Dicerai Setelah Malam Pertama

Seminggu setelah kejadian penculikan Enzio, keadaan mulai membaik. Bocah lima tahun itu sudah kembali bersekolah seperti biasa.

Pagi itu, Enzio duduk di meja makan bersama Kania. Karena khawatir Laras akan kembali membuat masalah, kakek Hermawan meminta Kania tinggal di kediaman keluarga Pratama untuk sementara waktu.

“Selamat pagi, semua,” sapa Hermawan sembari mendorong kursi rodanya ke meja makan.

“Pagi, Kek,” jawab Kania, bergegas membantu mendorong kursi roda Hermawan hingga mendekati meja.

Kania memang dikenal ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Dengan Hermawan, ia juga tidak merasa canggung.

“Ah, cucu kakek sudah bangun?” tanya Hermawan sambil tersenyum pada Enzio.

Enzio mengangguk antusias.

“Semalam nggak bisa tidur kek,” ucap bocah lima tahun itu.

“Kenapa?”

“Zio lapar, Kek, jadi Zio mau sarapan banyak hari ini. Tapi Mama bilang nggak boleh makan malam-malam, takut ada monster,” ujarnya polos.

“Monster?” Hermawan mengerutkan dahi, pura-pura bingung.

“Iya, gigi Zio nanti diserang monster. Zio nggak mau gigi bolong karena monster,” jelas Enzio serius.

Tawa Hermawan pecah mendengar penjelasan cicitnya. Enzio benar-benar menggemaskan, mengingatkannya pada Adrian saat masih kecil.

“Adrian ke mana?” tanya Hermawan pada Kania.

“Mas Adrian pergi pagi-pagi tadi untuk sidang perceraiannya dengan Laras, Kek. Hari ini sidang terakhir, jadi ketuk palu,” jawab Kania.

“Dia sekalian mengurus soal Pras. Putrinya baru saja selesai operasi,” sahut Reno, adik Adrian, yang baru turun dari tangga dan bergabung dengan mereka di meja makan.

“Pras siapa? Buron yang mencelakai nenekmu itu?”

Reno mengangguk.

“Operasi apa?” Hermawan menoleh penasaran.

“Entahlah, aku nggak tanya lebih jauh. Malas ikut campur,” jawab Reno santai, sambil sesekali melirik Kania yang nampak cuek.

Sejak tinggal di rumah keluarga Pratama, Kania memang menjaga jarak, terutama dengan Adrian dan Reno. Ia berusaha fokus pada tanggung jawabnya sebagai ibu Enzio.

“Mbak Kania hari ini kerja?” tanya Reno mencoba mencairkan suasana.

“Mas Adrian memintaku tetap di rumah menjaga Zio,” jawab Kania singkat.

“Itu lebih baik,” sahut Hermawan sambil mengusap lembut kepala Enzio. “Kakek tidak mau sesuatu terjadi lagi pada cicit kakek.”

“Hari ini aku ingin menjenguk Anna, putri Pras. Apa boleh, Kek?” tanya Kania hati-hati.

Kania perlu meminta izin Hermawan saat akan keluar dari kediaman Pratama. Tidak enak jika nyelonong keluar masuk tanpa pamit.

“Tidak menunggu Adrian pulang dulu?” Hermawan mengernyit. “Toh sidangnya sebentar saja. Laras juga hampir pasti tidak akan datang.”

Kania hanya tersenyum tipis. Tinggal satu atap dengan Adrian–mantan suaminya, jelas bukan hal mudah. Hermawan memahami itu.

Namun, ia punya rencana. Jika Adrian resmi bercerai, ia ingin menikahkan Adrian dan Kania lagi, demi Enzio. Meski keputusan akhir tetap ada di tangan Kania.

**

Setelah sarapan, Kania mengantar Enzio ke sekolah. Beberapa bodyguard ikut mendampingi mereka atas perintah Hermawan, yang tak mau mengambil risiko apapun.

“Ma, Zio masuk ya,” ujar Enzio sambil mencium tangan Kania.

“Hati-hati, sayang. Kalau Mama belum datang, jangan pulang sama siapa pun, oke?” Kania memperingatkan lembut.

“Iya, Ma,” jawab Enzio patuh sebelum melambaikan tangan dan berlari kecil ke dalam sekolah.

Selesai memastikan Enzio masuk dengan aman, Kania masuk kembali ke mobil. Tujuannya adalah rumah sakit tempat Anna dirawat.

“Semoga saja Anna baik-baik saja,” gumamnya dalam hati.

Adrian sudah menceritakan soal Pras yang menitipkan Anna pada mereka. Dan Kania dengan senang hati akan merawat anak itu.

Kania sudah menganggap Anna seperti putrinya sendiri. Bagaimana tidak, Laras juga dulu adalah sahabatnya bukan?

Di perjalanan, pikirannya melayang. Ia teringat pertemuan terakhir dengan Pras. Ia tahu Anna memiliki kondisi kesehatan yang tidak stabil, tetapi detailnya tak pernah diceritakan.

Setiba di rumah sakit, Kania langsung menuju lantai tempat Anna dirawat. Ia bertemu Pras di depan pintu kamar rawat.

“Kania, terima kasih sudah datang,” ujar Pras dengan wajah lelah tapi penuh syukur.

“Bagaimana keadaannya, Anna?” tanya Kania lembut.

“Alhamdulillah operasinya berjalan lancar. Anna masih dalam masa pemulihan, tapi dokter optimis,” jawab Pras.

“Syukurlah.” Kania mengangguk lega. Ia meminta izin masuk ke kamar untuk melihat Anna. Di dalam, gadis kecil itu terlihat tidur lemah dengan selang infus di tangannya.

“Anna pasti kuat. Dia gadis yang hebat,” ujar Kania mencoba menguatkan.

Pras tersenyum tipis. “Terima kasih atas doanya, Kania. Kehadiranmu berarti banyak bagi Anna.”

“Ada yang ingin kamu katakan?” Kania menepuk pundak Pras. Sepertinya lelaki itu diizinkan keluar penjara selama operasi Anna berjalan.

“Jika Laras kembali, jangan biarkan dia bertemu Anna. Jaga Anna. Aku titip dia sekali lagi padamu.” selama Laras masih berkeliaran, Pras tidak bisa tenang.

Pras takut, Laras meluapkan kekesalan dan emosinya pada Anna.

“Anna akan aman bersama kami. Sesekali, temui dia agar dia tidak merasa kehilangan sosok ayahnya.” kata Kania.

Setelah beberapa waktu, Kania berpamitan untuk kembali ke rumah keluarga Pratama. Dalam perjalanan pulang, pikirannya kembali pada Enzio dan Adrian.

Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah kembali bersama Adrian adalah keputusan terbaik untuk mereka semua, atau ia harus tetap menjaga jarak?

Keraguan ini terus mengusiknya. Namun satu hal pasti, ia akan selalu ada untuk Enzio, apapun yang terjadi.

“Astaga, kenapa aku malah mikir aneh-aneh begini.”