"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Farah
Setelah pulang sekolah, Ryan melangkah ke belakang sekolah, napasnya berat, mata berkilat dingin, hampir tanpa emosi. Angin sore berdesir, mengguncang ranting-ranting pohon di sekitar.
whoosh
Di sana, Farah berdiri, tampak sedang menunggu. Saat melihat Ryan mendekat dengan langkah pasti, alisnya berkerut, ekspresi di wajahnya berubah. Namun dia tidak bergeming, tatapannya terfokus, seolah tak ada yang akan mengejutkannya.
Ryan menghentikan langkah tepat di depannya, aura di sekitarnya seakan berubah, lebih pekat, lebih menekan.
“Kau yang mulai semua ini, kan?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat udara di sekitarnya terasa berat.
Farah menatapnya tanpa gentar, matanya menyiratkan kilat amarah yang tak ia tunjukkan dengan kata-kata. Dia menyilangkan tangan di dada, memutar mata sedikit.
“Jelas sekali bukan aku, Ryan. Apa yang kau harapkan dengan datang begini?”
Ryan mendengus pelan, matanya memicing, cahaya putih samar mulai muncul di irisnya. Semua tampak melambat di pandangannya, suara sekitar perlahan meredup, menyisakan hanya dirinya dan Farah. Detak jantungnya menjadi lebih lambat, tetapi berat.
Deg
Deg
“Berhenti pura-pura tidak tahu, Farah,” nada suaranya tak berubah, dingin, nyaris tak berperasaan. “Kau satu-satunya yang suka bicara ke sana-sini. Siapa lagi kalau bukan kau?”
Farah mengangkat alis, bibirnya menyunggingkan senyum miring. “Itu saja alasanmu? Hanya karena aku berbicara? Ini lelucon,” jawabnya tanpa menurunkan pandangan.
Ryan semakin mendekat, menatapnya dengan tatapan mematikan. Aura putih yang semakin jelas di matanya berpendar samar, mengunci Farah dalam suasana tegang yang tak terelakkan.
Farah tak menunjukkan rasa takut, meskipun tekanan dari Ryan mulai terasa. "Kau datang dengan energi seperti ini hanya untuk tuduhan murahan?" ejeknya. “Tak kusangka kau seputus asa itu.”
Ryan mengepalkan tangannya, urat di lehernya menegang. “Kau benar-benar ingin tahu seputus asa apa aku?” ucapnya dengan suara parau. Tanpa menunggu jawaban, dia mengangkat satu tangannya, lalu mengarahkan telunjuk ke arah Farah, seolah memaksa jawaban keluar dari mulutnya.
“Kalau aku ingin tahu, aku bisa mengambilnya langsung dari pikiranmu,” bisiknya dengan nada rendah yang penuh ancaman.
Farah menegang, tapi raut wajahnya tidak berubah. “Lakukan kalau kau mampu, Ryan,” jawabnya datar, meskipun di ujung bibirnya muncul senyum sinis. “Tapi itu hanya menunjukkan kau lemah. Kau tidak sanggup mengendalikan pikiranmu sendiri, apalagi pikiranku.”
Ryan terdiam sesaat, dadanya naik turun. Matanya yang berpendar putih tetap mengunci Farah, dan dia mengambil satu langkah lagi ke arahnya. Kedua mereka kini hanya terpisahkan jarak napas, udara di sekitar terasa semakin berat, nyaris tak bisa dihirup.
“Jadi kau memang keras kepala,” gumam Ryan, suaranya seperti gunung es yang pecah perlahan. “Lihat siapa yang akan bertahan lama dalam permainan ini.”
Farah menatapnya, tak mundur sedikit pun. “Pergilah, Ryan. Kau tahu kau takkan dapatkan apa-apa dariku,” katanya, nada suaranya berubah tajam. “Gunakan amarahmu untuk hal yang lebih berharga, atau kau akan membusuk dalam ilusi yang kau ciptakan sendiri.”
Tanpa berkata lagi, Ryan memutar tubuhnya dan melangkah menjauh, setiap langkahnya terdengar berat.
Tap
Tap
Saat dia beranjak, perasaan getir dan amarah masih tersisa di hatinya. Langit di atas semakin kelabu, seolah mencerminkan suasana hatinya yang tak kunjung reda.
...----------------...
Di kamar kos yang sumpek dan dingin, dinding hijau kusam sudah retak-retak, menyerah pada waktu dan keadaan. Dua sosok duduk di sana, tubuh mereka penuh luka. Yang satu sibuk merawat yang lain, tanpa kata, hanya deru napas dan Rasa sakit yang tersisa di udara pengap.
Mereka adalah Andree dan Senna.
Senna menekan jarinya pada luka di lengan Andre, mengoleskan salep seadanya dengan kasar. Luka-luka itu dalam, darahnya mengering di tepi kulit yang sobek, menyisakan nyeri yang tak tertahankan.
Ahh!
Andre menggeram pelan, menahan rasa sakit yang menyengat. Matanya masih menyipit menatap langit-langit yang kosong, tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa Rei bisa menghancurkan mereka begitu saja.
"Kita hampir tidak keluar dari sana hidup-hidup," suara Senna terdengar berat. Tekanan dari benturan-benturan yang tadi mereka alami membuat tubuhnya seperti dihantam balok baja. Tapi, bukan hanya fisiknya yang terluka, harga dirinya juga terkoyak. "Rei... dia lebih dari sekadar rumor yang beredar."
Andre menghela napas panjang, mencoba mengusir nyeri dari tubuhnya. "Dia bukan hanya pewaris biasa, Senna. Apa kau lupa siapa dia sebenarnya?"
Senna terdiam sejenak, mengingat kisah-kisah yang selama ini terdengar samar. "Klan kita sudah lama tak melihat penerus seperti itu. Tapi tetap saja, kekuatannya... itu melampaui apa pun yang pernah kita dengar."
Andre menggigit bibir, kepalan tangannya bergetar. "Fokus biru. Itulah yang membuatnya berbeda. Legenda itu bukan hanya bohongan."
Senna melirik Andre, tidak sepenuhnya percaya. "Fokus biru... begitu saja bisa mengalahkan kita?"
“Bukan hanya itu,” bisik Andre. “Fokus biru adalah energi yang terpendam dalam darah klan kita. Sumber kekuatan yang tersembunyi. Hanya yang terpilih yang bisa membangkitkannya, dan hanya satu dari sejuta yang bisa mengendalikannya.”
Senna mencengkeram lengan Andre lebih kuat, sorot matanya semakin dingin. "Kalau begitu, kita harus menemukan cara mengalahkannya."
Andre tersenyum getir. "Itu bukan tugas yang mudah, Senna. Rei bukan hanya pewaris, dia adalah simbol dari kekuatan yang sudah lama kita tinggalkan. Jika benar dia pewaris sah, kita menghadapi lebih dari sekadar kekuatan seorang manusia."
Senna merenung dalam-dalam. "Kalau kita kalah, klan kita akan berakhir. Dan mereka takkan memberi kita kesempatan kedua."
Hening merayap di antara mereka, hanya suara detak jam yang terdengar di ruangan.
tik
tok
tik
tok
Andre menatap Senna, pandangan matanya penuh tekad. "Kalau kita harus menghadapinya lagi, kita harus siap mengorbankan segalanya. Ini adalah misi mempertahankan kehormatan klan."
Senna mengepalkan tinjunya. "Kita tidak bisa gagal lagi."
Di luar, angin mulai berhembus kencang, menggoyangkan jendela dan pintu ruangan.
whoss
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.