Semoga kisah nikah dadakan Atun Kumal dekil, dan Abdul kere menang judi 200 juta ini menghibur para readers sekalian...🥰🥰🥰
Happy reading....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembantu dadakan.
Atun terdiam sejenak, dia memikirkan ucapan emaknya. Hatinya merasa itu ada benarnya, tapi logikanya menolak lantaran Abdul begitu baik sebelumnya.
"Mungkin Mas Abdul sedang banyak pikiran Mak. Dia di pecat dari pekerjaannya."
Emak Rodiah tersenyum sinis diantara rasa ngilu yang membuat ia meringis, Emak menggeleng. "Abdul itu sudah bermain judi sejak masih bujangan. Apakah kamu tidak tahu? Dia sampai menggadaikan hpnya sebanyak empat kali kepada rudy, pemilik konter ponsel di tikungan jalan utama itu."
Atun menatap emak dengan sorot mata entah. Dia bingung mendengar ucapan emak, apakah ia harus percaya. Tapi, kembali lagi teringat dengan Abdul yang sempat meyakinkannya ketika awal menikah. "Sebelumnya mas Abdul tidak pernah macem-macem kok!" jawabnya.
Emak pun semakin mendesah berat, kesal rasanya memiliki anak yang terlalu bodoh seperti Atun, sama sekali tidak ada cerdas-cerdasnya. Dia begitu percaya kepada abdul yang sudah jelas menghasilkan uang 200 juta karena bermain judi. Masak iya tak paham juga, tentulah Abdul akan mengulanginya lagi.
Hening, Atun sibuk dengan pikirannya. Sementara emak kembali rebahan tanpa bicara. Mungkin malas karena pipinya terasa nyut-nyutan.
"Apa sebaiknya emak pulang ke rumah saja, biar Atun bisa menjaga emak. Tidak harus bolak-balik ke sini." ucap Atun setelah beberapa saat. Ia mengalihkan topik pembicaraan.
"Enggak lah Tun. Emak masih ingin di sini." jawab emak Rodiah.
Atun mengangguk saja, padahal selama ini perempuan tua itu bersikeras tinggal di rumah warisan ibunya Atun, di usir pun ia tak mempan. Entah mengapa dan kenapa saat ini emak Rodiah malah enggan untuk pulang.
Hari sudah semakin siang, tamu yang datang di rumah Bima itu kini sudah pulang. Ternyata mereka makan siang bersama di rumah Rara. Ya, walupun tanpa dirinya.
Atun sengaja tidak menampakkan diri ketika mereka sedang bercengkrama sambil menikmati hidangan. Bahkan Rara menghantarkan bubur untuk emaknya ke dalam kamar. Tentulah Atun menyuapi sang emak dengan sabar. Itu lebih baik daripada di sangka pembantu bagi semua orang.
"Apakah Emak sudah makan?" tanya Ajeng tiba-tiba sudah diambang pintu.
"Sudah Mbak." Atun meraih mangkuk yang sudah kosong lalu membawanya keluar.
"Kamu makan gih!" titah Rara kepada adiknya yang baru saja keluar dari kamar emak.
Atun menatap meja makan yang penuh dengan lauk pauk yang masih tersisa setengah-setengah di dalam piring mewah nan lebar milik Rara. Cacing di dalam perutnya langsung meronta ingin segera menyantap makanan tersebut. Dari pagi ia belum memakan apapun, dan sekarang ia sudah tidak tahan lagi. Atun segera mengambil piring dan mengisinya dengan makanan.
"Nanti kalau sudah makan, kamu bereskan semuanya ya Tun." titah Rara lagi.
Atun mengangguk tanpa menyahut, baru saja ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya, rasanya sungguh nikmat, membuat enggan bicara. Ia juga tidak sadar kalau Rara sedang memperlakukannya seperti pembantu.
Begitulah kalau saudara yang miskin berada di rumah saudara yang kaya. Makan sepiring nasi beserta lauk yang tak seberapa harus di bayar dengan tenaga, membereskan meja makan, atau minimal mencuci piring.
Tak hera, itu sudah biasa bagi Atun, hidup sulit dan kekurangan. Menumpang makan di rumah orang. Di hina dan tidak di hargai pun tak asing lagi. Tapi sedikit merasa sakit ketika Abdul yang melakukan itu kepadanya, entahlah...
Mendadak tangannya berhenti memasukkan makanan ke dalam mulut, nasi yang tinggal separuh itu mendadak terasa hambar ketika pikirannya melayang kepada abdul.
Ia segera meraih air putih dan meneguknya hingga habis. Lanjut dengan membereskan meja yang berserakan piring kotor itu, entah mengapa tadi ia tidak melihatnya sama sekali. Dia baru menyadari jika meja besar itu sangat berantakan.
Sungguh repot Atun hari ini, ia membereskan meja besar itu sendiri, mencuci piring yang sangat banyak juga sendiri, belum lagi perkakas di dapurnya Rara yang berantakan kini sudah rapi, kinclong lagi.
