Bagaimana jika perawan tua dan seorang duda tampan dipertemukan dalam perjodohan?
Megan Berlian yang tajir melintir harus mengakhiri kebebasanya di usia 34 tahun dengan menikahi Morgan Erlangga, seorang dokter bedah tulang
yang sudah berusia 42 tahun dan memiliki dua anak remaja laki-laki.
Megan, gadis itu tidak membutuhkan sebuah pernikahan dikarenakan tidak ingin hamil dan melahirkan anak. Sama dengan itu, Morgan juga tidak mau menambah anak lagi.
Tidak hanya mereka, kedua anak Morgan yang tidak menyambut baik kehadiran ibu sambungnya juga melarang keras pasangan itu menghasilkan anak.
Megan yang serakah rupanya menginginkan kedua anak Morgan untuk menjadi penerusnya kelak. Tidak peduli jika keduanya tidak menganggapnya sama sekali.
Ikuti kisah mereka, semoga kalian suka ya...🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Apa Ini?
"Kau yakin akan pergi bersama mama dan Erick?"
Morgan bertanya sekali lagi pada sang istri, saat mereka sudah berada di atap rumah sakit, akan segera menaiki helikopter yang akan membawa Erick ke Miami.
Megan mengangguk. Sedikit berharap, suaminya sekedar memberinya pelukan perpisahan seperti yang dilakukan banyak pasangan lainnya.
"Aku akan pergi. Jaga dirimu, ya Dok. Dan jangan mengabaikan David meskipun anda sangat sibuk."
"Tapi kau bahkan belum membuatkan susu coklat manis untukku."
"Apa?"
Bisingnya gemuruh pesawat kecil itu membuat pendengaran terganggu dan keduanya harus bicara sambil berteriak.
"Pergilah, jaga dirimu juga. Aku akan mengurus cuti agar bisa menyusul."
Morgan sudah malas membahas tentang susu coklat manis.
Megan kembali mengangguk, entah dia mendengar dengan jelas atau tidak.
.
.
[Nak, jaga dirimu, turuti saat pelayanmu memberimu makan dan jangan lupa minum vitamin-nya.]
[Jangan lupa sekolah dan belajar dengan benar.]
Sebelah alis David terangkat kala membaca pesan singkat dari bunda yang sangat cerewet dan banyak aturan itu.
Tidak perlu diingatkan, David sudah sangat rajin turun sekolah apa lagi belajar.
[Ya...] jawabnya, membalas pesan bunda Megan.
Malam tiba ...
Morgan baru tiba di rumah saat pukul 8 malam. Sebelum ke kamarnya, ia mengunjungi nenek lebih dulu untuk memberi salam.
"Nek, aku pulang."
"Morgan, baguslah sudah pulang. Tapi maaf, nenek sudah makan malam bersama David."
"Iya, Nek. Tidak perlu menungguku. Oia, apa anak itu menyusahkanmu?" Yang dimaksud Morgan tentu saja David, putranya.
Nenek menggeleng. "Dia bukan tipe anak yang banyak bicara, tapi dia bisa tunjukkan sikap sopan santun terhadap orang tua. Kau telah mendidiknya dengan baik, Morgan."
Morgan hanya mengulum senyum atas pujian dari sang nenek. "Baguslah. Nek, aku akan mandi lalu makan. Nenek bisa menghubungiku jika butuh sesuatu."
Sadar diri telah mengirim Megan jauh ke Miami, sebaik mungkin Morgan akan menjaga sang nenek bahkan menggantikan peran sang istri sekalipun jika perlu.
"Ada banyak pelayan yang akan membantuku. Kau urus saja dirimu sendiri, Nak. Pergilah makan."
Morgan mengangguk, lalu pamit undur dari kamar itu.
Masuk ke kamarnya, Morgan tidak lagi mendapati Megan. Kebersamaan mereka yang baru dua malam sudah mampu membuatnya merasakan kehampaan.
.
.
Miami.
