NovelToon NovelToon
Married By Accident

Married By Accident

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Coffeeandwine

Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.

Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.

Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

A Game of Power and Pride (1)

Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai apartemen kecil Riin. Meja kerjanya yang terletak di dekat jendela penuh dengan kertas, buku kamus, dan laptop yang masih menyala dari malam sebelumnya. Gelas kopi yang sudah dingin berada di sudut meja, menjadi saksi malam-malam panjang yang ia habiskan untuk menerjemahkan novel trilogi fantasi asal Inggris.

Sudah satu minggu sejak kontrak kerjanya dengan Colors Publishing ditandatangani. Dalam tujuh hari itu, hidupnya berubah drastis. Tugas pertamanya langsung datang dari CEO perusahaan, Cho Jae Hyun, pria yang perfeksionis hingga ke tingkat yang hampir mustahil. Ia memberikan peringatan keras pada hari pertama Riin bekerja. Dan kata-kata itu terus terngiang di kepala Riin. Seolah-olah Jae Hyun berdiri di belakangnya setiap kali ia mengetik atau membaca ulang terjemahannya.

Riin memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Ia menatap layar laptop yang menampilkan bab terakhir dari buku pertama trilogi tersebut. Meski lelah, ia bertekad untuk membuktikan dirinya. Bukan hanya kepada Jae Hyun, tetapi juga kepada dirinya sendiri.

***

Sore itu, Riin akhirnya menyelesaikan bab terakhir buku pertama yang sedang ia terjemahkan. Ia menarik napas lega, tetapi rasa puas itu segera tergantikan oleh kecemasan. Masih ada dua buku lagi yang menunggu, dan tenggat waktu dua bulan terus membayanginya.

Belum sempat ia benar-benar bersantai, pesan dari Jae Hyun muncul di layar ponselnya.

“Kirimkan draft terakhir buku pertama ke email saya malam ini. Saya akan meninjaunya besok pagi.”

Hati Riin langsung mencelos. Pesan singkat itu terasa seperti perintah militer, dingin dan tanpa kompromi.

Ia membaca ulang pekerjaannya, mencari-cari kesalahan kecil yang mungkin terlewat. Setiap kalimat diperiksa dua kali, bahkan tiga kali. Keringat dingin membasahi tangannya meskipun udara di ruangan itu sejuk.

"Ini harus sempurna," gumamnya pelan, seperti mantra untuk menenangkan diri.

Ketika akhirnya ia mengirim email itu, jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Riin memandangi layar komputernya, perasaan lega bercampur dengan kegelisahan. Bagaimana jika ada yang salah? Bagaimana jika Jae Hyun menemui satu kesalahan kecil saja?

Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. Ia tahu, untuk bertahan di tempat ini, ia harus membuktikan dirinya. Ia bukan anak kecil ceroboh yang hanya mengandalkan koneksi. Ia adalah seorang profesional, dan ia akan memastikan Cho Jae Hyun tahu itu.

***

Di ruang kerjanya yang berada di dalam apartemennya, Jae Hyun yang baru menyelesaikan meeting virtual dengan salah satu klien, menerima email dari Riin. Pria itu melirik layar dengan ekspresi datar, lalu membuka file yang dikirimkan.

“Mari kita lihat bagaimana hasilnya?” gumamnya pada dirinya sendiri, tatapannya tajam saat mulai membaca. Meski wajahnya tidak menunjukkan apa pun, dalam hatinya, ia mengakui bahwa ia cukup penasaran dengan kemampuan gadis itu.

Namun, ia juga tidak akan membiarkan hal itu terlihat. Tidak ada ruang untuk kelemahan di dunia ini.

***

Di kantor Colors Publishing, suasana pagi seperti biasa: sibuk namun teratur. Riin duduk di meja kerjanya di sudut ruangan khusus tim editorial. Lingkungannya dipenuhi oleh suara diskusi para editor dan staf desain, bunyi printer yang mencetak draft, dan sesekali tawa ringan dari pantry. Namun, Riin tetap tenggelam dalam pekerjaannya, telinganya hampir tidak menangkap suara-suara itu.

Ah Ri mendekat dengan senyum ramah seperti biasa. “Riin, kau sudah sarapan?” tanyanya sambil meletakkan segelas kopi panas di meja Riin.

Riin tersentak dari fokusnya, menoleh dengan senyum lelah. “Belum, tapi aku tidak lapar. Terima kasih, Ah Ri.”

“Jangan seperti itu. Kalau kau sakit, Sajangnim akan lebih marah,” kata Ah Ri dengan nada bercanda, meskipun jelas ada kekhawatiran di matanya.

Riin hanya tertawa kecil, tapi di dalam hatinya ada beban yang berat. Ia tidak bisa menceritakan yang sebenarnya kepada Ah Ri_bahwa CEO mereka adalah pria yang pernah ia tabrak secara tidak sengaja di bandara. Gadis itu sudah terlalu banyak membantunya mendapatkan pekerjaan ini. Ia tidak ingin menyeret Ah Ri ke dalam masalah apa pun yang mungkin muncul karena insiden itu.

