"Assalamualaikum, boleh nggak Alice masuk ke hati Om dokter?" Alice Rain menyengir.
Penari ice skating menyukai dokter yang juga dipanggil dengan sebutan Ustadz. Fakhri Ramadhan harus selalu menghela napas saat berdiri bersisian dengan gadis tengil itu.
Rupanya, menikahi seorang ustadz, dosen, sekaligus dokter yang sangat tampan tidak sama gambarannya dengan apa yang Alice bayangkan sebelumnya.
Happy reading 💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Fachry
Meski berangkat bersama Alice dan Fachry saling diam. Yah, mereka hanya saling sahut dahaman saat tenggorokan mulai kering.
Fachry juga sempat menawarkan minuman ketika Alice berdehem. Dan, Alice masih tak mau menoleh pada suaminya.
Fachry tak apa Alice merasa benar sendiri, tapi tak perlu pasang paha. Berulang kali ia menarik rok istrinya, Alice justru membuka hingga ke pangkal pahanya.
"Kamu mau aku paksa di jalan?" Alice diam tak menyahutinya. "Berpelukan dengan yang bukan mahram itu, diharamkan!" tuturnya.
Akhirnya Fachry menegur. Alice diam, sungguh, ia masih kesal. Kemarin, menjadi hari yang paling menakutkan baginya, dan sedetikpun Fachry tak ada untuknya.
Alice tak mau berdebat panjang lebar, ia keluar sendiri setelah sampai di parkiran fakultasnya. Cukup banyak yang melihat mereka, termasuk Cinta dan Michael.
Seharusnya, semua orang sudah tahu jika Alice dan Fachry sudah memiliki hubungan spesial walau masih belum paham status pernikahan keduanya.
"Lice!" Dewi langsung menyambut Alice dengan raut cemas. "Lo udah nggak apa- apa?"
"Nggak." Alice terlihat menghela napas, hal yang membuat Fachry bingung. Sebenarnya ada apa dengan Alice hingga Dewi se-cemas ini.
Fachry turun dari mobil, mengikuti langkah kaki Alice yang kian cepat. "Kamu nggak apa- apa kan, Lice?" Hampir semua orang yang berpapasan dengan Alice menanyakan itu.
Ada yang Fachry tak tahu, .... Tetapi apa? Bukankah kemarin Alice viral karena video berpelukan dengan Michael?
Fachry mendatangi ruang dosen, di sisi meja kerja sudah ada satu rekan, yang juga mengisi mata kuliah di fakultas tersebut.
Fachry terbilang dosen yang paling muda jika dilihat dari masa jabatannya. Awalnya Fachry hanya iseng mengajar di sini setelah Almira memutuskan dirinya tiga tahun yang lalu.
"Assalamualaikum, Dok!" sapa Boris, meski non muslim dia dan Fachry terbiasa saling bertegur sapa dengan kalimat itu.
"Wa'alaikumusalam." Fachry duduk dengan lesu. Kurang tidur, pikiran rancu, membuat Fachry tak bisa mengeluarkan wajah ceria sama sekali.
"Kacau!" Seseorang yang baru saja datang meracau, sukses meraih atensi Fachry dan Boris di sisinya.
"Hebat! ... Hanya karena cantik dan anak dari salah satu donatur di universitas ini, anak itu diperbolehkan masuk kedokteran!"
"Siapa lagi?" Boris menegur. Ben memang salah satu dosen yang sering mengeluhkan kondisi tidak adil di universitas ini.
"Anak Tuan Sky Rain, siapa lagi?!" sarkasnya, bahkan dengan nada mencibir.
Sontak, Fachry tertarik untuk menoleh. Alice istrinya yang sedang dibicarakan. "Ada apa memangnya, Prof?"
Ben berdecak sambil duduk. "Kemarin dia merusak Cadaver kita!" bebernya.
"Astaghfirullah!" Fachry baru tahu, karena seharian kemarin dia sibuk. Sebelumnya Alice bahkan mengeluh soal Cadaver [Mayat].
"Bagaimana bisa?"
Fachry tak suka jika ada mahasiswa kedokteran yang tidak menghargai Cadaver, mayat juga berhak mendapat penghormatan, apa lagi mereka sudah rela menyumbangkan tubuh untuk kebutuhan belajar.
Ben tertawa samar. "Dokter tahu? ... Di ruang praktik kemarin, dia menjatuhkan Cadaver kita, dan hari ini, aku harus ditegur Rektor!"
