NovelToon NovelToon
Istri Dari Ketua Geng Motor

Istri Dari Ketua Geng Motor

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:16.8k
Nilai: 5
Nama Author: Laura Putri Lestari

Air mata terus mengalir dari sepasang bola mata abu-abu yang redup itu. Di dalam kamar sempit yang terasa semakin menyesakkan, Aria meringkuk, meratapi nasib yang menjeratnya dalam belenggu takdir yang tak pernah diinginkannya. Aria, gadis polos nan culun, begitu pendiam dan penurut. Orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan anak dari bos ayahnya, sebagai jalan keluar dari kejahatan sang ayah yang telah menggelapkan uang perusahaan. Aria tidak berani menolak, tidak berani melawan. Ia hanya bisa mengangguk, menerima nasib pahit yang seolah tak ada ujungnya.

Tanpa pernah ia duga, calon suaminya adalah Bagastya Adimanta Pratama, lelaki yang namanya selalu dibicarakan di sekolah. Bagastya, si ketua geng motor paling ditakuti se-Jakarta, pemimpin SSH yang tak kenal ampun. Wajahnya tampan, sorot matanya dingin, auranya menakutkan. Dan kini, lelaki yang dikenal kejam dan berbahaya itu akan menjadi suami dari seorang gadis culun sepertinya. Perbedaan mereka bagaikan langit dan bumi—mustahi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengurai Ketegangan

Setelah Bagastya masuk ke kamar, Aria berdiri terdiam di ruang tamu, mencoba menenangkan hatinya yang masih bergejolak. Perasaan bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri bercampur menjadi satu, membuatnya merasa begitu kecil. Dia tahu Bagastya marah karena dia khawatir, tapi tetap saja, kata-kata tajam Bagastya tadi meninggalkan luka yang dalam.

Aria perlahan berjalan menuju sofa dan duduk, menarik napas panjang untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Kepalanya masih dipenuhi dengan bayangan kejadian di gang tadi, dan dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana semuanya bisa berakhir lebih buruk jika Bagastya tidak datang tepat waktu.

Jam di dinding berdentang pelan, menunjukkan sudah lewat tengah malam. Aria merasa terlalu lelah untuk berpikir, tapi dia juga tahu kalau tidur bukanlah solusi. Dia memutuskan untuk mandi, berharap air hangat bisa meredakan ketegangan yang masih membelenggu tubuhnya.

Setelah selesai, Aria mengganti bajunya dengan piyama yang nyaman, Setelah keluar Walk In Closet dia melihat Bagastya yang beru saja masuk dari baklon.

Setelah insiden yang membuatnya terguncang, Aria hanya bisa berdiri di posisinya dengan perasaan bersalah yang tak terlukiskan. Bagastya, masih dalam keadaan marah dan frustrasi, menatap Aria sejenak sebelum berjalan menuju kasur tanpa sepatah kata pun.

Aria tahu bahwa malam ini mereka tidak akan bicara lebih banyak lagi. Rasa cemas dan ketakutan masih menggelayuti pikirannya, sementara kata-kata Bagastya yang penuh kemarahan tadi terus terngiang di kepalanya. Dia menunduk, lalu tanpa bicara lagi, dia berjalan pelan ke arah sofa tempatnya tidur.

Aria mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Vernon.

Vernon: "Aria, kamu udah sampai di rumah? Maaf ya tadi kita nggak sadar udah terlalu malam."

Aria tersenyum tipis membaca pesan Vernon, merasa sedikit lega ada yang peduli padanya. Dia kemudian membalas pesan itu.

Aria: "Udah, Vern. Nggak apa-apa, ini juga salahku yang nggak lihat jam. Kamu istirahat aja, besok kita lanjutin latihannya."

Vernon tidak membalas lagi, mungkin dia sudah tertidur. Aria meletakkan ponselnya di meja, lalu menghela napas panjang. Perlahan, dia berbaring di sofa, mencoba menutup matanya dan memikirkan apa yang harus dilakukan besok.

Namun, pikiran tentang Bagastya dan amarahnya terus menghantui Aria. Dia tahu Bagastya mencintainya, tapi dia juga tahu bahwa sikapnya tadi adalah ekspresi dari kekhawatiran yang begitu besar. Bagastya tidak pernah benar-benar marah padanya sebelumnya, dan itu membuat Aria merasa semakin bersalah.

Tanpa sadar, air mata kembali mengalir di pipinya. Malam yang seharusnya membawa kedamaian malah dipenuhi dengan rasa takut, kesedihan, dan penyesalan. Aria tahu dia harus lebih berhati-hati ke depannya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk menjaga perasaan Bagastya.

Aria perlahan berbaring di sofa, tubuhnya yang lelah berusaha menemukan kenyamanan meskipun pikirannya terus berputar. Dia menutup matanya, mencoba melupakan kejadian malam ini dan tidur, namun bayangan Bagastya yang marah membuatnya sulit untuk tenang.

Di sisi lain kamar, Bagastya merebahkan diri di kasur, namun matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamar. Perasaan marah dan khawatir masih memenuhi hatinya, meskipun dia tahu bahwa Aria juga merasakan hal yang sama. Baginya, melindungi Aria adalah hal yang paling penting, namun dia juga merasa tertekan oleh tanggung jawab itu.

Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing, berada di kamar yang sama namun merasa begitu jauh satu sama lain. Aria menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang kembali ingin keluar. Dia merasa sendirian meskipun Bagastya ada di dekatnya. Kesalahannya malam ini terasa begitu besar, dan dia hanya bisa berharap semuanya akan membaik esok hari.

Malam itu terasa panjang bagi mereka berdua, dengan Aria yang tertidur dengan hati yang berat , dan Bagastya yang terus bergelut dengan pikirannya. Mereka terlelap dalam kegelisahan, mencoba menenangkan diri di tengah badai emosi yang melanda.

Esok paginya, sinar matahari yang lembut mulai menerobos tirai kamar, memberi tanda bahwa hari baru telah tiba. Namun, bagi Aria dan Bagastya, pagi itu tidak membawa banyak kelegaan. Keduanya masih terjaga dari semalam, dan suasana di kamar mereka terasa berat.

Aria membuka matanya dengan perlahan, merasa lelah dan tidak nyaman setelah semalaman tidur di sofa. Dia merenggangkan tubuhnya, mencoba mengusir rasa sakit di punggungnya. Sementara itu, Bagastya masih tertidur di kasur, wajahnya tampak tegang meskipun dia belum sepenuhnya bangun.

Aria mencoba bergerak dengan hati-hati agar tidak membangunkan Bagastya. Dia memutuskan untuk memulai hari dengan membuat sarapan, berharap aktivitas sederhana ini bisa sedikit membantu meredakan ketegangan di antara mereka. Dia melangkah keluar dari kamar dan menuju dapur, mengatur suasana hati dan berusaha untuk tidak memikirkan masalah semalam.

Sementara Aria sibuk di dapur, Bagastya terbangun dan mendengar suara aktivitas di luar kamar. Dia duduk di tempat tidur, menggosok matanya dan mencoba mengumpulkan pikirannya. Dia merasa tidak nyaman dengan suasana yang canggung antara mereka, tetapi dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan Aria tentang kejadian semalam.

Bagastya akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar dan menuju dapur. Ketika dia melihat Aria berdiri di depan kompor, menyiapkan sarapan, dia merasa sedikit lega melihat bahwa Aria tampak ingin memperbaiki keadaan. Dia mendekati Aria dengan langkah pelan, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.

"Selamat pagi," ucap Bagastya dengan suara datar, mencoba terdengar lebih tenang daripada semalam.

Aria menoleh dan memberikan senyuman tipis. "Pagi, Bagas. Aku udah siapin sarapan. Mau sesuatu?"

Bagastya mengangguk. "Iya, terima kasih. Apa yang lo buat?"

Aria mulai menyajikan sarapan sederhana—sebuah sandwich dan secangkir teh hangat. Sambil menyajikannya, dia berusaha menghindari tatapan Bagastya, merasa malu dan bersalah.

Bagastya mengambil sandwich dan duduk di meja makan. Mereka makan dalam keheningan, keduanya merasa canggung dan berat. Aria mencoba berusaha terlihat tenang dan tidak ingin menambah ketegangan. Bagastya, di sisi lain, berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk berbicara.

Setelah beberapa suap, Bagastya akhirnya memecahkan kebisuan. "Aria, tentang kemarin malam... Gua cuma mau bilang, gua khawatir banget. Gua nggak suka lo pulang larut sendirian, dan gua tahu gua mungkin marah lebih dari yang seharusnya."

Aria menatap Bagastya dengan mata yang masih terlihat lembap, dan mengangguk perlahan. "Aku ngerti, Bagas. Aku juga merasa bersalah banget. Aku seharusnya lebih hati-hati dan memikirkan keselamatanku."

Bagastya menarik napas panjang, perasaan marahnya perlahan-lahan mereda. "Gua tahu lo punya banyak aktivitas yang penting buat lo, dan gua nggak mau ngehambat lo. Tapi gua cuma pengen lo aman. Bisa kita sepakat buat lebih hati-hati ke depannya?"

Aria tersenyum tipis, merasa lega mendengar kata-kata Bagastya. "Iya, Bagas. Aku janji akan lebih memperhatikan keselamatan dan waktuku. Aku juga ngerti kalau kamu khawatir, dan aku benar-benar minta maaf karena bikin kamu stres."

Bagastya mengangguk, merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara. "Oke, kalau gitu. Gua juga minta maaf kalau gua terlalu keras kemarin malam."

Ntah kemana pergi niatnya saat itu yang ingin membuat Aria menderita. Bagastya juga tidak tau, saat dia ingin membuat gadis ini menangis maka hatinya terasa sangat tidak nyaman.

--

1
JoddyRizka Permana Putra
baik
Retno Harningsih
up
Neneng Dwi Nurhayati
kak buat Aria pergi jauh dari Bagas,kasian
Nabila
jangan berharap dengan orang yang gak mengerti dengan perasaanmu aria, carilah orang yg benar benar sayang kamu , bagastya pasti akan menyesal menyakiti cewek sebaik kamu
Erma Triwiyatmi
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!