"Mbak, aku mau pulang." pamitnya kepada Rara, ia menggosok-gosokkan tangan basahnya ke baju bagian belakang.
"Iya." jawab Rara, tanpa rasa bersalah ia menjawab singkat, bahkan kata terimakasih pun tidak keluar dari mulutnya.
"Aku boleh minta sisa makanan yang di atas meja tadi itu Mbak?" Atun menunjuknya, dengan Ragu ia meminta ikan yang tinggal separuh, Atun sengaja menyisakan satu piring yang belum di cuci.
"Ya, ambil saja." begitulah jawaban Rara.
"Terimakasih Mbak." ucap Atun senang, ia segera mengambil plastik dan memasukkannya.
Ikan yang sangat besar dengan bumbu saos yang nikmat, Atun tidak akan bisa memasak makanan mewah itu. Dia begitu bahagia mendapatkannya.
Ia berjalan pulang dengan menentang kantong plastik hitam di tangannya. Kantong celananya yang sudah melar itu juga tidak kosong, Rara memberinya uang lima puluh ribu tadi, di tambah lagi ongkos naik ojek dua puluh ribu. Banyak sekali menurut Atun. Padahal itu hanya cukup untuk naik ojek bolak-balik jika Rara membutuhkan bantuan Atun lagi.
"Lho, Tun. Kamu belum pulang?"
Senyum yang mengembang di bibir Atun itu menghilang, ia menoleh.
"Mas Ammar? Ngapain di sini?" tanya Atun, ia menoleh ke kanan dan kiri namun tidak melihat Ajeng di sekitarnya. Bahkan pria itu hanya sendirian tidak mendapati siapapun di sana.
"Aku sedang...." Ammar menggantung kata-katanya. Ia tampak ragu, tingkahnya juga serba salah. Aneh!
"Sedang apa?" tanya Atun lagi, ia sungguh penasaran.
"Oh, aku sedang menunggu teman Tun. Tadi katanya minta di tunggu di sini, karena dia tidak tahu rumah Mbak Rara." jawab Ammar.
"Oh." Atun mengangguk-angguk.
"Tapi sepertinya ndak datang." sambung Ammar lagi, ia terlihat gugup.
"Mbak Ajengnya mana?" tanya Atun lagi.
"Dia sedang ada urusan tadi." jawab Ammar, ia menilik wajah adik iparnya itu, lalu berkata. "Ya sudah, Mas antar kamu pulang, sekalian."
"Hah!" Atun tampak berpikir, kembali lagi ia memikirkan uang yang ada di kantong celananya yang lusuh itu. Kalau tidak naik ojek maka uangnya tak akan berkurang.
"Ayok lah Mas." Tanpa basa-basi ia sudah siap menaiki sepeda motor Ammar.
"Ayok." ajak Ammar, mereka pun pulang meninggalkan komplek perumahan mewah itu.
"Abdul kemana Tun?" tanya Ammar ketika mereka sedang dijalan.
"Tadi pagi pergi Mas. Sepertinya mau menemui rekannya yang mengajak bisnis bareng." ucap Atun sesuai dengan yang dikatakan Abdul.
"Bisnis apaan Tun?" tanya Ammar penasaran.
"Aku yo tidak tahu Mas. Tapi katanya lagi butuh modal, dan itu kemarin akan bekerja sama dengan temannya. Mas tahu tidak?" tanya Atun memiringkan kepalanya, agar terdengar jelas di telinga sang kakak ipar.
"Ya tidak tahu Tun?" sahut Ammar sedikit kesal.
"Temannya mas Abdul itu rumahnya di perumahan yang sama sama Mbak Rara." jelas Atun. Namun membuat kakak iparnya itu kaget, lalu berhenti mendadak.
"Aaaghhhh....!" Atun menjerit, terkejut.
"Maaf Tun." sahut Ammar.
"Aku belum mau mati lho Mas." ucapnya sambil ngos-ngosan.
"Maaf." Ammar nyengir kuda.
"Aku tidak mau mati sia-sia, tak kan ku biarkan Mas Abdul menjadi duda, ke enakan dia." omelnya kepada sang kakak ipar, sambil mengelus dada.
Sementara Ammar tampak berpikir, wajahnya tegang dan bingung.
seumur hidup itu terlalu lama untuk mendampingi org yg kecanduan judi ..sudah dihancurkan kenyataan jgn lah meninggikan harapan mu Tun 😌😌
Dibalik lelaki yg sukses ,ada wanita yg terkedjoet dibelakang nya..sukses dah si Abdul bikin kejutan buat emak nya sama kamu Tun..dan tunggu aja akan ada kejutan lain nya /Pooh-pooh//Pooh-pooh/
judul nya ganti Istri Ayahku ternyata Ibuku,dan Ayahku ternyata Laki Laki 🙀😿
orang kaya emang suka begitu, lagunya tengil..kek duit nya halal aja ( kasino warkop )