Erick terbangun dan mendapati dirinya berada di tempat yang sangat asing, sebuah ruangan yang bukan lagi rumah sakit, tapi lebih terlihat seperti sebuah kamar hotel yang biasa ia temukan dalam film-film.
Erick merasa curiga.
"Nenek! Ayah! Nenek! Ayah!"
Tap tap tap tap tap.
"Erick, sudah bangun rupanya,"
"Aku panggil ayah dan nenek. Kenapa kakak yang muncul?" Kembali memarahi Megan. Namun ibu tirinya ini seperti tidak menanggapi.
Lihatlah Megan malah menghembus napas kasar seraya melipat kedua tangan di atas perut. Bertingkah menyebalkan dimata Erick.
"Nenekmu sedang istirahat di kamarnya. Kalau ayah ..." Megan sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Dimana ayahku?" Bentaknya lagi.
"Ayah tidak ikut karena harus bekerja. David juga sedang bersiap untuk ujian kelulusan."
Mendengar itu Erick menatap ke sekelilingnya dengan wajah polos yang tampak kebingungan. Ia yakin dirinya sudah jauh dari tanah air tercinta pemilik bendera Merah Putih itu.
Megan mendekat perlahan. Duduk di sebelah remaja itu.
"Kita ada di Miami saat ini. Jangan marah, ya..." meraih satu tangan anak itu dan menyentuh jemarinya dengan lembut, berusaha membujuknya.
Erick membiarkan saja apa yang dilakukan Megan kali ini. Anehnya, kenyamanan dia rasakan.
"Kamu mungkin sangat bingung dengan situasi yang banyak berubah dan terjadi begitu saja. Tapi beginilah hidup. Masih banyak lagi kejutan di depan sana yang akan kamu alami."
"Apa aku bisa sembuh dan bisa berjalan lagi?"
"Ya... pasti bisa jika kau mau. Kita akan menjalani terapi dan berbagai pengobatan lainnya. Kau mau kan?"
Erick kemudian mengangguk sambil menatap wajah Megan. Dia benar-benar berharap bisa sembuh dari kelumpuhan ini.
Megan kemudian mengajak Erick berkeliling untuk menikmati keindahan di luar kamar.
"Tempat apa ini?" tanya Erick yang hanya duduk di atas kursi roda sambil melihat ke semua arah.
"Tempat ini bunda anggap villa. Kita akan tinggal disini selama pengobatanmu." jawab Megan.
"Tempat ini milik siapa?"
"Tentu saja milik kita."
"Milik kita?"
Erick menatap heran.
"Ya ... milik bunda dan tentu saja milikmu juga. Karena kau-"
"Stop, jangan katakan itu lagi." Erick Menghentikan kalimat ibu tirinya dengan mengangkat sebelah tangan. Ia merasa sangat terganggu saat wanita ini mengingatkan hubungan mereka sebagai ibu dan anak. Masih sulit menerima keadaan ini.
Megan mengambil posisi duduk di sisi Erick. Keduanya menikmati pemandangan laut yang sangat indah dari atas ketinggian.
"Apa ayah akan datang?" Erick mengganti topik pembicaraan.
"Ya... dia akan menyusul. Ayahmu masih harus mengurus cuti terlebih dahulu."
"Lalu kakak, apa kakak seorang pengangguran, jadi bisa menemaniku?" Menoleh ke arah Megan. Wajah ibu tirinya terlihat sangat teduh dan tenang.
"Iya, bunda ini pengangguran. Jadi selama apapun pengobatan ini, bunda akan menemanimu."
Ketidaktahuan Erick tentang wanita yang dinikahi ayahnya ini membuatnya tercengang. Ia pun sangat tahu, segala biaya pengobatannya ditanggung oleh wanita ini.
"Lalu dari mana tante mendapatkan semua ini? Ayahku telah bekerja sejak aku belum lahir tapi dia tidak mampu membeli villa."
.
.
Bersambung, sorry guys telat up. Yuk semangat.