Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Yuna melangkah mundur dengan perasaan takut dan sedikit gugup.
"Tuan jangan macam-macam ya! Pergi dari kamar saya!"
"Tuan!"
Sret!
Yuna berhasil menghindar saat Vano akan menariknya.
"Tuan jangan mendekat atau saya teriak!" Yuna mengancam namun Vano terus saja melangkah maju.
"Aahhh!"
Bruk!
Vano mendorong Yuna ke ranjang dan langsung menindih tubuh mungil itu dengan tubuh besarnya.
"Tuan! jangan lakukan ini atau aku tidak akan memaafkanmu!" Teriak Yuna di telinga Vano namun pria itu seolah tuli.
"Tuan!"
Vano tidak mendengarnya, ia membungkam bibir merah di bawahnya yanh terus saja berteriak. Yuna berusaha memberontak dengan memukul dan menendang tubuh Vano namun pria besar itu sama sekali tidak bereaksi, dengan sisa tenaga yang ia miliki namun sama sekali tak berarti untuk pria di atasnya.
Vano menatap Yuma yanh menangis ketakutan di bawah tubuhnya sebentar lalu mencium lagi, ia mencium dimana-mana mata, hidung, pelipis, kening dan bibir, semua. Yuma berusaha menutup mulutnya rapat-rapat namun ia kalah, kalah dengan sentuhan Vano do atas tubuhnya, sesuatu yang terasa sangat asing. Ini pertama kalinya seorang laki-laki menciumnya. Yuna pasrah ia janji tidak akan memaafkan Vano setelah ini.
"Maaf, dan bantu aku. Aku akan bertanggung jawab." bisik Vano di tengah kondisi otaknya yang sekarang sulit di ajak berpikir jernih. Vano melempar handuknya sembarangan.
Yuna menangis keras saat ada benda asing memasuki tubuhnya, ia mencakar punggung Vano dan menggigit bahu pria itu dengan keras berharap Vano akan melepaskannya. "Berhenti! aku mohon, jangan lakukan ini padaku Tuan. Aku mohon." Yuna mengiba, Vano juga sama frustasi nya.
"Maaf Yuna, a-aku tidak bisa, aku juga sakit!" dalam sekali dorongan Vano berhasil menembus penghalang itu ia merasa lega sekali. "Sakit!"
"Maaf."
Vano juga tidak tau, ia hanya mengikuti naluri nya saja, ia mencium Yuna agar busa mengalihkan perhatian wanita itu dari rasa sakit yang mendera nya.
"Jangan menangis, aku minta maaf," lirih Yuna dengan geraman tertahan. "Aku membencimu! Vano!"
"Aku membencimu!"Vano tidak mendengarkan, ia fokus pada bagian bawahnya. Setelah yakin tubuh Yuna bisa menerima nya Vano mulai bergerak memuaskan dirinya sendiri, ia berusaha lembut di tengah dorongan melakukan nya dengan kasar. Yuna terus menangis, ia tidak menyangka malam ini akan jadi malam yang sangat mengerikan, dimana sesuatu yang ia jaga dan akan ia persembahkan untuk suaminya kelak direnggut paksa oleh atasannya sendiri, orang yang ia benci. Stevano Anggara!
Nafas mereka memburu, Vano masih saja mencari-cari kepuasan di atas tubuhnya mungil di bawahnya yang sudah lemas dan begitu sampai ia berhenti. Vano ambruk di atas tubuh Yuna namun tetap menyangga dengan kedua sikunya agar tak memberatkan wanita mungil di bawahnya.
"Kau! jahat!" maki Yuna dengan suara bergetar karena tangis. Vano menciumi leher Yuna dan menggumamkan kata maaf untuk yang entah berapa kalinya malam ini. Setelahnya pria itu tidur tanpa rasa bersalah. Yuna meringkuk di pojok ranjang memeluk tubuhnya sendiri yang rasanya sangat kotor sekarang.
"Hiks.. aku kotor."
Dengan langkah terseret karna sakit di pangkal pahanya ia bangkit menuju kamar mandi. Yuna menggosok seluruh tubuhnya dengan kasar berharap menghilangkan jejak Vano di atas tubuhnya. Ia menangis, meraung di dalam kamar mandi menyesali kenapa ia mau datang menemani pria itu datang ke acara pernikahan. Jika ia menolak pasti tidak akan mengalami hal ini!
"Hiks... sekarang bagaimana caranya melanjutkan hidup? siapa pria yang mau menerima ku? Hiks, kenapa Tuhan?"
"Aarghhh!" Yuna keluar dari kamar mandi dengan tubuh menggigil kedinginan, gadis yang malam ini resmi menjadi wanita seutuhnya itu lekas memunguti pakaian nya dan pergi dari hotel malam itu juga. Ia tidak bisa menunggu sampai pagi menjelang, ia akan mengadukan Vano pada Tuan Wira, ah! pada ayahnya biar pria itu di hukum! "Hiks! kau jahat! jahat!"
