Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Penyakit Hati
"Kalian berdua, jangan sentuh apapun di kamar ini, paham?!"
Pada dasarnya larangan ada memang untuk dilanggar. Memang tidak ada yang dirusak, tidak juga ada yang dia curi. Namun, gelora Lengkara dan Ameera tidak dapat menahan diri kala melihat rangkaian alat make-up dan juga abaya Zalina yang menurut mereka cukup unik.
Datang tak diundang, pulang dengan tas yang kini semakin kencang. Rasanya Zean sudah cukup membuatnya malu tadi pagi, tapi ternyata itu hanya sebagian dari penderitaan Sean. Mungkin bagi Zalina hal itu justru pertanda baik bahwa kedua adik iparnya bisa sedekat itu, tapi tidak untuk Sean.
"Sok cantik."
Hanya itu yang Sean utarakan setiap kali melihat mereka berdua. Berawal dari celak yang ada di meja rias sang kakai ipar, Ameera dan Lengkara sontak menghias matanya agar tajam seperti Zalina serta umi Rosita.
Lebih menyebalkannya lagi, Zalina sendiri yang turut andil dalam menghias mata kedua adiknya hingga Sean benar-benar tidak habis pikir. Sean pikir setelah Zalina selesai diperiksa yang ternyata memang benar flu biasa semua akan usai. Namun, faktanya justru berbeda dan dia yang terpaksa mengalah dan keluar dari kamar itu.
"Kak Zal makasih ya ... aku dikasihnya banyak banget."
"Iya, insya Allah kepakek banget ini, Kak. Buat kondangan bareng mas Yudha."
Sudah hampir meninggalkan kediaman kiyai Husain, tapi kedua adiknya seakan berat melangkahkan kaki untuk pergi segera. Yang lain sudah bersiap di mobil, hanya dua orang ini pamit sampai dua kali pada Zalina.
"Iya sama-sama, kalau ada waktu boleh datang ke sini lagi."
Bencana besar, Sean menggeleng pelan sebagai penolakan halus. Berusaha sembunyi-sembunyi agar tidak terlalu kentara oleh mertuanya, tapi memang kedua adiknya ini tdak lebih baik dari pengganggu.
"Mimpi apa kita punya kakak ipar berhati bidadari ya, Ra ... semoga kak Zalina tidak cepat sadar ya."
"Hahah benar, Lengkara. Kasihan kalau sadarnya cepat, kak Sean kan baru bisa Al-Fatihah."
Apa tadi katanya? Sadar? Dasar adik kurang ajar, dikasih hati minta jantung. Jika tahu begini, lebih baik dia rusak saja si Bony. Sean tengah mengutuk Ameera yang tengah menyindirnya secara terang-terangan.
Sean hanya tersenyum dengan matanya yang kini segaris sebelum kemudian memeluk Ameera hingga kesulitan bernapas sebagai salam perpisahan. Sementara Lengkara yang sadar akan bahaya memilih menolak pelukan Sean dan segera berlari ke mobil segera.
"Dah, see you ... kalau pulang bawa kabar baik kak Sean!! Hudzai sudah bisa jalan, agak melelahkan," ucap Ameera setelah berhasil melepaskan diri dari dekapan kematian sang kakak.
"Kamu juga, kalau aku pulang sudah punya pasangan," balas Sean yang sama-sama menjadi beban.
Sean kini kembali sendiri kala keluarganya berlalu pergi. Lambaian tangan yang sejenak membuatnya merasa sejauh itu, terutama pada Zia dan ketiga keponakannya. Secepat itu suasana terganti, setelah sempat ramai sejak semalam kini tergantikan dengan suasana tenang, dan Sean sedikit merasa kehilangan.
"Adik kamu benar-benar lucu ya, Mas ... keluarga kamu harmonis sekali."
Satu kalimat yang selalu Zalina ungkapkan sejak semalam. Dia memang mengagumi keharmonisan keluarga sang suami, biasanya sulit sekali menjalin kedekatan dan bisa berlaku adil seperti itu.
Manis di mata Zalina, tapi tidak bagi para pecuncang yang hatinya teramat sempit seperti Abrizam dan Ayunda yang sejak tadi menatap dari kejauhan. Sejak kedatangan Mikhail beserta anak dan cucunya, Abrizam memang sudah sedikit malas.
"Adik iparmu kaya ternyata, Mas ... kenapa dia selalu beruntung ya."
"Maksud kamu?" tanya Abrizam yang kini naik pitam lantaran Ayunda seolah mengecilkan dirinya dibanding Sean.
"Aku bicara fakta, Zalina beruntung sekali. Dulu Irham, ustadz muda yang juga kaya datang melamarnya ... sekarang Sean, memang secara Agama mungkin dia kurang, tapi wajah dan kekayaannya jauh di atas Irham."
Sambil menatap nanar Sean dan Zalina yang masih berada di teras kiyai Husain, Ayunda berucap demikian. Abrizam yang sejak awal memang sudah membencinya sontak semakin gusar.
"Kamu memuji berandalan itu?"
"Tidak, aku hanya bahagia kehidupan adikmu bahagia ... punya suami kaya, tampan aduh apalagi kurangnya," ucapnya kemudian berlalu masuk dan hal itu jelas membakar dada Abrizam dengan amarah yang luar biasa tidak tertahankan.
.
.
Iri adalah penyakit hati paling parah dan sukar obatnya. Entah apa yang salah dengan diri Abrizam hingga sifat itu semakin menjadi. Menjelang Ashar, dia menghampiri Sean yang baru saja kembali dari mengantar abinya menuju kediaman kiyai Hasan.
"Ada apa, Mas?"
"Apa maksudmu meminta keluargamu datang beramai-ramai seperti orang tidak tahu malu ke rumah abi? Ingin memperlihatkan seberapa kaya kalian? Kalian ingin mencuri hati abi dengan cara pamer semacam itu?"
"Pamer?"
Sean tersenyum tipis kala mendengar ucapan Abrizam. Pamer? Yang benar saja. Bahkan jika Sean bisa simpulkan kedatangan mereka kemarin adalah penampilan paling sederhana.
Tidak ada tas bermerk yang Zia bawa, pakaian pun termasuk yang biasa saja. Hanya karena mobil dua, itu pun mobil keluarga yang memang biasanya digunakan untuk masyarakat kelas atas. Akan tetapi, di mata Sean itu sudah sangat biasa.
"Iya, pamer harta."
"Asal Mas tahu, papa tidak pernah pamer pada siapapun. Jika Mas menganggap kedatangan keluargaku kemarin pamer harta, aku hanya mengucapkan Alhamdulilah berarti tanpa perlu koar-koar keluargaku terlihat kaya di mata, Mas."
.
.
- To Be Continue -