Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha Menghilangkan Stres
Setelah kejadian di taman, Karin merasa semakin tertekan. Dia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama di luar, jadi dia meminta Arga untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan pulang, mereka berdua tenggelam dalam keheningan. Tidak ada yang berani membuka suara, seolah-olah kata-kata itu hanya akan memperburuk suasana hati mereka.
Mobil melaju perlahan, membawa Karin kembali ke rumah. Sesekali Arga melirik ke arah Karin, tapi dia tahu bahwa tidak ada gunanya memaksa Karin untuk berbicara saat ini.
Begitu sampai di depan rumah Karin, dia langsung membuka pintu mobil tanpa banyak bicara. Arga hanya bisa menatapnya dengan rasa bersalah yang semakin dalam.
Karin: "Makasih udah nganter, Ga. Gue masuk dulu."
Arga hanya mengangguk, dan Karin masuk ke dalam rumah dengan langkah berat. Namun, belum sempat dia menarik napas lega, suara keras terdengar dari dalam rumah.
Bu Salma: "Karin! Kamu dari mana aja? Kenapa nggak les? Mama udah bilang berkali-kali, les itu penting buat masa depan kamu! Kenapa kamu malah keluyuran?!"
Karin: "Ma... maaf, tadi aku cuma... cuma..." suaranya bergetar, bingung mencari alasan.
Bu Salma mendekat dengan wajah marah.
Bu Salma: "Jangan cuma 'maaf', Karin! Kamu harus serius dengan pendidikanmu! Mama nggak mau lihat kamu gagal hanya karena kamu nggak disiplin. Apa kamu pikir cita-cita kamu jadi dokter itu bakal mudah diraih kalau kamu terus-terusan begini?"
Kata-kata ibunya seperti tusukan yang menambah beban di hati Karin. Ia hanya bisa menunduk, menahan air mata yang sudah hampir tumpah. Dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin memberitahu ibunya tentang semua yang dia alami, tentang ketakutannya, tentang kesalahan yang dia buat. Tapi, dia tidak bisa.
Karin: "Iya, Ma... Maaf."
Dengan perasaan berat, Karin menuju kamarnya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh begitu ia menutup pintu kamar.
Setelah perdebatan dengan ibunya, Karin merasa begitu lelah dan tertekan. Dia masuk ke kamar, melepaskan seragamnya, dan langsung menuju kamar mandi. Air dari pancuran membasahi tubuhnya, tapi pikirannya terus berputar-putar. Semua yang terjadi akhir-akhir ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Sambil membasuh tubuhnya, Karin tiba-tiba teringat sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Kenapa gue belum PMS juga?" pikirnya. Setiap bulan, siklusnya biasanya teratur, tapi sekarang sudah beberapa hari terlambat. Rasa cemas itu langsung menjalar ke seluruh tubuhnya.
Karin berusaha tenang, tapi semakin dia mencoba mengabaikan, semakin pikiran itu menghantui. Dia ingat semua yang telah dia alami bersama Arga. Kesalahan itu, malam yang membuat hidupnya berubah, terus-menerus menghantui pikirannya.
"Apa mungkin...?" Karin tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu dalam benaknya. Dia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. "Nggak mungkin," bisiknya pada dirinya sendiri. Dia mengingat apa yang Arga katakan soal dia tidak mungkin hamil. Tapi tetap saja, rasa takut itu tidak bisa pergi begitu saja.
Selesai mandi, Karin duduk di tepi tempat tidurnya dengan handuk melilit tubuhnya. Dia menatap ke cermin, wajahnya tampak letih dan penuh kecemasan. "Kenapa gue harus ngalamin semua ini?" gumamnya pelan, merasa dunia seakan sedang menguji keteguhan hatinya.
Saat Karin masih duduk termenung di kamar, tiba-tiba terdengar suara ibunya, Bu Salma, memanggil dari ruang makan.
"Karin! Ayo makan malam! Ibu sama Bapak udah nungguin!" teriak ibunya dengan nada tegas seperti biasa.
Karin menghela napas panjang. Ia merasa belum siap menghadapi obrolan keluarga. Tapi, ia tahu tidak ada gunanya menolak. Ia segera mengenakan pakaian dan berjalan perlahan menuju ruang makan.
Di meja makan, Bu Salma sudah menata hidangan sementara Pak Roby duduk dengan ekspresi tenang. Keduanya menoleh ke arah Karin ketika dia mendekat dan duduk di kursinya.
"Kenapa lama banget, Rin?" tanya Bu Salma, sedikit kesal.
Karin hanya mengangguk pelan tanpa berkata banyak. Ia berusaha menenangkan diri dan tersenyum tipis, walaupun hatinya berat.
“Kamu harus tetap fokus belajar ya jangan males sayang, kata mamah kamu tadi ngga les. Mamah sama Papah mau kamu bisa masuk kampus kedokteran paling bagus di Indonesia. Kita udah cari informasi soal beasiswa, dan kamu bisa dapet itu kalau nilai kamu stabil." Kata pak roby, memulai pembicaraan serius.
"Betul," tambah Bu Salma. "Masa depan kamu ada di depan mata. Jangan buang waktu buat hal-hal yang nggak penting. Fokus sama kuliah, sama cita-cita kamu jadi dokter."
Karin mendengarkan dengan diam. Hatinya seolah terbelah dua, di satu sisi, dia tahu kedua orang tuanya sangat mendukungnya, Di sisi lain, Karin merasa tertekan karena semua masalah yang dia pendam.
