Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 2~ Kenapa Harus Dia
Perfect. Benar-benar lengkap masalah yang Dara rasakan hari ini. Dengan kesibukan kerjanya, ditambah penghianatan kekasih dan adik tirinya, sekarang dia harus berada di tengah kemacetan kota Jakarta.
Tiinn.
Gadis itu menekan klakson panjang karena motor yang baru saja menyalip di depan. Beruntung ia sigap dengan menginjak rem kalau tidak sudah pasti tertabrak, ujung-ujungnya ia akan tertahan di tempat itu dan walaupun si motor yang terbukti salah dengan menyalip, ia juga harus memperbaiki mobilnya.
“Bagus,” gumam Dara menatap lampu lalu lintas menunjukan ia harus berhenti.
Saat ini menunjukkan pukul lima sore, waktu sibuk jam pulang kerja. Sambil memijat pelan dahinya yang terasa nyeri. Bukan hanya adegan tadi yang menjadi beban pikirannya sekarang, ia harus mengingat terus kejadian itu ketika bertemu Citra dan besok … ia harus datang sendiri. Padahal bunda sudah senang waktu dirinya mengatakan akan datang bersama kekasih. Umurnya sudah dua puluh delapan dan bunda selalu mengingatkan kalau ia sudah pantas untuk menikah dan berkeluarga.
Dunia begitu kejam. Tiga kata itu yang muncul di benaknya. Seakan mendukung apa yang sedang ia rasakan dan Dara tidak ingin menangis meratapi nasibnya saat ini. Ia berteriak kencang dalam mobilnya yang berhenti karena terjebak macet.
“Aku tidak pantas untuk Harsa, dia memang cocok dengan Citra. Sama-sama murahan.”
Pertemuan dengan keluarga calon suami bunda, Citra kemungkinan akan membawa Harsa. Ia harus mempersiapkan hatinya untuk tegar. Menunjukan kesedihan hanya membuat pasangan itu tertawa diatas penderitaannya.
Namun, dibalik kenyataan yang ia rasakan saat ini. Ada rasa syukur karena selama berhubungan dengan Harsa, Dara masih bisa menjaga diri dan kehormatannya atau karena alasan itu yang membuat Harsa memilih berkhianat. Harsa adalah pria dewasa dan normal, umurnya sudah tiga puluh tiga tahun. Tidak sekali dua kali pria itu menuntut lebih dari hubungan mereka, dengan janji mereka akan berakhir di pelaminan.
Entah bagaimana hancurnya Dara saat ini, jika saat itu kalah dengan bujuk rayu playboy cap obat nyamuk. Terdengar dering ponsel. Dara menoleh ke samping, tasnya ada di atas kursi di samping kemudi. Tetap saat berhenti karena lampu lalu lintas. Ternyata panggilan dari Harsa dan direspon dengan decakan. Blokir kontak adalah solusi terbaik, Dara juga menghapus semua foto bersama pria itu yang tersimpan di galeri ponselnya dan ia menyadari kalau selama ini jarang mengabadikan kebersamaan bersama pria itu.
“Elo, gue, End.”
***
“Iya, Bun,” sapa Dara saat menjawab telepon lalu menguap, bahkan matanya kembali terpejam.
“Jangan lupa, kita ada pertemuan sambil makan siang. Jangan buat bunda malu, besok kami akan menikah tapi kamu belum pernah bertemu dengan calon suami Bunda dan keluarganya.”
“Iya,” sahut Dara lagi. Teringat kejadian kemarin, gadis itu langsung membuka matanya. “Citra, apa dia ikut hadir?”
“Tentu saja, dia sudah menjadi keluarga kita dan jangan berulah apalagi menunjukan kalau kalian tidak akur.”
Dara terkekeh, entah Bunda akan membela siapa kalau ia cerita kejadian kemarin. Citra dan Harsa yang begitu … memuakkan.
“Oh iya, pacar kamu jadi datang?”
“Tidak Bun, kami sudah putus.”
“Hah, kamu ini gimana Dara. Gimana kalian bisa ke jenjang pernikahan kalau pacaran tidak pernah serius. Ingat umur, Dara.”
“Bun, setiap pacaran aku selalu serius. Memang belum jodoh saja dan untuk yang ini aku bersyukur walaupun sempat kecewa karena dia hanya lelaki bangs4t, pencundang dan … sudahlah.” Selama ini ia baru tiga kali berpacaran. Saat di SMA, mungkin hanya cinta monyet. Saat kuliah dan dengan Harsa.
