Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Persimpangan Pilihan
Pagi itu, Dina duduk di teras rumahnya, memandang hamparan ladang hijau yang melingkupi Jatiroto. Suara kincir angin berputar lembut seakan menyampaikan pesan ketenangan. Tapi di dalam dirinya, ada ketegangan yang tak kunjung surut.
Surat dari Dinas Energi Kabupaten tergeletak di meja kecil di sampingnya. Surat itu menyampaikan kabar bahwa proyek Jatiroto menarik perhatian wilayah sekitar, dan mereka ingin belajar dari kesuksesan ini. Namun, yang membuat Dina cemas adalah keinginan dinas untuk mengirim tim evaluasi khusus yang akan menentukan apakah proyek ini layak dikembangkan di desa-desa tetangga.
Mira mendekati Dina sambil membawa sepiring pisang goreng. “Surat itu masih kamu pandangi dari tadi. Kamu nggak berniat membukanya lagi, kan?” tanyanya dengan nada setengah bercanda.
Dina menghela napas panjang. “Bukan suratnya, Ra. Aku cuma nggak tahu apa yang mereka harapkan. Kalau mereka menganggap proyek ini gagal atau terlalu kecil untuk diterapkan di tempat lain, aku takut ini akan jadi akhir dari mimpi kita.”
Mira menaruh piring di meja dan duduk di sebelah Dina. “Din, kamu lupa siapa diri kamu? Kamu yang nggak pernah menyerah meski ada begitu banyak rintangan. Evaluasi ini bukan soal menilai dirimu, tapi tentang melihat apa yang bisa diperbaiki.”
Dina tersenyum kecil, tapi rasa ragu masih bergelayut.
---
Tiga hari kemudian, tim evaluasi tiba. Mereka terdiri dari dua pejabat kabupaten, seorang pakar energi terbarukan, dan beberapa anggota staf. Kehadiran mereka membawa suasana tegang di desa. Warga Jatiroto yang biasanya ramah kini tampak lebih hati-hati dalam berbicara.
Pak Karim, yang biasa menyambut siapa saja dengan lelucon, hanya diam ketika tim itu datang ke lokasi kincir angin pertama. Bahkan anak-anak yang biasanya bermain riang di dekat kincir terlihat menjauh, memperhatikan dari kejauhan.
“Proyek ini memang terlihat menjanjikan,” ujar salah satu pejabat saat meninjau kincir kedua. “Tapi saya ingin melihat dokumen rinciannya sebelum kami membuat keputusan.”
Dina mengangguk. “Semua dokumen sudah saya siapkan di balai desa. Tapi saya juga ingin Anda berbicara langsung dengan warga. Proyek ini tidak hanya tentang teknologi, tapi juga tentang bagaimana kami membangun kepercayaan dan keterlibatan masyarakat.”
Salah satu pejabat tampak terkejut mendengar usulan itu. “Jarang sekali kami mendengar pendekatan seperti ini. Baik, kami akan mendengar apa yang warga katakan.”
---
Forum desa digelar malam itu. Balai desa yang biasanya lengang kini penuh dengan warga. Pak Karim menjadi orang pertama yang angkat bicara.
“Saya ingat waktu pertama kali Dina datang dengan idenya,” katanya sambil menatap Dina. “Kami semua ragu, bahkan saya sendiri merasa ini terlalu besar untuk desa kecil seperti Jatiroto. Tapi sekarang, lihatlah apa yang sudah kami capai bersama. Kincir angin ini bukan cuma alat, tapi harapan. Kalau ada desa lain yang bisa merasakan hal yang sama, saya pikir kami harus mendukungnya.”
Suara tepuk tangan bergema di ruangan itu. Dina merasa matanya memanas, tapi ia menahan air matanya.
Beberapa warga lain juga berbicara, mengungkapkan rasa bangga mereka. Namun, tidak semua tanggapan positif. Seorang petani muda bernama Arif menyampaikan kekhawatirannya.
