.
“Rendra, sama siapa kamu?”
“Sendiri saja Kang,” jawabnya sungkan.
“Ayo masuk.” Wijaya mengajak Rendra duduk di sofa ruang tengah, lelaki itu menurut saja. Sempat melihat mbah Sani keluar dari kamar Nadira membawa rantang makanan. Wanita tua itu hanya tersenyum tanpa menyapanya.
“Ayo duduk dulu, tunggu sebentar aku buatkan teh panas ya.” Wijaya hendak pergi ke dapur, tapi Rendra mencegahnya, lelaki itu menolak dijamu layaknya tamu.
“Disini saja Kang, saya cuma ingin tahu kabar Nadira, Kang,” ucap Rendra malu-malu. Sejak semalam ia memang terus memikirkan gadis itu, akibat menguping bersama Indra ia mengetahui segalanya.
“Oh Nadira, dia sudah lumayan baik Kok Ren. Tadi juga sudah sarapan sama mbah Sani, syukur kami memiliki tetangga sebaik beliau. Saat mbak Sukma dan bude benar-benar tidak bisa diganggu, mbah Sani datang sebagai penolong. Apalah aku ini sebagai pak leknya, juga tidak bisa memasak dan merawat memar di tubuhnya. Apa kamu mau bertemu Nadira?”
“Oh tidak perlu Kang, biarkan saja dia istirahat. Saya cuma mau memastikan keadaan dia saja,” ucap Rendra lagi.
“Loh, bukannya kalian saling save kontak? kenapa nggak kirim pesan aja, daripada jauh-jauh kesini,” sambung Wijaya membantu mbah Sani yang ternyata kembali dari dapur membawa teh panas dan juga beberapa camilan, di belakang wanita tua itu terlihat mbah Ratih yang baru saja kembali dari kamar mandi.
“Sepertinya ponselnya mati Kang.”
Wijaya mengangguk mengerti, tidak heran memang jika keponakannya itu sengaja mematikan ponsel. Fakta yang di dengarnya semalam pasti membuatnya terkejut, ia harus mengetahui aib ayah yang dibanggakannya selama ini, itu tentu tidak mudah.
“Ayo Ren, diminum dulu tehnya, kuenya juga di makan ya,” kata mbah Sani. Wanita tua itu meletakkan nampan di bawah meja dan kembali berkata, “Jaya, aku pulang dulu ya. Nadira sudah makan meskipun cuma sedikit, aku juga sudah kasih Sukma sarapan meskipun entah dimakan apa tidak sama anak itu. Mbak Ratih juga sudah kupaksa makan barusan, nanti kalau ada apa-apa panggil aja aku atau Seno, anak itu mungkin sudah pulang, hari ini hari pertamanya bekerja di kota.”
“Baik Mbah, terima kasih banyak sudah membantu.” Wijaya lantas mengantar mbah Sani sampai depan pintu.
Sementara itu, Nadira di dalam kamar mendengar semua percakapan ini, diam-diam ia bangkit dan melihat Rendra sejenak dari balik pintu. Lantas menutup dan mengunci pintu kamarnya lagi, entah kenapa ia merasa sangat malu, dalam hatinya meyakini Rendra sudah tahu semuanya.
***
Rintik hujan di atas genting rumah seolah nada mengalun indah, bersama aroma tanah basah yang menelisik indera penciuman Sukma, sore itu ia berencana menutup toko awal, dikarenakan setelah sholat maghrib kyai Usman akan kembali bertandang ke rumahnya.
Mbah Sani berjalan pelan menuju toko, wanita itu membawa sebuah box makanan di tangan kanan dan payung di tangan kirinya. Ia tersenyum sumringah melihat ke arah Sukma berada.
“Sukma, untunglah kamu disini. Ini, aku baru saja masak sop buntut, masih panas enak buat makan hujan-hujan begini,” ucapnya menyodorkan box ke tangan wanita itu, Sukma menerimanya dengan senang hati. “Cepat di makan ya,” imbuh mbah Sani.
“Terima kasih Mbah, jadi repotin terus nih beberapa hari ini.”
“Aduh kamu ini, sudah seharusnya tetangga saling memberi dan saling menolong, dulu saat suamiku baru saja meninggal dan aku harus bertahan sendiri membesarkan Seno, mbak Ratih dan kang Samiran yang membantu kami.”
Sukma tersenyum, ia tahu mertuanya memang orang baik. Dan tidak seharusnya ia tetap mendiamkan nenek Ratih seperti ini, tapi entah kenapa dengan hati Sukma, sulit sekali rasanya menerima.
“Sukma, aku sudah tahu semuanya. Mbak Ratih cerita padaku, awalnya aku memang sangat terkejut mendengar cerita ini, tapi menurutku mbak Ratih tidak sepenuhnya bersalah, lagi pula kejadian itu sudah lama, itu masa lalu.
Di dunia ini, siapa yang tidak punya masa lalu buruk? siapa yang tidak punya aib, hampir semua orang punya Nak. Tapi, sebelum manusia itu mati, pintu maaf dan kesempatan bertaubat akan selalu ada. Saranku, berbincanglah dengan ibu mertuamu, kalau kalian saling diam seperti ini, sampai kapanpun masalah tak akan pernah berakhir.”
Ucapan mbah Sani merasuk dalam di hati Sukma, wanita itu berkata benar. Bagaimanapun niat ibu mertuanya baik, hanya seorang ibu yang ingin melihat putranya bahagia. Jika Sukma berada di posisi ibu mertuanya itu, dan kesalahan dilakukan putrinya mungkin ia akan melakukan hal sama.
“Baiklah Mbah, terima kasih sarannya. Akan Sukma usahakan.”
“Nah, begitu lebih baik. Ya sudah, aku mau pulang dulu ya Nak.” Mbah Sani mengelus lembut punggung Sukma, lantas berbalik arah kembali ke rumahnya. Sukma menatap punggung renta itu dengan senyum mengembang, lantas ia mengangguk sopan kala melihat Seno di samping pintu menyambut kedatangan ibunya.
.
Tbc
Maaf, telat update. Hehe
Karena satu dua kesibukan othor di dunia nyata. 🙏😊