Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membujuk
Mumu berdiri di tengah ruangan ICU tepat di depan pasien yang sedang kritis.
Mumu tidak memperdulikan pandangan orang-orang di sekitarnya. Pimpinan Rumah Sakit, beberapa dokter serta perawat dan juga keluarga pasien menatap dalam diam. Tak punya ide untuk mengeluarkan suara.
Entah sejak kapan rupanya pasien kritis ini sudah dipindahkan dari IGD.
Dengan tenang, Mumu mulai mengeluarkan jarum-jarum akupunturnya dari dalam tas kecil yang selalu ia bawa.
Ia mulai mensterilkan jarum-jarum tersebut.
Melalui pengamatan menggunakan kekuatan spiritualnya, Mumu tahu bahwa pasien tua yang terbaring di hadapannya memiliki penyakit komplikasi yang sudah cukup parah.
Kondisinya lemah, seolah-olah harapan hidupnya sudah sangat tipis.
Tanpa banyak bicara, Mumu mulai bekerja. Ia menancapkan jarum-jarum itu di beberapa titik vital tubuh pria tua tersebut seraya mengalirkan sedikit kekuatan spiritualnya.
Semua orang yang ada di sana, Pimpinan Rumah Sakit, keluarga pasien, dan para perawat hanya bisa menatapnya dalam diam.
Meskipun banyak yang masih merasa marah atau bingung, mereka tidak bisa mengabaikan ketenangan dan keahlian Mumu.
Mereka seperti terhipnotis!
"Apakah ini akan berhasil?" Bisik seorang perawat kepada rekannya di sudut ruangan.
"Entahlah. Tapi kalau ada yang bisa, mungkin hanya dia." Jawab rekannya dengan nada pelan namun penuh harap.
Mumu tidak hanya menggunakan jarum-jarum akupunturnya.
Ia juga menggabungkan teknik penyembuhan dengan kekuatan spiritualnya sehingga jika orang lain gagal belum ia juga akan gagal.
Suasana menjadi hening, seolah seluruh ruangan tertelan oleh aura konsentrasi yang diciptakannya.
Tanpa terasa satu jam berlalu. Semua orang tetap terjaga dan memperhatikan, menunggu hasil dari apa yang Mumu lakukan.
Perlahan, pria tua itu mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Tubuhnya bergerak sedikit, napasnya yang tadinya lemah mulai terdengar lebih kuat.
Matanya yang semula tertutup kini terbuka, dan dia mulai sadar dari kondisinya yang kritis.
Anak laki-laki pria tua itu, yang tadinya marah besar kepada Mumu sontak terdiam dengan mulut menganga.
"Ayah... ayah sadar?" Gumamnya tidak percaya.
Dia segera mendekat ke ranjang ayahnya, menggenggam tangan pria tua itu dengan erat.
"Ayah, apakah kau merasa lebih baik?"
Pria tua itu tersenyum lemah.
"Aku merasa lebih baik... jauh lebih baik." Jawabnya dengan suara serak.
Melihat keajaiban itu, semua orang di ruangan tampak terkesiap. Tak ada yang menyangka bahwa Dokter Mumu, yang beberapa saat lalu dihadapkan pada kemarahan dan ancaman, berhasil membangkitkan kembali harapan hidup pada pria tua itu.
Setelah selesai, Mumu berdiri, dia menghela napas dan berkata,
"Ayah anda sudah lebih baik sekarang. Tapi jika ingin sembuh total, dia perlu diobati dengan intensif. Biarkan pihak Rumah Sakit yang bertanggung jawab melanjutkan pengobatannya."
Pimpinan Rumah Sakit, yang dari tadi hanya menonton dalam diam, maju mendekat dengan nada suara yang jauh lebih lembut daripada sebelumnya.
"Dokter Mumu, saya tidak menyangka kamu bisa melakukan ini. Tolong, jangan resign. Kita bisa bicara baik-baik. Kami butuh orang sepertimu di sini. Rumah Sakit ini tidak akan sama tanpamu."
Mumu menatap pimpinan rumah sakit dengan mata tenang.
"Pak, saya sudah memutuskan. Saya tidak bisa lagi bekerja di tempat di mana saya disalahkan untuk hal yang bukan tanggung jawab saya."
"Saya sudah bilang akan mengundurkan diri, dan saya tidak punya alasan untuk mengubah keputusan itu."
Pimpinan Rumah Sakit mencoba membujuk lagi.