“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Ah Ri, menyipitkan mata curiga.

Riin mengangguk cepat. “Tentu saja. Aku hanya sedikit lelah.”

Ah Ri tampak ragu, tetapi memilih untuk tidak memaksa. “Kalau begitu, jangan terlalu memaksakan diri, oke? Sajangnim mungkin galak, tapi dia juga menghargai hasil kerja keras.”

Riin hanya mengangguk, meskipun ia tahu tidak semudah itu mendapatkan penghargaan dari pria seperti Cho Jae Hyun.

***

Flashback

Ruang kerja Jae Hyun adalah salah satu ruangan paling megah di kantor Colors Publishing. Dindingnya dipenuhi rak buku kayu mahoni gelap, dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menerangi koleksi novel, jurnal, dan buku referensi lainnya. Sebuah meja besar dari kayu ek berdiri di tengah ruangan, dihiasi dengan tumpukan dokumen yang tertata rapi. Jendela lebar di belakang meja memberikan pemandangan kota yang sibuk, menambah kesan bahwa pemilik ruangan ini adalah seseorang yang berkuasa dan penuh wibawa.

Riin duduk di depan Jae Hyun, rasa gugup dan kesal berbaur dalam dirinya. Ia berusaha terlihat tenang meskipun hatinya bergemuruh. Tatapannya berhenti pada Jae Hyun, pria dengan wajah tanpa ekspresi yang duduk di kursinya. Matanya tajam seperti elang, mengamati Riin seolah-olah dia adalah subjek eksperimen.

"Jadi..." Jae Hyun memecah keheningan, suaranya rendah namun terdengar jelas. Ia mencodongkan tubuhnya ke depan, kedua siku bertumpu di meja. "Anak kecil ceroboh sepertimu yang akan menjadi pegawai baru di kantorku?"

Nada suaranya penuh sindiran. Senyumnya tipis, hampir tak terlihat, tetapi cukup untuk membuat darah Riin mendidih.

Riin mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak memberikan jawaban sarkastik. Ia tahu, ini adalah perang psikologis, dan ia tidak boleh kalah.

"Saya memiliki pengalaman yang lebih dari cukup," jawabnya, suaranya datar namun tegas. "Jadi saya yakin mampu melakukan tugas di kantor ini dengan baik."

Jae Hyun mengangkat alisnya sedikit, seolah terkejut dengan keberanian Riin. Ia mengambil dokumen di mejanya, membaca data mengenai Riin dengan teliti. Wajahnya tetap datar, tetapi di dalam pikirannya ia mengakui sesuatu: gadis ini memang kompeten. Riwayat kerjanya mengesankan, dengan berbagai proyek penerjemahan besar yang pernah ia tangani.

Namun, bukan Jae Hyun namanya jika ia membiarkan segalanya berjalan mudah. Sebuah ide jahil melintas di kepalanya. Senyum kecil yang nyaris tak terlihat muncul di bibirnya.

"Baiklah," ucapnya singkat, mengambil pena dari meja dan menandatangani surat kontrak kerja di hadapannya. "Kau resmi menjadi pegawai di kantor ini."

Riin sedikit lega, meskipun ia tahu ini belum selesai. Tangannya terulur untuk mengambil map yang berisi kontrak kerjanya, tetapi Jae Hyun menahan map itu sesaat sebelum ia bisa meraihnya.

"Tapi," kata Jae Hyun, nadanya rendah namun menggantung seperti ancaman.

"Tapi apa?" tanya Riin, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meskipun firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya.

Jae Hyun menatapnya lurus, senyumnya tidak lagi samar, tetapi terlihat jelas dan penuh arti. "Aku yang akan menentukan tugas pertamamu."

"Baik," jawab Riin, meskipun hatinya sedikit bergetar. "Apapun tugas yang Anda berikan, saya pasti bisa melakukannya."

Jae Hyun melepaskan map itu, membiarkan Riin mengambilnya. Ia berdiri, melangkah dengan tenang ke arah rak buku besar di belakangnya. Tangannya meraih tiga novel tebal, lalu ia kembali ke meja dan meletakkannya di depan Riin dengan bunyi berat yang membuat gadis itu terkejut.

"Terjemahkan ketiga novel ini ke dalam bahasa Korea," perintahnya, nadanya dingin dan tegas. "Dan selesaikan dalam waktu dua bulan."

Riin menatap novel-novel itu dengan mata membelalak. Setiap buku memiliki lebih dari 500 halaman. Ia merasa seperti baru saja dijatuhi hukuman.

"Apa?" tanyanya, hampir berbisik. "Maaf, tapi... apakah saya tidak salah dengar? Tiga buku setebal itu harus diselesaikan dalam dua bulan?"

Jae Hyun menatapnya dengan senyum kecil yang tajam, seperti predator yang mengamati mangsanya. "Kenapa? Kau tidak sanggup?"

Riin membuka mulutnya, siap untuk membalas, tetapi ia menahan diri. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan emosinya yang hampir meledak.

