Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Chat ia kirim. Arin menunggu sambil berpindah membuka-buka halaman sosial medianya. Lima menit berlalu, tidak kunjung dibalas juga.
Arin mulai resah.
Saat akan mengirim chat berikutnya, tiba-tiba muncul balasan. Bibirnya melebar sempurna.
"Siapa?" tulis akun sosial media yang diberi nama ' Farhan'. Meskipun hanya berisi satu kata, tetapi sudah memancing rasa bahagia seorang Arin. Ia tak menunggu lama untuk membalasnya.
"Arin, Mas. Arin adiknya mas Aris." Dikirimnya chat balasan. Ia kembali menunggu dengan gelisah. Tak sabar ingin mengetahui tanggapan pria yang diduga Farhan tentang dirinya.
"Nggak dibalas-balas, ya?"
Lebih dari lima menit ia menunggu. Berakhir di menit ke Dua puluh pun belum terlihat chat balasan. Akhirnya, Arin menutup media sosialnya. Berharap esok ketika membuka mata, ada satu kepastian tentang pertanyaannya.
Sementara itu di bagian lain, Arumi tampak digandeng Aris ke luar dari kediaman Wijaya. Acara akikah keluarga Wijaya telah selesai, meninggalkan beberapa sanak saudara yang masih tinggal. Beberapa tamu terbatas yang diundang telah meninggalkan rumah mewah itu, hanya menyisakan pasangan mereka berdua yang terakhir.
Mobil berwarna hitam yang dikemudikan Aris meninggal halaman. Dalam perjalanan, Aris melirik Arumi, memastikan rona bahagia di wajah wanitanya. Namun, terhalang oleh cadar yang menutupi. Sehingga mau tak mau iapun melempar tanya.
"Bagaimana pertemuanmu dengan bu Lidia?"
Mendengar pertanyaannya itu, Arumi menoleh dan menjawab, " Mas tau enggak, bu Lidia ternyata sangat baik. Beliau ingin berteman denganku, bahkan memintaku bergabung dengan kajian yang diikutinya."
"Sudah kuduga. Melihat bu Lidia mengenakan cadar saat pak Wijaya memperkenalkan dengan kita, aku sudah yakin kalau tujuan bu Lidia mengundang kita pasti ada hubungan dengan itu."
"Memang. Beliau sendiri mengakuinya. Sejak di acara gathering family itu, sebenarnya Rum ingin dikenalnya. Tapi baru bisa terlaksana saat sekarang ini."
"Beruntung kamu, Rum. Setidaknya, kalau ada acara kantor, kamu punya teman."
"Iya, Mas."
"Jadi lega."
"Jadi punya teman."
"Bukan karena itu, Rum. Aku pikir tadi, mungkin kita bakal mendapat masalah. Sejak dua hari terakhir ini, mas di kantor merasa diinterogasi oleh Pak Wijaya. Aku curiga, karena biasanya pak Wijaya melakukan itu pada bawahan yang bermasalah. Misalnya, kurang disiplin, kerjaan nggak beres, punya skandal di luar yang berpengaruh pada pekerjaan. Nah, aku takutnya seperti itu."
"Mas kan nggak pernah membuat masalah di kantor, buat apa takut?"
"Was-was saja, Rum. Akhir-akhir ini, aku sering melewatkan kesempatan penting yang diberikan langsung oleh pak Wijaya." Aris menggantung ucapannya, membuat Arumi penasaran.
"Mas punya masalah?"
"Gara-gara Nijar."
Arumi bisa menebak saat Aris menyebut nama itu. Kalian bertengkar? Atau jangan-jangan, Mas Nijar sudah tau siapa itu Utari?"
"Kamu merasa bagaimana, Rum? Apa kamu merasa ada yang mengikutimu? Soalnya Nijar menyewa banyak preman untuk mencari keberadaanmu."
Arumi mencoba mengingat-ingat.
"Di toko, mungkin ada satu dua pembeli yang mencurigakan?"
"Nggak ada, Mas. Apa nggak sebaiknya Mas bilang sejujur-jujurnya tentang aku? Bilang saja kalau Utari adalah aku, istrimu."
"Sudah kupikirkan, Rum, tapi aku belum menemukan cara yang tepat untuk menyampaikannya. Dua hari ini hubungan kami sedikit memanas."