"Tapi Dokter, ini semua hanya kesalahpahaman. Kami bisa memperbaiki semuanya."
"Kami akan memberimu lebih banyak wewenang dan kebebasan dalam bekerja. Tolong pikirkan lagi."
Namun, Mumu tetap pada pendiriannya.
"Saya menghargai tawaran Bapak, tapi keputusan saya sudah bulat. Terima kasih atas segalanya."
Anak dari pria tua yang sebelumnya marah-marah, kini merasa sangat bersalah.
Dia maju dan berdiri di hadapan Mumu dengan kepala tertunduk.
"Dokter Mumu... saya minta maaf atas sikap saya tadi. Saya telah salah paham."
"Tolong, tolong lanjutkan pengobatan Ayah saya sampai dia benar-benar sembuh. Kami akan bayar berapa pun yang Anda minta."
Mumu menatap pria itu sejenak sebelum menjawab dengan tenang.
"Maaf, Pak. Saya sudah mengobati Ayah Anda semampu saya, dan sekarang giliran Rumah Sakit yang akan menangani."
"Saya rasa hal ini bukan lah mustahil bagi mereka. Asalkan pengobatannya dilakukan dengan konsisten, bukan sesuatu yang mustahil bahwa Ayah Bapak akan seperti sedia kala. Saya tidak bisa terus di sini. Saya harus pergi."
Pria itu terlihat putus asa.
"Tolong, Dokter! Kami memohon."
Namun, Mumu hanya menggeleng pelan.
"Tanggung jawab saya sudah selesai. Saya yakin pihak Rumah Sakit bisa melanjutkan perawatan yang dibutuhkan. Saya sudah tidak bekerja di sini lagi." Dengan itu, Mumu mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangan.
Semua orang hanya bisa menatap kepergiannya dengan penuh penyesalan.
Mereka menyadari bahwa mereka telah bertindak sewenang-wenang terhadap seseorang yang seharusnya mereka hormati.
Pimpinan Rumah Sakit, yang tadinya begitu keras terhadap Mumu, kini hanya bisa menggelengkan kepala dengan perasaan bersalah.
"Dokter Mumu..." Bisiknya, namun suara itu tidak lagi didengar oleh Mumu yang sudah jauh dari ruangan.
Saat Mumu melangkah keluar dari Rumah Sakit, ia merasa lega.
Meski suasana di dalam ruangan tadi penuh dengan emosi, ia tahu bahwa dirinya telah bertindak sesuai dengan prinsip dan integritasnya.
Mumu tidak bisa bekerja di tempat yang tidak menghargai profesionalitasnya, dan ia tidak akan mengorbankan harga dirinya untuk sebuah pekerjaan yang tidak lagi sejalan dengan keyakinannya.
Di pintu keluar, ia melihat sekilas langit yang mulai berubah warna saat sore menjelang.
Tanpa menoleh kembali ke Rumah Rakit, ia berjalan mantap menuju tempat yang sepi dan kemudian segera berteleportasi meninggalkan kota Jogja.
...****************...
Imelda mendongak kan kepalanya. Dia melihat tapi tak ada sesuatu yang aneh.
Namun entah mengapa dia merasa hatinya mendadak kosong.
Dia merasa sesuatu yang hilang meninggalkan dirinya.
Dia tidak tahu apa itu yang jelas hatinya mendadak menjadi hampa.
"Imel..."
"Imel!"
"Imel...!!!"
Imelda terkejut. "Eh, Papa. Ada apa, Pa? Sejak kapan Papa ada di sini?"
"Sudah sedari tadi. Kenapa kamu bengong? Sedang memikirkan apa?"
"Ah, tidak ada apa-apa, Pa. Oh ya, kenapa Papa menemui Imel bukan kah seharusnya jam segini Papa biasanya masih sibuk bekerja." Imelda cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan.
"Memangnya harus ada waktu-waktu tertentu baru Papa bisa menemui putri Papa sendiri?"
"Bukan begitu, Pa...Imel merasa aneh saja Papa tiba-tiba datang menemui Imel..."
"He he...Papa sebenarnya ada keperluan sama kamu, Mel."
"Pertolongan apa, Pa?" Imelda mengernyitkan dahinya.
Tak biasanya papanya bertingkah seaneh ini.
"Papa ingin kamu membawa Papa menemui pemuda beristri yang pernah kamu taksir itu..."
"Apa??" Mata Imelda melotot karena terkejut dan tangannya tanpa sadar menutup mulutnya yang terbuka lebar.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...