"Apakah ini..." Ia berhenti sejenak, memikirkan pilihan kata yang tepat. "Apakah ini balas dendam atas kejadian di bandara kemarin? Bukankah kita tidak boleh mencampur masalah pribadi dengan urusan kantor?"

Jae Hyun tertawa kecil, suara yang lebih menyeramkan daripada menyenangkan. "Jika kau tidak sanggup," katanya, menunjuk map kontrak kerja yang ada di tangan Riin, "kau bisa membatalkan kontrak itu sekarang."

Kata-kata itu seperti cambuk bagi Riin. Ia mengepalkan tangannya lebih erat, memaksa dirinya untuk tetap tenang meskipun ia merasa seperti akan meledak. Dengan tatapan penuh tekad, ia menjawab, "Baiklah. Akan saya selesaikan dalam waktu dua bulan."

Ia meraih ketiga novel itu dengan gerakan tegas, lalu berbalik menuju pintu.

"Ingat!" seru Jae Hyun sebelum pintu tertutup. "Jangan ada kesalahan satu kata pun!"

Pintu tertutup dengan bunyi pelan, tetapi hati Riin terasa seperti menutup gerbang ke neraka. Di luar ruangan, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya.

'Aku tidak akan membiarkan dia menang. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa!' Dengan tekad itu, ia melangkah kembali ke mejanya, membawa tumpukan novel yang seakan-akan lebih berat dari sebelumnya.

***

Riin menarik napas panjang saat keluar dari gedung kantor Colors Publishing. Hari itu terasa sangat panjang, pikirannya penuh dengan deadline, kata-kata asing, dan tekanan yang seolah datang dari segala arah. Namun, ia tahu dirinya tidak boleh menyerah. Sebuah suara familiar menghentikan langkahnya di pintu masuk gedung.

"Riin! Tunggu sebentar!" panggil Seon Ho, pria yang kini cukup dekat dengannya sekaligus mentor informalnya.

Riin berbalik, wajahnya yang tadinya tampak kelelahan berubah cerah. Seon Ho berdiri dengan setelan santai, kemeja putih yang dilipat hingga siku dan celana bahan cokelat muda. Ia membawa dua gelas kopi di tangan, salah satunya ia sodorkan pada Riin.

"Aku tahu kau pasti butuh ini," katanya sambil tersenyum hangat.

Riin tertawa kecil dan menerima kopi itu. "Seon Ho-ssi, bagaimana kau bisa tahu kalau saat ini hidupku sedang diambang kehancuran?"

"Sederhana." jawab Seon Ho seolah sudah hafal betul kebiasaan salah satu rekan kerjanya itu. "Wajahmu selalu terlihat masam alih-alih ceria seperti biasanya," tebaknya tepat sasaran.

Mereka berjalan ke taman kecil di dekat gedung, mencari tempat duduk yang tenang. Pohon-pohon rindang melindungi mereka dari sinar matahari sore, sementara suara burung dan desiran angin menciptakan suasana damai.

"Jadi," Seon Ho mulai berbicara sambil menyandarkan punggungnya di bangku taman, "bagaimana hari-harimu di bawah perintah Cho Jae Hyun langsung, CEO kita yang terkenal dingin itu?"

Riin mendesah panjang. "Bayangkan saja bekerja di bawah raja es yang memiliki dua hobi: bekerja dan mengintimidasi."

Seon Ho terkekeh. "Dia seburuk itu?"

"Lebih buruk." Riin menyeruput kopinya, mencoba meredakan emosi yang tersisa. "Aku disuruh menerjemahkan tiga novel tebal hanya dalam waktu dua bulan. Dia bilang, 'Jangan ada kesalahan satu kata pun.' Apa dia pikir aku robot? Bagaimana bisa Ah Ri bertahan bekerja sebagai sekretaris pribadinya selama bertahun-tahun?"

Seon Ho tertawa, tetapi ia menatap Riin dengan penuh perhatian. "Tapi kau tahu apa? Kau selalu bisa mengatasinya. Aku percaya pada kemampuanmu."

Riin tersenyum kecil. "Terima kasih. Itu mungkin hal terbaik yang aku dengar sepanjang hari ini."

Namun, matanya mengerling curiga. "Tapi tunggu, kenapa kau di sini? Jangan bilang kau datang hanya untuk mengawasiku?"

Seon Ho mengangkat bahu. "Aku ada meeting di dekat sini. Kupikir, aku bisa mampir sebentar untuk memastikan kau masih waras."

"Lucu sekali," balas Riin dengan senyum masam.

"Tapi, Riin," Seon Ho mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapnya dengan intens. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau tahu, tekanan itu hanya akan membunuh kreativitasmu. Kau sudah hebat, jadi yakinlah pada dirimu sendiri."

Riin mengangguk pelan. Kata-kata Seon Ho selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik. Mereka berbincang sejenak sebelum Seon Ho harus pergi, meninggalkan Riin dengan senyum yang sedikit lebih tulus di wajahnya.

***

1
Kyurincho
Recommended
Coffeeandwine
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!