Sepanjang menyetir Yuna terus menangis. Jalanan malam yang sepi tidak membuat wanita yang biasanya selalu rapih itu takut, Yuna kecewa. Harusnya pria itu tidak melakukannya! harusnya ia bisa bertemu pria yang tepat, pria yang mencintainya dan memiliki sikap seperti ayahnya, bukan malah kebalikannya!
Kenapa takdir hidup seolah mempermainkannya? dirinya yang selama ini selalu menjaga diri dengan baik, kenapa Tuhan tidak menjaga nya juga? kenapa?
"Apa salahku Tuhan?" Yuna memberhentikan mobilnya di jalan yang sepi, menangis sepuasnya sampai lelah. Ia terbangun karena seorang petugas yang membangunkan dirinya karena kelakuannya membuat jalanan yang tadinya lancar menjadi macet.
"Ayo ikut kami ke kantor ..."
"Tapi Pak!"
"Surat tilangnya, cepat!" Yuna mengumpat dalam hatinya karena sekarang ia pun kena tilang polisi, Stevano adalah bencana di hidupnya!
Aarggh!
"Hei nyonya cepatlah! Aku juga sibuk! tidak hanya mengurusimu!" ujar polisi dengan kumis tebal dan perut buncitnya pada Yuna.
"Nyonya? kau bilang aku Nyonya?" Yuna tidak terima, ia terlibat keributan dan berakhir di tahan lebih lama di kantor. Gadis itu sangat kacau sekarang.
***
Vano membuka matanya, yang pertama kali di rasakan adalah kepalanya yang rasanya seperti di hantam Palu godam, sangat sakit. Riana benar-benar keterlaluan membuat nya begini. Vano menoleh ke samping.
"Dimana perempuan itu?" Vano sadar semalam sudah melakukan kesalahan.
"Aargghh! bagaimana bisa aku meniduri Yuna! Om Adnan pasti akan membunuhku sekarang!" Pria itu bangkit dari ranjang meraih celana nya dan memakainya.
Vano membuka selimut dengan jantung berdebar tak karuan, pemuda itu ambruk ke lantai melihat noda darah yang ada di tengah-tengah ranjang.
"Jadi aku benar meniduri perempuan itu? bukan mimpi? Aargghh! Bangsat!" Vano mengamuk sejadinya menendang apapun yang ada di kamar hotel mewah itu sampai berantakan.
"Yuna kau dimana?" Vano tersadar ia ada di kamar Yuna namun dimana wanita itu? Apa jangan-jangan?
Vano tidK siap, jangan sampai wanita itu mengadu lebih dulu, ia mau ia yang mengatakan nya sendiri. Vano tak bisa membayangkan raut kecewa ayahnya.
"Aku merasa ajalku makin dekat." Vano bergidik ngeri, bagaimana jika Ayahnya mengamuk? apa ia akan mati hari ini?
Vano bergegas kembali ke kamarnya, ia membuka kunci dan nampak Riana adiknya yang masih ada di posisi semalam. Wanita itu sepertinya tidak tidur kelihatan dari kantung matanya yang menghitam.
"Puas kamu dek!" sentak Vano pada gadis yang kini hanya bisa menundukkan kepala.
"Apa salah kakak sama kamu? Apa kakak pernah nyakitin kamu,?" Riana masih diam, gadis itu mengeluarkan air matanya, menangis. Biasanya itu selalu berhasil membuat Vano memaafkannya tapi sepertinya kali ini tidak.
"Aku menyesal menyanyangimu sebagai adik Riana! kau keterlaluan! pergi dari hadapanku!" hardik Vano dengan suara bass nya!
"Kak..."
"Berhenti! jangan panggil aku kakak lagi ! Aku bukan kakakmu!"
"Maaf kak... hiks, aku khilaf!"
Khilaf!
Khilaf katanya!
Vano membalikkan tubuhnya, meski marah ia masih tidak tega pada Riana, apalagi ia sudah sangat menyanyangi gadis itu selama ini, tapi ini balasan yang ia dapatkan.
"Kak... ampun kak, aku ngelakuin itu karena cinta sama kakak... hiks maafin aku." Riana memohon sampai memeluk kaki panjang Vano namun Vano tetap diam.
"Kak.."
"Pergi! sebelum aku berbuat kasar!"
"Nggak kakak, maafin aku!"
"Pergi aku bilang!"
Riana makin kejer menangis, gadis itu menutup mulutnya tak percaya. Kakak yang selama ini selalu lemah lembut padanya hari ini membentaknya dengan begitu keras.
"Kakak."
"Pergi kau gadis sial!"
Jleb.
Riana bangkit dan pergi membanting pintu kamar dengan keras, ia berpapasan dengan Stevani, gadis manis itu bingung karena bangun tidur tidak ada Riana di sampingnya.
"Na, kaku kemana aja semalaman? aku khawatir tau!" Riana hanya menutup mulutnya dan terus menangis, Vani menggaruk rambutnya tak mengerti.
"Na, kenapa? siapa yang nyakitin kamu?"
"Pulang."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...