Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
"Ya." saut Heriberto dengan suara beratnya.
"Apa Ricardo memang sekejam itu?," tanya Adira pelan.
Heriberto diam sejenak.
"Kau sebaiknya menyiapkan hati. Sepertinya, kalian akan segera terpisah selamanya." ujar Heriberto mengalihkan topik pembicaraan.
Kata-kata Heriberto itu sontak membuat Adira terperanjat. Adira menatap wajah Heriberto dengan tatapan bingung.
"Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya bergetar, kekhawatiran terlukis jelas di wajah Adira.
"Karna kejadian ini, pasti akan membuat Ricardo tak menunda-nunda lagi untuk memulangkanmu kembali ke asalmu." ujar Heriberto berkata dengan nada pelan, namun tegas.
"Ricardo pasti tak ingin kau lebih lama terjebak dalam semua ini, Adira. Dia akan melindungimu dengan cara apapun."
Adira merasa tercekik. Kenangan indah bersama Ricardo, momen-momen kecil yang penuh kasih sayang, semua tampak begitu berharga bagi nya. Melihat Adira yang terdiam membeku, Heriberto menggelengkan kepalanya. Menatap Adira dengan rasa iba.
"Kau harus mulai terbiasa Adira."
Adira merasakan air mata menggenang di matanya.
"Ini mungkin sulit bagi mu. Tetapi Ricardo jadi memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Dia tidak akan membiarkan kau terlibat lebih jauh dalam dunia yang berbahaya ini."
"Tapi, aku tak ingin Ricardo meninggalkanku begitu saja." ucap Adira pelan.
Heriberto menatap Adira dengan penuh iba.
"Ku harap kau tak terlalu jatuh pada Ricardo. Kalian tak kan mungkin bisa bersama,"
Adira merasa hatinya hancur, menyadari betapa rumitnya situasi yang dihadapinya. Dan mencoba memahami betapa sulitnya perpisahan ini, jika itu memang tak terhindarkan.
Braakkk!
Suara pintu terbuka dengan keras dan Ricardo masuk ke dalam ruangan. Aura kemarahan yang menyeliputi dirinya mebuat suasana didalam ruangan tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa ragu dia menarik Heriberto. Menghempaskan nya ke pintu dengan kencang.
"Heriberto!" suara Ricardo menggema, tegas dan mengancam.
Ricardo meremas kerah Heriberto menariknya lebih dekat. Meski tinggi Heriberto beberapa lebih tinggi, Ricardo tak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.
"Kau! Cari tau siapa yang ada dibalik semua ini!" ucapnya dengan nada menggebu.
Salvatore telah terluka parah. Dia sudah tak sadarkan diri. Sementara Ricardo belum mendapat kan jawaban.
"Salvatore tak mungkin berani sendiri! Cari informasi nya secepat mungkin, kalau kau mau kepercayaan ku kembali!." bentak Ricardo.
Heriberto mengangguk, bertekad untuk memenuhi kepercayaan yang diberikan kepadanya.
"Saya akan melakukannya."
Ricardo lantas melepas cengkeramannya. Tapi matanya tetap tajam menatap Heriberto, seolah ingin memastikan bahwa dia masih bisa di percaya atau tidak. Heriberto pun permisi keluar tanpa suara.
Adira terdiam, menonton adegan tersebut dengan cemas. Ricardo menoleh, matanya yang tajam mulai melembut saat menatap Adira.
"Kau tak apa?," tanya Ricardo lembut.
"Iya,"
"Apa dia menyentuh mu?," tanya Ricardo, berjalan mendekat ke Adira.
"Tidak,"
"Apa dia menyakitimu?," tanya Ricardo lagi. Membelai pipi Adira dengan lembut.
"Sedikit," jawab Adira, menunduk.
Obrolan nya dengan Heriberto tadi, membuat Adira tak berani menatap Ricardo. Adira takut semakin jatuh hati pada Ricardo. Dan hanya akan menyiksa nya dengan rindu yang menyesakkan di kemudian hari.
"Adira," panggil Ricardo lembut, meraih dagu Adira dan menarik wajah Adira menghadap nya.
Wajah Adira kini mendongak menatap Ricardo. Ada tatapan sendu yang tertangkap oleh Ricardo.
"Apa dia menyakitimu?," tanya nya lagi.
"Dia hanya sempat mencekik ku sebentar," jawab Adira.