Fachry menghela napas. Bagaimana proses menjatuhkannya? Apakah Alice tidak sengaja atau memang tidak dianggap penting?
Fachry perlu tahu, makanya Fachry bangkit dan keluar dari ruangannya. Dia perlu bicara dengan istrinya sekarang juga.
Namun, pada saat tiba di kelas Alice, rupanya hanya ada Dewi yang asyik membetulkan dandanannya. "Alice kemana?" tanyanya.
Dewi sempat terpaku sebab bingung. Bahkan, lipstik di bibirnya tidak merata. "Pergi sama Michael, Dok!" Akhirnya dia berani bicara.
"Michael?" Benar kan? Dewi bilang juga apa! Fachry pasti murka, bisa terlihat jelas dari cara Fachry pergi tanpa salam atau permisi.
...🎬🎬🎬...
🎬🎬🎬
^^^🎬🎬🎬^^^
Alice duduk bersandar di kursi penumpang sebuah mobil sport merah menyala, hari ini Michael mengajaknya ke mall, membeli kado ulang tahun untuk ibundanya.
Awalnya Alice menolak, tapi Michael bilang dia butuh saran. Michael tak memiliki pacar maka akan lebih baik meminta saran Alice.
Lagi pula, Alice berhutang budi. Kemarin saat praktikum, ada yang sengaja mendorong tubuhnya ke arah Cadaver sebelum mengunci dirinya di ruangan itu seorang diri.
Alice berteriak, bahkan sempat menjatuhkan jenazah kecoklatan itu ke lantai. Padahal, dia sama sekali tak berniat melakukan hal itu.
Alice hanya sontak. Dia takut bahkan tak tahan saat mengendus aroma tak sedap Cadaver yang sudah diperkirakan memiliki usia sepuluh tahun setelah kematiannya.
Alice bersyukur, Michael mendengar tangisannya. Lalu, menolongnya di saat Fachry sang suami tak ada di sisinya.
Sekarang apa? Belum juga jauh dari kampus, Fachry sudah menelepon. Tentu saja, Alice tak tunggu lama untuk mengangkat.
📞 "Kamu di mana?" Fachry bahkan tidak beri salam, langsung mencecar pertanyaan yang terdengar ketus.
"Di mobil."
📞 "Sama Michael?" sergah Fachry.
"Iya," lirih Alice.
Sedikit tak nyaman dengan Michael yang kini menyetir di sisinya. Terlebih, Fachry langsung menutup panggilan tanpa mengatakan apa pun apa lagi sekedar salam.
"Tenang, Lice." Michael berkata. "Suami ustadz Lo pasti cemburu, dan sebentar lagi, dia mau mengakui Lo di depan banyak orang."
Kemarin, Alice cerita juga tentang Fachry kepada Michael. Makanya Michael tahu apa yang menjadi keluhannya dua hari ini.
"Tapi, Gue merasa bersalah juga."
Alice tak tega jika Fachry cemburu. Dia saja murka saat Fachry bersama wanita lain, dan kini ia berjalan santai dengan Michael.
"BTW," ucap Alice kemudian. "Terima kasih, kemarin Lo bantu Gue buat keluar dari ruang Cadaver yang menakutkan."
"Lo, masih mau lanjut?" tanya Michael.
"Nggak tahu, Gue belum ngomong sama Ustadz Fachry soal ini. Tapi mungkin, dia akan kasih saran pindah fakultas."
Michael terkekeh meragu. "Lo yakin, ustadz Lo peduli, hm?"
"Yakin lah," sela Alice, tertawa. "Fachry itu, meskipun cuek di luar, tapi hangat di dalam, semalam ajah, dia nyusul Gue ke rumah."
Michael tertawa, lalu meraih sesuatu dari box pendingin di mobilnya. Sekaleng minuman manis diulurkan pada Alice. "Buat Lo."
"Terima kasih."
Alice tersenyum, lalu meminum minuman pemberian Michael. Ah, ... rasanya segar, sejenak Alice ingin lupakan mata kuliah yang sering membuatnya ketakutan.
Segar, hingga tanpa sadar perjalanan membuat mata Alice kantuk. Alice pun tak tahu, sudah sampai mana mereka, hingga dirinya kembali terkejut setelah sentuhan terasa di lehernya.
"Michael!"
Alice membelalak karena lelaki yang dia kira hanya teman, kini merangsek untuk mencium bibirnya. Bukan mall, tapi suasana angin pantai menjadi background mobil mereka.
Sedang meluncur bab berikutnya...