“Kalau proyek ini diperluas, apakah itu berarti Dina harus pergi? Kalau begitu, siapa yang akan memimpin kita?”
Pertanyaan itu membuat ruangan hening. Semua mata tertuju pada Dina. Ia merasa berat untuk menjawab, tapi ia tahu bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan.
“Saya belum tahu apa yang akan terjadi ke depan,” jawab Dina dengan suara pelan tapi tegas. “Tapi saya berjanji, apa pun yang terjadi, saya tidak akan meninggalkan Jatiroto begitu saja. Kita sudah memulai ini bersama, dan kita akan terus melangkah bersama.”
---
Malam itu, setelah semua tamu pulang, Dina duduk di ruang kerjanya, memeriksa laporan dan data yang telah ia siapkan. Pikirannya kembali melayang pada kata-kata Arif. Ia tahu bahwa Jatiroto adalah rumah, tapi ada tanggung jawab yang lebih besar di luar sana.
Mira mengetuk pintu sebelum masuk, membawa secangkir kopi. “Aku tahu kamu masih terjaga. Kamu pasti mikirin kata-kata Arif tadi, kan?”
Dina mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Aku cuma takut kehilangan apa yang sudah kita bangun di sini.”
Mira tersenyum lembut. “Kamu nggak akan kehilangan apa-apa, Din. Yang kamu lakukan justru menanam benih yang akan terus tumbuh, bahkan tanpa kamu di sini.”
Dina menatap Mira. Sahabatnya itu selalu punya cara untuk membuat semuanya terasa lebih ringan.
“Tidurlah,” kata Mira lagi. “Besok kamu butuh energi untuk menghadapi evaluasi terakhir.”
Dina mengangguk. Untuk pertama kalinya sejak surat itu datang, ia merasa sedikit lebih tenang.
---
Keesokan harinya, Dina mempresentasikan laporan akhir di depan tim evaluasi. Ia menjelaskan setiap detail dengan hati-hati, menunjukkan bagaimana proyek ini memberikan dampak nyata bagi desa. Tapi yang paling ia tekankan adalah pentingnya gotong royong dan semangat warga.
Ketika presentasi selesai, ketua tim evaluasi berdiri. “Ini bukan hanya proyek energi terbarukan,” katanya. “Ini adalah contoh nyata bagaimana masyarakat bisa menjadi bagian dari perubahan. Kami akan merekomendasikan pengembangan lebih lanjut, tapi dengan satu syarat: keterlibatan warga harus tetap menjadi inti dari proyek ini.”
Dina mengangguk. Ia tahu bahwa perjuangan ini masih panjang, tapi ia merasa siap untuk langkah berikutnya. Di luar balai desa, kincir angin terus berputar, membawa angin harapan untuk masa depan.
Malam itu, di bawah sinar rembulan yang redup, Dina keluar dari rumahnya. Pikiran tentang evaluasi yang telah selesai dan keputusan yang akan menyusul membuat dadanya terasa sesak. Langkahnya membawa ia ke pinggir sawah, tempat kincir angin pertama berdiri kokoh.
Ia memandang bilah-bilah kincir yang bergerak pelan, menyerap angin malam. Dalam sunyi itu, suara langkah lain mendekat.
“Kamu nggak bisa tidur juga?” tanya suara Mira, yang muncul dari arah belakang.
Dina menoleh, tersenyum tipis. “Kamu tahu aku jarang bisa tenang setelah hal besar seperti ini.”
Mira duduk di sampingnya di atas tanah berumput, sama-sama memandang ke arah kincir angin. “Tapi aku tahu, di balik rasa gelisah itu, kamu pasti bangga dengan apa yang sudah kamu capai.”
Dina mengangguk perlahan. “Bangga, iya. Tapi aku juga takut. Kalau ini berkembang lebih jauh, apa aku benar-benar siap? Aku merasa seperti memikul tanggung jawab yang terlalu besar.”
