Bagaimana jadinya jika seorang siswa SMA yang hidup sebatang kara mendapatkan anugrah sebuah Sistem Spin Kekayaan dan Kekuatan oleh seorang pengemis yang ternyata adalah seorang Dewa?.
Rendi Murdianto, seorang anak laki-laki yang hidup sebatang kara, orang tuanya meninggalkan dirinya ketika masih kecil bersama neneknya.
Hidup Rendi sangatlah miskin, untung saja biaya sekolah di gratiskan oleh pemerintah, meskipun masih ada kebutuhan lain yang harus dia penuhi, setidaknya dia tidak perlu membayar biaya sekolah.
Seragam sekolah Rendi pemberian tetangganya, sepatu, dan perlengkapan lainnya juga di berikan oleh orang-orang yang kasihan padanya. Bahkan Rendi mau saja mengambil buku bekas yang kertas kosongnya hanya tinggal beberapa lembar.
Kehidupan Rendi jauh dari kata layak, Neneknya mencoba menghidupi dia semampunya. Namun, ketika Rendi duduk di bangku SMP, Neneknya harus di panggil sang pencipta, sehingga Rendi mulai menjalankan hidupnya seorang diri.
Hidup tanpa keluarga tentu mem
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alveandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengusaha Brebes
Rendi berboncengan dengan Novi kembali ke kontrakannya, terlihat gadis itu memeluk erat dari belakang, ia seolah tidak ingin melepaskan Rendi.
Rendi merasakan kegelisahan Novi, ia memegang tangan Novi menggunakan tangan kirinya.
"Ren, lain kali jangan buat aku khawatir," ucap Novi sambil sambil menempelkan kepalanya di punggung Rendi.
"Hais, kamu ini terlalu berpikiran jauh, aku bisa menjaga diriku sendiri, percayalah padaku," jawab Rendi sambil mengusap lengan gadisnya itu.
Novi tidak menjawab, ia hanya semakin mengeratkan pelukannya pada pria yang sudah di anggap sebagai tujuan hidupnya itu.
Tiit ... Tiit ....
Harisman dari belakang membunyikan klakson beberapa kali, sehingga membuat Rendi dan Novi terkejut.
"Bos! Naik motor kaya keong, aku yang ngikutin dari belakang capek! Kalau mau pacaran di kontrakan nanti!" tegur Harisman dongkol.
Bagaimana ia tidak jengkel, sepanjang jalan mereka berdua terus bermesraan, sementara Harisman juga manusia, ia memiliki rasa juga, sehingga membuatnya berani menegur bosnya itu.
Rendi dan Novi tersenyum kecut, ia pun langsung menambah kecepatan motornya, karena sadar telah membuat bawahannya marah.
...***...
Mereka bertiga sampai di kontrakan, Rendi di kejutkan saat melihat Sulis sudah menunggu di depan kontrakannya sendirian.
"Kalian habis kemana sih?!" tegur Sulis dengan wajah cemberut.
"Habis jalan-jalan dong," jawab Novi dengan bangga.
"Kamu curang, seharusnya bilang padaku dong!" ucap Sulis marah.
"Lah, emangnya kamu Ibu ku? Masa mau pergi saja harus bilang padamu." jawab Novi sambil menyeringai.
"Sudah-sudah, kalian ini kenapa sih? Baru juga ketemu sudah bertengkar, kaya kucing sama tikus saja." Rendi melerai keduanya sambil membuka kunci kontrakan.
Sulis dan Novi saling menatap tajam, mereka berdua kemudian berebut masuk ke dalam kontrakan Rendi terlebih dahulu.
Harisman yang melihat itu hanya tersenyum getir, ia merasa dirinya sangat rendah melihat Rendi yang di perebutkan dua gadis cantik sekaligus.
Harisman masuk kontrakan Rendi dengan langkah gontai, ia hanya bisa meratapi nasibnya sebagai seorang yang tidak bisa memiliki kemampuan seperti Rendi.
...***...
Sementara itu di kantor polisi, pemimpin pelajar yang membuat kerusuhan di depan kedai mang Ujang dengan kelompok pelajar lainnya, ia sudah siuman dan sedang duduk di hadapan polisi bersama dengan seorang pria paruh baya, yang merupakan Ayahnya.
"Pak Seno, maaf saya terpaksa menangkap anak bapak, di sana soalnya banyak warga yang menghakimi mereka, jika kami terlambat saja, tidak tahu nasib anak bapak di sana seperti apa, di tambah dia juga sudah pingsan." ucap Polisi menjelaskan dengan sopan.
"Ya aku tahu, dia memang selalu bertindak gegabah, terimakasih sudah membawa anakku dengan selamat," ucap Seno sambil mengulurkan tangannya bersama amplop coklat.
Polisi tersenyum lebar, ia menjabat tangan Seno dengan berbunga, karena tahu pasti di dalam amplop itu isinya pasti banyak.
"Sama-sama Pak Seno, saya hanya menjalankan tugas." jawab Polisi itu sopan.
"Ya sudah, kami permisi dulu." Seno membawa anaknya keluar dari kantor polisi.
Polisi itu tentu mengijinkannya, ia juga mengantarnya sampai di depan kantornya, terlihat ia sangat ramah dan sopan.
Seno dan anaknya masuk ke dalam mobil, saat di dalam mobil, ekspresi Seno berubah menjadi dingin.
"Jalan!" perintahnya pada sopir pribadinya.
Sopir menganggukkan kepala dan langsung menginjak pedal gas, mobilpun meninggalkan kantor polisi dengan cepat.
"Reno! Apa kamu akan terus membuat ayahmu ini malu? Terus membuat masalah tanpa memikirkan akibatnya!" bentak Seno pada anaknya itu.
"Ckk, sudahlah Ayah, hanya masalah kecil tidak perlu di besar-besarkan, lagi pula ini semua kesalahan si brengsek itu! Jika dia tidak ikut campur, mana ada warga yang melerai kami!" Reno malah menyalahkan Rendi.
"Kamu ini malah menyalahkan orang lain! Ayah bingung entah kamu bisa memegang perusahaan Ayah atau tidak." Seno menghela napas berat.
Reno tidak menjawab perkataan Ayahnya, fokusnya hanya mengingat-ingat wajah Rendi, menurutnya ini semua gara-gara Rendi, sehingga membuat dia di tangkap Polisi.
Reno Sahid, ia anak dari Seno Sahid, Ayahnya merupakan pengusaha sukses di kota Brebes, bisnisnya yang mengelola perkebunan kota Brebes sangatlah berkembang dengan pesat, hampir seluruh warga kota Brebes mengenal sosok Seno Sahid.
Luas perkebunan Seno mencapai ratusan hektar, buruh taninya saja sangatlah banyak, walaupun Seno membayar buruh taninya di bawah standar, tapi masih banyak peminat, pasalnya tidak ada kerjaan lain buat para buruh tani selain bekerja untuk pengusaha tersebut.
Mayoritas warga Brebes memang bekerja sebagai petani, jadi sangat wajar kalau mereka tidak peduli kalau bayaran yang di terima tidak sesuai standar, bagi mereka bisa menghasilkan uang dengan lancar saja sudah cukup, yang penting keluarga mereka bisa makan untuk sehari-hari.