"Tapi mamah yakin kamu bisa, Rin. Kamu anak pintar. Jangan kecewain mamah sama papah, ya?" lanjut Bu Salma dengan senyum penuh harapan.
Karin menatap mereka berdua, berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa sangat berat. Ia hanya bisa mengangguk dan menyuap makanannya perlahan.
Setelah selesai makan malam, Karin segera kembali ke kamarnya. Saat ia duduk di depan meja belajarnya, pikirannya kembali dipenuhi oleh segala kemungkinan terburuk yang menghantui hari-harinya, rasa takut karena belum juga mengalami PMS, kenangan tentang Arga, serta tekanan besar dari orang tuanya.
Namun, Karin menyadari bahwa merenungi masalah itu terus-menerus hanya akan membuatnya semakin tertekan. Ia mencoba untuk menyingkirkan segala kekhawatirannya dan memfokuskan dirinya pada satu hal yang selalu ia genggam: cita-citanya menjadi dokter.
Dia menarik napas panjang, membuka buku-bukunya, dan mulai mengerjakan soal-soal biologi yang selama ini menjadi bagian dari rutinitas belajarnya. Walaupun ada rasa cemas di sudut hatinya, Karin tahu bahwa melangkah maju adalah satu-satunya jalan keluar dari kekacauan ini.
"Fokus, Rin... fokus," bisiknya kepada diri sendiri, mengingatkan bahwa ia tak boleh kalah oleh situasi.
Selama beberapa jam, Karin benar-benar tenggelam dalam buku-bukunya. Rasa khawatir yang tadinya menghantui sedikit demi sedikit memudar seiring dengan meningkatnya konsentrasinya.
——
Karin terbangun dengan rasa kantuk masih menggantung di matanya. Dia melihat jam di ponselnya dan terkejut, "Aduh, udah pagi!" katanya sambil bergegas bangkit dari tempat tidur. Tanpa membuang waktu, dia langsung mandi dan siap-siap untuk turun ke bawah.
Ketika sampai di lantai satu untuk sarapan bersama orang tuanya, betapa terkejutnya dia melihat sosok Arga sudah duduk di meja makan, berbincang dengan santai bersama ibunya, Bu Salma, dan ayahnya, Pak Roby. Arga tersenyum melihat Karin yang masih terlihat buru-buru.
"Hey, udah siap? Sesuai janji, kan, aku bakal antar dan jemput lo," kata Arga sambil sedikit menyeringai.
Karin, yang tadinya kaget, hanya bisa mengangguk sambil duduk di kursi kosong di sebelahnya. "Iya, makasih," jawabnya singkat, masih merasa canggung dengan janji yang Arga buat.
Mereka memang sepakat bahwa Arga akan mengantar jemputnya, sekaligus mengajaknya jalan-jalan sesekali, supaya Karin tidak terlalu stres, apalagi setelah kejadian yang mereka berdua alami.
Bu Salma tersenyum kepada Arga. "Syukurlah kalau kamu mau bantu Karin. Akhir-akhir ini dia memang kelihatan capek banget," ucapnya lembut.
Pak Roby yang duduk di ujung meja ikut menyambung. "Karin harus fokus sekolah, Arga. Terima kasih sudah mau bantu antar jemput."
Arga tersenyum lagi, kali ini agak tegang. "Iya, Pah. Saya bakal bantu Karin biar nggak stres dan bisa fokus lagi sama belajarnya."
Sambil menyendok makanannya, Karin hanya bisa mendengarkan percakapan mereka tanpa banyak bicara.
Setelah sarapan selesai, mereka berdua berpamitan dengan orang tua Karin. Di dalam mobil, suasana agak canggung di antara mereka. Namun, Arga mencoba mencairkan suasana.
"Jadi, nanti setelah pulang sekolah, kita jalan-jalan ya. Gue tahu tempat bagus buat bikin pikiran lo lebih tenang," kata Arga sambil menatap jalan.
Karin hanya mengangguk pelan. "Iya, kita lihat aja nanti, soalnya balik sekolah gue kerumah dulu terus les.”balasnya singkat, masih merasa campur aduk di dalam hati.
“Oh yauda kalo gitu gue antar lu pulang kerumah terus anter ke tempat les gue tungguin sampe balik, paling sejam terus kita jalan-jalan sebentar ya biar ngga stress” argaaa
“Okeee” karin sambil tersenyum
Di dalam mobil, suasana hening kembali menyelimuti mereka berdua. Arga melirik ke arah Karin yang duduk di sampingnya, Setelah beberapa saat, Arga bertanya dengan hati-hati, "Hari ini... belum PMS juga?"
Karin hanya menggelengkan kepalanya pelan, tanpa berkata apa-apa.
Arga menghela napas panjang. Dia melihat ada kesempatan ketika jalanan sedikit lengang, lalu memutar arah mobilnya.
“Eh, mau kemana ko kita nggak ke arah sekolah?" Karin dengan nada terkejut.
Arga tersenyum kecil sambil tetap fokus menyetir. "Kita mampir dulu ya, gue mau ke tempat lain dulu sebentar."
"Mau ke mana?" tanya Karin penasaran, tapi tetap tenang.
"Mau beli jamu kunyit buat lo lagi," jawab Arga tanpa ragu. "Biar PMS lo lancar.“
Karin terdiam sejenak, menatap Arga yang begitu serius. "Jamu lagi?"
Arga mengangguk. "Iya, gapapa ya?.”
Karin mengangguk, akhirnya setuju. "Iya, deh.”
Mereka terus melaju menuju tempat penjual jamu langganan mereka, kali ini dalam suasana yang lebih ringan.