Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong Freya!
Leyla menghela napas panjang, seakan mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. "Tama, ini bukan hal yang mudah buatku. Tapi aku harus bilang, karena aku peduli sama Freya," ucapnya pelan, suaranya sedikit bergetar.
Tama menatapnya dengan dahi berkerut. "Apa maksudmu?"
Leyla menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, menatap Tama dengan penuh keseriusan. "Aku merasa kamu telah merebut Freya dari Tuhan-nya, Tama."
Tama terkejut, tidak menyangka mendengar pernyataan seperti itu. "Apa yang kamu maksud dengan merebut dari Tuhan?" tanyanya, masih kebingungan.
Leyla menatap Tama dengan penuh keyakinan, lalu melanjutkan, "Sejak kamu masuk ke dalam hidup Freya, aku bisa melihat ada perubahan dalam dirinya. Dia mulai menjauh dari keyakinan dan ketenangannya yang dulu. Aku tahu kamu dan Freya saling mencintai, tapi aku merasa ini salah. Maafkan aku, Tama. Ini hanya perkiraan aku saja."
Tama terdiam sejenak, merenungkan perkataan Leyla. Ia selalu mencintai Freya dengan sepenuh hati, tetapi kata-kata ini seakan membuka sisi lain yang selama ini tidak ia sadari.
Leyla menambahkan, suaranya lebih lembut kali ini, "Aku bukan ingin menyalahkan kamu, Tama. Aku hanya khawatir, mungkin ini pertanda dari Tuhan untuk Freya. Mungkin Tuhan sedang mengingatkan dia, dan kamu juga, untuk tidak saling menjauhkan dari-Nya. Aku mohon, Tama, pikirkanlah kata-kataku. Aku nggak mau melihat Freya menderita, aku ingin Freya sehat kembali."
Tama menunduk, merasa berat oleh apa yang baru saja disampaikan Leyla. Dia mencintai Freya, tapi dia juga tak ingin menjadi alasan Freya kehilangan kedamaian spiritualnya. Setelah beberapa saat, Tama mengangguk perlahan. "Aku ... aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan?"
Leyla menghela napas lega, merasa sedikit lebih tenang setelah mengungkapkan isi hatinya. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Freya. Dan aku yakin, kamu juga begitu."
Mereka terdiam sesaat, tenggelam dalam pikiran masing-masing, sambil berharap bahwa cinta dan iman bisa menemukan jalan yang harmonis tanpa saling menghalangi.
***
Siang itu, di kamar rumah sakit yang sepi, Tama duduk diam di samping ranjang Freya. Mata Freya masih terpejam dalam keadaan koma, membuat hati Tama terasa berat setiap kali menatapnya. Udara di ruangan itu terasa hening, hanya suara mesin monitor jantung yang terdengar pelan, seperti mengiringi detak jantung Freya yang lemah.
Tama meremas tangan Freya yang dingin, berharap bisa merasakan kembali hangatnya genggaman tangan Freya seperti dulu. Namun, tubuh itu tetap diam, tanpa respons. Wajahnya yang biasanya ceria kini pucat, menambah sesak di hati Tama.
Ucapan Leyla terus berputar di pikirannya, menyusup ke setiap sudut hatinya yang sudah lama gundah. Kata-kata tentang bagaimana ia mungkin telah “merebut Freya dari Tuhan” masih menggema, membuat Tama terus bertanya-tanya. Dia mencintai Freya sepenuh hati, tapi kini dia mulai ragu apakah cinta itu telah membawanya menjauh dari hal yang seharusnya lebih penting dalam hidup Freya, keimanannya, hubungan spiritualnya dengan Tuhan.
Tama menatap wajah Freya dengan tatapan penuh cinta dan kebingungan. "Freya ... apa yang seharusnya aku lakukan?" bisik Tama, suaranya nyaris tak terdengar.
Dia menunduk, rasa bersalah menyelusup dalam dirinya. "Apakah aku telah salah? Apakah cintaku membuatmu menjauh dari apa yang lebih penting? Apa ... aku egois selama ini?"
Tidak ada jawaban, hanya kesunyian yang melingkupi ruangan itu. Tama menggenggam tangan Freya lebih erat, berharap ada keajaiban, sebuah jawaban yang bisa memberinya petunjuk. Air mata perlahan menggenang di matanya, sebuah perasaan ketidakpastian yang semakin menyiksa.
