Bukan Salah Jodoh
"Atuuun.....!!!"
Teriak seseorang perempuan paruh baya, memakai sarung batik beserta kebaya lawas berkacak pinggang.
Gadis yang baru saja pulang mengendap-endap itu berdiri tegang, takut menoleh kebelakang, sebelah kakinya kembali turun perlahan padahal sudah melangkah diambang pintu.
"Darimana saja kamu?" tanya perempuan itu membuat jantungnya dag-dig-dug, takut seraya meremas tangannya sendiri.
"Anak tidak tau diri! Tidak mau mendengar perintah orang tua, durhaka kamu sama Emak!" teriak perempuan itu.
"Maaf Mak, Atun tidak bermaksud melawan Emak. Sumpah!" berbalik, mengangkat dua jari, ia menatap ngeri pada tangan kanan emaknya yang selalu setia di temani centong nasi terbuat dari kayu untuk memukulinya setiap ibunya emosi.
"Sumpah, sumpah gundulmu! Sudah tau Pak Sukma itu mau datang, kamu malah kabur!Emak sampai pusing mesti ngomong apa sama dia." ucap perempuan paruh baya itu mengacungkan centong nasi ke arah Atun. Sesekali memukulkannya di lengan anaknya.
"Aduh Mak, sakit!" jawabnya sambil berusaha mengelak walau percuma. "Aku masih sekolah Mak, aku enggak mau menjadi istri ke tiga belas Pak Sukma." jawabnya meringis.
"Gampang kamu ngomong begitu, Terus nasib kita gimana? Kalau sampai kamu enggak mau menikah dengan dia, artinya kita harus bayar hutang bapakmu yang menggunung itu! Kita dapat duit dari mana? Semua harta bapakmu sudah di gadaikan sama Pak Sukma! Lagian kamu enggak akan mati cuma karena menjadi istri ke tiga belas pak Sukma. Dia kaya raya! Dan yang paling penting kita bebas hutang." jelasnya lagi, tampak dadanya naik turun menahan emosi.
"Aku enggak mau Mak." jawab gadis itu mulai terisak, pundaknya gemetar menatap emaknya yang juga menatap tajam, menakutkan.
"Enggak ada alasan. Kamu harus mau." tegasnya lagi, seraya memukul punggung Atun berkali-kali, geregetan.
"Ampun Mak, Atun enggak Mau!" jawab Atun mencoba menghalangi pukulan emaknya dengan kedua tangan, ia menangis menahan sakit.
"Mulai hari ini kamu bantuin emak di rumah saja. Enggak usah sekolah-sekolahan segala." ucap perempuan itu menarik tangan Atun masuk ke dalam rumahnya dengan paksa.
"Mak...!" rengek Atun memohon.
"Gak usah manja. Lagian kamu itu enggak pernah bayar iuran sekolah, kamu enggak malu sama temen-temenmu?" kesalnya menghempaskan tangan Atun dengan kasar.
"Enggak Mak, Atun enggak malu. Yang malu itu kalau harus menikah dengan pak Sukma." jawab Atun sambil terus menangis.
"Kenapa harus malu Tun....? Hidup kamu bakalan enak! Kamu benar-benar tidak tahu diuntung ya!" mengangkat lagi centong nasi untuk memukul Atun.
"Mak!" Setengah membentak, suara Atun meninggi.
"Coba kalau anak bungsunya emak bukan aku? Apakah Emak akan tetap menjodohkan anak emak yang lain dengan Pak Sukma yang umurnya bahkan lebih tua dari Bapak?" tanya Atun mencoba protes, ia selalu merasa emaknya lebih menyayangi kedua kakaknya daripada Atun. Itu membuat Mak Rodiah sedikit terkejut.
"Ya-ya jelas! Tapi beruntungnya kamu yang jadi anak bungsunya Emak. Harusnya kau bersyukur Tun... Atun." emak-emak itu geregetan kepada anak bungsunya yang sulit di nasehati menurutnya.
"Enggak Mak." jawab Atun Serak, dia semakin menangis, dadanya sesak penuh dengan kekecewaan terhadap ibunya.
"Kenapa bukan Mbak Rara, atau Mbak Ajeng saja yang di jodohkan dengan pria tua Bangka itu. Kenapa Mak?" tanya Atun lagi, ia terkekeh dalam tangisnya. Sementara Mak Rodiah itu terpaku melihat putri bungsunya yang terlalu manut itu mendadak berani menjawab.
"Kenapa Harus aku Mak?" lanjutnya lagi tak mampu dijawab Mak Rodiah.
"Dah lah Mak, Atun sudah tau kok. Emak enggak sayang Atun Kan?" sambungnya lagi dengan kecewa.
Atun tertawa, getir dan hampa bercampur tangis, begitulah wajah gadis belia itu menatap ibunya.