Mira memandang sahabatnya dengan tatapan penuh pengertian. “Din, tanggung jawab besar memang berat. Tapi kamu nggak harus memikul semuanya sendirian. Jatiroto ini rumah kita. Semua orang di sini, termasuk aku, ada untuk mendukungmu.”
Kata-kata Mira menyentuh hati Dina. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin malam menyapu wajahnya.
“Tapi kalau aku harus pergi ke desa lain untuk membantu mereka,” ucap Dina lirih, “aku takut kehilangan hubungan ini. Dengan kamu, dengan warga Jatiroto. Tempat ini sudah seperti bagian dari diriku.”
Mira tersenyum tipis. “Kamu lupa satu hal, Din. Jatiroto nggak akan pernah meninggalkan kamu. Kita semua ada di sini, mendukung dari jauh kalau perlu. Lagipula, perjalanan kamu ke luar sana bukan berarti meninggalkan. Itu hanya memperluas arti rumah.”
---
Keesokan harinya, suasana desa terasa lebih ringan. Warga terlihat sibuk dengan aktivitas mereka, tapi ada senyuman kecil di wajah mereka. Tim evaluasi sudah meninggalkan desa, membawa laporan mereka untuk dipresentasikan di tingkat kabupaten.
Dina sendiri mencoba kembali ke rutinitas hariannya, memeriksa kincir angin bersama beberapa pemuda desa. Saat ia sibuk mencatat data dari salah satu turbin, Pak Karim datang menghampirinya.
“Dina,” panggilnya.
Ia menoleh, tersenyum. “Ada apa, Pak Karim?”
Pak Karim mengangkat alis, lalu menunjuk ke arah dua anak muda yang sedang memperbaiki saluran air di dekat sana. “Aku lihat mereka makin rajin setelah proyek ini berjalan. Kamu tahu, dulu mereka cuma main-main di pinggir sawah, nggak ada tujuan. Sekarang, mereka bilang mau jadi teknisi.”
Dina tertawa kecil. “Mungkin mereka hanya terinspirasi sesaat.”
Pak Karim menggeleng. “Tidak, Dina. Kamu nggak sadar betapa besar pengaruh yang kamu bawa ke desa ini. Anak-anak muda mulai punya harapan. Orang-orang tua mulai percaya bahwa perubahan itu mungkin. Itu semua karena kamu.”
Dina terdiam. Kata-kata itu begitu menyentuh, tapi juga mengingatkan akan tanggung jawab yang ia emban.
---
Di malam harinya, saat ia merebahkan diri di tempat tidur, sebuah ide mulai terbentuk di benaknya. Ia tahu bahwa Jatiroto adalah awal, tapi mungkin ada cara untuk menjaga esensi desa ini sambil membantu desa lain.
Esok paginya, ia mengumpulkan beberapa warga di balai desa untuk berdiskusi.
“Aku punya satu usulan,” katanya dengan semangat. “Kalau kita ingin memperluas proyek ini ke desa lain, aku ingin Jatiroto tetap menjadi pusatnya. Kita bisa menjadikan desa ini sebagai contoh, tempat belajar bagi mereka yang ingin memulai proyek serupa.”
Pak Karim mengangguk penuh antusias. “Kamu maksud, semacam pusat pelatihan?”
“Ya,” jawab Dina. “Tapi lebih dari itu. Ini bisa jadi tempat untuk berbagi pengalaman, mendukung satu sama lain. Dengan begitu, Jatiroto tetap menjadi rumah, bukan hanya untuk kita, tapi untuk mereka yang ingin berubah.”
Suara gemuruh persetujuan terdengar di ruangan itu. Dina merasa hatinya lebih ringan. Ia tahu perjalanan ini belum selesai, tapi ia telah menemukan cara untuk melangkah tanpa kehilangan apa yang berharga.
Di luar, kincir angin terus berputar, seperti melambangkan roda kehidupan yang tak pernah berhenti. Dina menatapnya dengan senyum kecil, siap untuk apa pun yang menanti di depan.