"Jangan-jangan, dia sudah tau?"
"Nggak. Itu semua gara-gara aku. Pokoknya aku yang punya salah. Kalau bilang jujur sekarang, kayaknya belum mungkin. Tunggu sampai suasana dingin dulu."
"Terserah Mas Aris saja bagaimana baiknya. Rum percaya, Mas bisa menyelesaikannya."
Aris tersenyum. "Terima kasih, ya, Rum. Mas pasti segera menyelesaikannya."
.
.
.
Arin menyeret kaki keluar kamar. Langkahnya gontai disebabkan oleh harapan yang kosong. Pria preman yang diduga Farhan tidak membalas chat yang Arin kirim.
Arin tetap yakin, bahwa gelang preman di lengan kiri itu hanya Farhan lah pemiliknya. Kepala sampai sakit karena tidur yang tidak nyenyak.
Semalam, dirinya terjaga berkali-kali hanya demi memastikan bahwa chatnya bisa dibalas. Namun, hingga sepagi ini tidak ada satupun chat yang masuk.
Ia melangkah ke meja dapur, tempat di mana Arumi menyiapkan sarapan. Posisi Arumi menghadap wastafel, hingga tidak melihat kehadiran adik iparnya. Begitu berbalik, pisau di tangannya terjatuh karena saking terkejutnya.
"Astagfirullah, Arin. Kamu bikin kaget saja." Arumi yang sedang tidak mengenakan hijab, sangat terlihat keterkejutannya.
"Maaf...." jawabnya kalem dan manja.
"Kamu kenapa kusut begitu? Sudah mandi?" tanya Arumi menatap heran diri iparnya.
"Sudah. Nggak kenapa-kenapa, Mbak."
"Bosan, ya? Nanti ikut Mbak ke toko. Siangnya kita jalan-jalan." Arumi menawarkan.
"Nggak, ah. Di rumah aja." Arin menolak.
"Kamu datang ke sini kan niatnya mau jalan-jalan? Kenapa milih tinggal di rumah?"
"Enak di rumah aja, Mbak."
"Ya, sudah, terserah kamu." Arumi tidak ingin menggali lebih dalam tentang Arin. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya pagi ini.
"Mbak Rum, tau mas Farhan dari mana?" Tiba-tiba Arin menanyakan sesuatu yang membuat Arumi langsung menghentikan aktivitas.
Arumi menatap Arin curiga.
"Mbak, ih! Ngapa liatin Arin begitu, sih!" tegur Arin merasa risih.
"Kamu suka padanya?" tebak Arumi, tentu tebakannya beralasan melihat gelagat mencurigakan adik iparnya.
"Nggak, kok. Cuma nanya."
Arumi mematikan api kompor, lalu fokus pada Arin. Perdebatan dengan Aris kemarin mengenai Arin dan Farhan, sepertinya mulai terjawab.
"Mbak tau, mana orang sekadar penasaran dan mana yang benar-benar suka. Mbak sih, nggak melarang, cuma mengingatkan saja kalau sebaiknya kamu mendengarkan larangan Mas Aris. Farhan bukan laki-laki pilihan Mas Aris."
"Mbak Rum kejauhan mikirnya." Arin menyangkal.
"Justru mbak ngomong begini supaya kamu jangan sampai kejauhan berharap pada Farhan."
Arin terdiam, tak menanggapi. Kecewa, jelas kecewa. Tapi ia tidak mau membantah kakak iparnya.
"Rin, mbak nggak melarang, benar-benar tidak melarang. Mbak itu khawatir sama kamu kalau sampai dimarahi mas Aris. Kamu tau kan, masmu itu kalau bilang enggak, ya sampai kapanpun tetap enggak."
"Arin juga baru sekali itu ketemu dia. Bagaimana bisa berpikir sejauh itu?"Lagi, Arin masih berusaha menyangkal.
"Iya, mbak tau. Tapi ingat loh, pikiran kita itu kita sendiri yang mengendalikan. Biasakan antara nurani dan kepala berjalan berbarengan."
Arin menurunkan bahu, pasrah karena harus mengakui kebenaran kata-kata kakak iparnya. Arumi kembali ke aktivitas memasak. Tidak lantas membiarkan Arin dirundung kecewa, iapun membagi sedikit informasi pada gadis itu.