"Tolong ... berikan aku petunjuk," gumamnya lagi, kali ini lebih lirih. Tama menunduk, mencium punggung tangan Freya dengan penuh kasih, lalu bersandar pada kursi. Pikirannya berkecamuk, antara cintanya pada Freya dan ucapan Leyla yang seakan mengingatkannya untuk tidak hanya memikirkan perasaan mereka, tetapi juga sesuatu yang lebih besar, lebih mendalam.
Siang itu terasa semakin panjang bagi Tama, yang kini terjebak dalam dilema batin. Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan, tetapi satu hal yang pasti, ia tak akan pernah berhenti mencintai Freya, meskipun itu berarti harus melepaskan sebagian dari dirinya untuk mencari jawaban yang lebih besar.
Tiba-tiba, suara nyaring dari monitor di dekat ranjang Freya memecah keheningan yang menggantung di kamar rumah sakit. Suara bip-bip yang tadinya teratur berubah menjadi bunyi panjang yang menusuk telinga, membuat jantung Tama berdegup kencang. Matanya langsung tertuju pada grafik jantung di layar monitor, garis yang tadinya berdenyut pelan kini lurus, datar, tanpa tanda kehidupan.
"Freya!" seru Tama panik, suaranya gemetar. Dia segera bangkit dari kursi, mendekat ke ranjang, mengguncang lembut tubuh Freya yang tak merespons.
Dalam hitungan detik, pintu kamar terbuka lebar, dan para perawat serta dokter bergegas masuk ke dalam bilik Freya. "Tolong menjauh, Pak," kata salah satu perawat dengan cepat namun sopan, mendorong Tama agar mundur dari ranjang.
Tama, meski bingung dan cemas, terpaksa melangkah mundur, tubuhnya terasa kaku dan lemah. Dia berdiri terpaku, menyaksikan para dokter dan perawat bekerja cepat. Alat-alat medis dipersiapkan, dan suara instruksi dokter terdengar jelas di ruangan itu.
"Siapkan defibrillator. Kita akan mulai resusitasi," ujar dokter dengan nada tegas namun penuh ketenangan.
Tama hanya bisa menatap, hatinya seakan mencelos. Dunia terasa berputar lambat di sekitarnya, seolah waktu berhenti. Freya, wanita yang ia cintai, kini terbaring tak berdaya, sementara harapan seolah tergantung pada setiap detik yang berlalu.
"Ayo, Freya … bangunlah …" bisik Tama pelan, air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia tak mampu bergerak. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu dan berharap keajaiban terjadi.
Tama berjalan cepat meninggalkan kamar Freya, langkah-langkahnya terdengar berat dan terburu-buru. Dia tidak bisa lagi berada di sana, menyaksikan Freya terbaring tanpa daya sementara para dokter berjuang untuk menyelamatkan hidupnya. Sesuatu di dalam dirinya terasa meledak, perasaan tak berdaya, takut, dan putus asa. Dia hanya tahu satu hal: dia butuh tempat untuk merenung, untuk meminta petunjuk.
Tanpa berpikir panjang, kakinya membawanya ke sebuah kapel kecil yang berada di sudut rumah sakit. Kapel itu sunyi, hanya diterangi cahaya lembut dari jendela kaca patri. Di ujung ruangan, sebuah salib besar berdiri tegak, menjadi pusat perhatian. Tama melangkah mendekat, menatap salib itu dengan perasaan yang campur aduk.
Jantungnya berdebar kencang, pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan Freya, dan suara Leyla yang mengingatkan tentang iman Freya terus terngiang. Dia terdiam di hadapan salib, memandang dengan tatapan penuh pertanyaan. "Apakah ini tanda dari-Mu?" bisik Tama pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Apa aku sudah membuatnya jauh dari-Mu? Apa ini hukuman bagi kami berdua?"
Tama menunduk, air mata yang sejak tadi ia tahan mulai mengalir. Di tengah kesedihannya, dia merasa begitu kecil dan tak berdaya. "Aku tidak tahu bagaimana caranya meminta kepada-Mu, tapi tolonglah Freya," gumamnya dengan suara serak. Dia merasa terhimpit oleh rasa bersalah dan cinta yang tak terucap.