Tangan Ricardo dari dagu pindah ke leher Adira. Memeriksa leher Adira sebentar lalu mengecup leher Adira dengan lembut.
Adira yang sudah syok sejak melihat Ricardo yang mendekat pun jadi semakin syok. Dia tertegun merasakan bibir lembut Ricardo yamg mengecup leher nya.
"Maaf," ucap Ricardo menatap mata Adira.
Wajah Ricardo terlalu dekat dengan wajah Adira.Hingga ia bisa merasakan napas hangat nya Ricardo di wajahnya.
"Maaf, aku terlambat." ucap Ricardo lembut lalu mengecup pipi kiri Adira.
Adira mengerjapkan matanya. Dia terdiam membisu. Namun tiba-tiba Ricardo melangkah mundur sambil berkata, "Kau bisa bersiap-siap sekarang. Kembali ke negaramu."
Adira yang terkaget langsung menghampiri Ricardo dengan langkah cepat, matanya penuh kebingungan.
"Kenapa tiba-tiba?," tanya Adira, suaranya bergetar.
Namun, Ricardo hanya mengeraskan rahangnya. Menahan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya.
"Lebih cepat lebih baik."
"Tapi, tak bisakah aku disini sebentar lagi saja?," suaranya penuh permohonan, berharap Ricardo akan berubah pikiran.
"Tak bisa, Adira. Kau harus kembali," jawab Ricardo singkat, nada suaranya tak bisa ditawar.
Adira tidak setuju, kepalanya menggeleng pelan, menolak keputusan itu. Ricardo menarik napas dalam, menjauhi Adira beberapa langkah lagi.
“Maaf,” ucapnya dengan suara yang lebih pelan namun penuh ketegasan.
"Aku telah egois membiarkanmu cukup lama di sini."
Adira pun memohon dengan suara lembut, "Sebentar saja, Ricardo, aku mau di sini sebentar lagi."
Ricardo yang sejak tadi menahan cemas sepanjang perjalanan dari New York ke Tijuana, mengepal tangannya, berusaha menenangkan diri. Dia menunduk, tak mampu langsung menatap Adira.
Namun, Adira tak berhenti, suaranya penuh harap, “Aku masih mau di sini, Ricardo.”
Tiba-tiba, Ricardo yang sudah tak kuat menahan perasaannya, mendorong lembut Adira hingga tubuhnya bersandar ke dinding.
Ricardo mendekat, "Kau tak bisa lebih lama di sini, Adira." katanya.
Matanya menatap lurus ke mata Adira. Tampak kilatan campuran antara rasa sayang dan kepedihan yang mendalam.
"Kau dalam bahaya," lanjutnya dengan suara yang terdengar putus asa, sementara rahangnya semakin mengeras.
“Kan, kamu ada di sini sekarang,” ujar Adira dengan penuh harapan, menginginkan kehadiran Ricardo untuk memberinya rasa aman.
Ricardo membalas dengan senyuman sinis, nafas hangatnya terasa memburu di kulit wajah Adira. Adira tak tau betapa sulit Ricardo menahan diri untuk tak menyerah pada perasaan nya yang menggebu.
“Kau tak tahu, Adira,” ucap nya.
“Jika kau terus di sini, kau akan berada dalam dua pilihan yang sama-sama berbahaya."
"Apa?,"
Ricardo terdiam sejenak. Lalu menjelaskan "Kau akan dihabisi oleh musuhku atau, aku sendiri yang akan menghabisimu.”
Adira merasa bingung, tak sepenuhnya mengerti maksud Ricardo. Ricardo perlahan mendekat, wajah mereka hampir bersentuhan. Nafas Ricardo semakin memburu. Saat hidung mereka bersentuhan Ricardo mengeluh, “Sial!".
Ricardo tiba-tiba menarik badannya ke belakang, seolah menjauhkan diri dari godaan yang tak bisa dia kendalikan. Ricardo berusaha mengontrol nafasnya, tapi tampaknya itu sia-sia.
Dia kembali membuka pintu dan meninggalkan Adira yang masih kebingungan.
Adira tak menyadari efek dari betapa dekatnya mereka tadi. Jika saja Adira menyambut Ricardo sedikit lebih awal, mungkin mereka akan berada di tempat yang lebih intim sekarang.
.
.
.
Bersambung...
(ehemmm/Shhh//Shy/)