Terdengar decakan di ujung sana. “Ingat, jangan terlambat dan jangan buat Bunda malu.”
“Masih subuh Bun, nggak mungkin aku terlambat.”
“Subuh dari mana, ini sudah jam sepuluh, Daraaaa!”
Dara berdecak pelan dan menjauhkan ponsel dari telinganya karena teriakan dari ujung sana. “Iya bu, iya. Bye.”
Wajar saja kalau hari ini ia kesiangan. Semalam ia curhat dengan Vio, sahabat dan rekan kerjanya entah sampai jam berapa. Meski hanya lewat telpon, tapi Dara seakan meluapkan kekesalannya. Ia berteriak, mengumpat dan menangis. Semua itu didengarkan oleh Vio dengan sabar.
Termasuk pertemuan hari ini, Vio juga tahu dan sudah ada pesan masuk dari wanita itu yang menyarankan agar Dara datang dengan penampilan tidak mengecewakan. Harus terlihat cantik, kalau perlu gunakan jasa MUA untuk make over.
“Vio, apaan sih. Aku dibandingkan dengan Citra, ya jelas cantikan aku ke mana-mana dong,” ucap Dara bangga dan pongah.
Hampir pukul dua belas saat Dara mematut dirinya di cermin, memastikan dress dan polesan make up juga tatanan rambutnya sudah … sempurna.
“Oke, cukup. Mau diapain juga, tetap cantik,” gumam Dara lalu terkekeh. Memakai heels dan meraih tas juga kunci mobil agak tergesa, khawatir ia terlambat.
Tidak sampai dua puluh menit mobilnya sudah terparkir rapi di sebuah restoran mewah. Melirik jam tangan, masih ada sepuluh menit sebelum pertemuan membuatnya menghela lega. Ternyata pertemuan diadakan di private room, setelah menanyakan pada bagian informasi Dara diantar ke ruangan.
Sudah ada Bunda dan Citra di sana, juga seorang pria paruh baya.
“Sayang, kamu datang,” ujar Bunda yang berdiri menyambutnya. Mau tidak mau ia tersenyum, lalu mencium pipi wanita itu.
“Aku tidak telat, ‘kan?”
“Hm. Mas Surya, kenalkan ini putri sulungku. Dara, dia bekerja di Grand Season hotel,” ungkap Bunda mengenalkan Dara pada pria itu.
“Siang Om, aku Dara,” sapanya lalu mencium tangan pria itu, tanda ia menghormatinya.
“Siang Dara. Setelah ini kamu jangan panggil Om lagi, tapi Papa.”
Dara hanya tersenyum tipis dan mengangguk, sempat melirik Citra yang menatapnya sinis. Kemala memintanya duduk. Seharusnya Dara duduk disamping Kemala, tapi Citra sudah menempatinya dan tidak ingin bergeser padahal Kemala sudah memberi perintah dengan kedipan mata.
“Aku di sana saja, Bu,” ujar Dara tidak ingin membuat kesan tidak baik dengan langsung berperang dengan Citra, meskipun dengan senang hati ia ingin melakukannya.
Meja makan itu berbentuk persegi panjang bisa digunakan untuk banyak orang, dengan Kemala di ujung sisi kiri dan Surya duduk berhadapan dengan kemala. Citra berada di tengah antara kemala dan Dara.
Terdengar ketukan pintu.
“Sepertinya itu putraku,” ujar Surya.
Karena posisi duduk Dara membelakangi pintu masuk, ia harus menunggu putra Surya sampai ke hadapannya.
“Selamat Siang, maaf saya terlambat.”
Tunggu, suaranya seperti aku kenal.
“Tidak apa, kita belum mulai. Oh iya, kenalkan putri sulung tante, namanya Dara," tutur Bunda. Pria itu berjalan dan berdiri tepat di samping Surya duduk menatap ke arah Dara.
Deg.
Bukan hanya Dara saja yang terkejut, tapi juga Harsa.
Aku kira dunia sesempit daun kelor hanya sebuah istilah, tapi kenyataannya memang begitu. Dari dua ratus tujuh puluh lima juta penduduk negara ini, kenapa harus Harsa yang menjadi putra pria itu.
bener 2 meresahkanb dara fdan pandu
terbucin bucinlah kamu..
pegalan katacdisetiap kalimatmya teratur dan ini udah penulis profeaional banget , aku suka npvel seperti ini simple yo the point dan tak bertele tele..aku suka🥰🥰💪