"Atun juga sadar diri kok, enggak pernah nuntut apapun sama emak. Enggak pernah minta uang sama emak. Sejak kecil Atun rela kerja mengupas bawang di rumah tetangga biar emak enggak merasa terbebani akan kehadiran Atun dalam hidup emak." parau suara Atun, sesekali tangannya sibuk mengusap air mata beserta ingusnya.
"Atun juga sering menahan lapar. Biar enggak mengurangi jatah makan emak."
"Enggak apa-apa Mak, asal Atun bisa tetap tinggal di rumah emak, bisa sekolah agar bisa bekerja dan membalas kebaikan Emak. Asal tidak menjadi istri ke tiga belas Pak Sukma. Atun gak mau." ucapnya semakin lirih dan perih.
Tanpa terasa air mata Mak Rodiah mengalir mendengar ungkapan hati anak gadisnya yang selama ini hanya menurut saja. Mendadak dia tak tega, namun sebagian hatinya tetap tidak mau di salahkan, apalagi mengingat harta almarhum suaminya yang sama sekali tak bisa di manfaatkan semenjak perjanjian untuk menikahkan anak bungsunya kepada laki-laki tua kaya raya dikampung tersebut.
"Tapi keinginan almarhum bapakmu itu ya kamu Tun, bukan kedua Mbak mu." jawab Mak Rodiah mengusap air matanya, namun enggan menatap Atun anaknya yang terlihat menyedihkan itu.
"Izinkan Atun tetap sekolah Mak, seperti Mbak Rara dan Mbak Ajeng." mohon Atun, meraih tangan ibunya.
"Tun, kamu harus tetap menikah dengan Pak Sukma, baik itu sekarang atau nanti. Itu sudah keputusan Emak. Emak capek hidup susah." jawab Emak Rodiah menghempaskan lagi tangan anak gadisnya lalu pergi.
Lemas hati Atun mendengar jawaban ibunya, jelas sudah tak ada harapan untuk lepas dari pernikahan dengan pria tua mata keranjang itu.
Atun masuk ke kamarnya , ia tak mau menunda pergi ke sekolah meskipun masih terisak sedih. Ia segera berangkat tanpa sarapan bahkan tanpa minum walaupun hanya air putih saja.
Baju abu-abu lusuh dan terdapat dua jahitan di rok bagian belakang, warisan dari kedua kakaknya itu masih setia menemani hari-hari perih Atun. Lapar dan haus sering di rasa, namun tak menyurutkan niatnya untuk menyelesaikan sekolah yang tak sampai satu tahun lagi itu.
"Tun."
Langkah Atun berhenti, ia hafal betul siapa yang manggilnya. Ia berbalik.
"Masih berniat pergi ke sekolah Tun?" tanya pria berkulit hitam manis itu tersenyum mengejek.
"Ya-iya, kalau tidak sekolah aku mau gimana lagi?" jawab Atun kesal, tangannya mengusap sisa air matanya.
"Ya kawin Tun." jawab pria itu lagi, maju selangkah menatap wajah Atun lebih dekat.
"Aku enggak mau, aku lebih baik susah daripada harus menjadi istri ketiga belas pak Sukma." jawabnya.
Lekas Atun berbalik, malas meladeni laki-laki yang seringkali menggodanya setiap kali berangkat ke sekolah itu.
"Tunggu Tun." Laki-laki itu meraih tangan Atun.
"Apa sih Mas." kesal Atun menghempaskan tangan laki-laki bernama Abdul Abdullah itu.
"Denger dulu Tun, maksud saya bukan kawin sama pak Sukma. Kamu kok marah sih?" jelas pria itu membujuk Atun.
"Ya kalau bukan sama pak Sukma, lalu sama siapa? Sama kamu?" Ucap Atun asal, semakin kesal karena langkahnya dihalangi Abdul.
"Iya Tun." jawabnya membuat Atun melongo, tapi tak percaya.
"Aku serius Tun." jelas pria itu meyakinkan Atun yang tampak kesal.
"Mas ngomong apa sih?" Atun menggeleng.
"Ayok Tun, kita menikah saja. Daripada kamu jadi istri ketiga belas Pak Sukma. Lagian kalau kamu sudah jadi istriku kamu sudah pasti terbebas dari emakmu yang gemar menyiksa itu. Aku kasihan tau! Enggak sakit apa di gebukin emak Rodiah tiap hari?" ucap pria itu membuat Atun terpaku, memikirkan ucapan laki-laki yang seratus persen benar itu.
"Kamu sedang bercanda Mas?" tanya Atun pelan, ragu tapi mulai terpengaruh.
"Aku serius Tun." jawab laki-laki itu mantap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Oky Sutrajad
hy
2024-11-05
1
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
Atun bingung.. 😕 bagai buah simalakama, pilih Abdul atau pak Sukma /Slight/ dua2nya bukan pilihan bagus kek nya 🏃🏃🏃
2024-08-27
4
Lina Zascia Amandia
Wahhh Kak Dayang, udah lama gak aktif nulis, skrg nulis lagi. Smgt ya Kak...
2024-08-13
0