Menyukai seseorang adalah hal yang pribadi. Zea yang berumur 18 jatuh cinta pada Saga, seorang tentara yang tampan.
Terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya, Zea adalah gadis yang paling berani dalam mengejar cinta, dia berharap usahanya dibalas.
Namun urusan cinta bukanlah bisa diputuskan personal. Saat Zea menyadari dia tidak dapat meluluhkan hati Saga, dia sudah bersiap untuk mengakhiri perasaan yang tak terbalaskan ini, namun Saga baru menyadari dirinya sudah lama jatuh cinta pada Zea.
Apakah sekarang terlambat untuk mengatakan "iya" ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MANUVER CINTA~PART 31
Wajah datar Ankara seolah menyiratkan ia tak suka jikalau nama Zea disebut oleh lelaki lain. Kedua lelaki berparas tegas dengan seragam loreng lapangan ini saling menatap dingin, entah dimana otak Ankara, disaat genting begini ia malah jadi tim kepo tentang hubungan antara Sagara dan Zea.
"Siap. Tidak ada."
Alis Ankara dipaksa naik sebelah kaya kaftan syahrini kena air kubangan, ia bukan tidak tau jika gadis yang dikenalkan ayahnya itu pernah menyatakan perasaannya pada Sagara di depan beberapa prajurit, ia bukan perwira tuli yang tidak tau desas-desus remahan rengginang para bawahannya di belakang sana sambil nyemil bakwan, apalagi menyangkut tentang Zea.
Dulu sempat ia melihat Zea saat acara bela negara yang diadakan, namun ia belum berani menyapa karena ketidakpastian orangtuanya dan orangtua Zea mengenalkan mereka.
"Apakah kamu perwira yang pernah ditembak oleh anak SMA itu? Apakah gadis SMA itu, Zea Arumi?"
"Siap benar, ndan!" jawab Sagara tanpa rasa ragu. Luki dan Izan yang awalnya berisik kini diam merasa canggung dengan situasi ini, mereka mundur alon-alon menutup mata dan pendengaran dari masalah seniornya dan sahabatnya itu. Untuk urusan begini, mereka tak ingin ikut andil dalam hukuman. Bukan berarti tak sohib, mereka tetap mendukung meskipun bentuk dukungan mereka hanya berupa do'a.
Sagara menatap hormat pada Ankara, namun terlihat jelas rahang yang menggertak menegaskan jika kini hati Ankara tengah berkecambuk.
"Tanpa mengurangi rasa hormat. Saya rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendebatkan masalah pribadi, jika kapten ingin melanjutkan urusan ini, bisa kita urus nanti setelah ini selesai di luar kesatuan." Bukan menantang, tapi lebih kepada ia ingin memperjuangkan rasanya.
Ankara menukikan alisnya, benar! Rasa keingintahuannya sampai membuat ia lupa situasi dan kondisi lalu berubah jadi admin lambe turah yang serba ingin tau masalah orang, yang sampe lubang idung Lucinta Luna tinggi secenti aja dijulidin buah dari operasi plastik, mau itu operasi plastik pake plastik ember, atau plastik kresek pun bukan urusannya, orang lain tak berhak tau.
"Setelah semua selesai, saya tunggu kamu di ruangan saya." Ankara segera menjauh dari Saga tak menghiraukan penghormatan yang Saga berikan untuknya, semoga bukan penghormatan terakhir. Mungkin maksudnya hanya ingin menegaskan pada Sagara jika Zea adalah miliknya, seharusnya saat undangan makan malam itu Sagara tau! Jika posisinya dua langkah lebih maju ketimbang Saga. Hanya tinggal menunggu kata 'mau' dari Zea maka ia siap menghalalkan gadis itu.
Tapi sayangnya jangankan kata mau, berkirim pesan saja sulitnya mirip kondisi keuangan emak di musim kondangan, begitu syulittt!
Pandangan Sagara tak melepaskan langkah Ankara, ia sampai bingung dengan sikap kaptennya itu yang menurutnya tidak profesional.
"Gileee! Di waktu genting begini, masih sempet-sempetnya doi nanyain hubungan elu sama tuh bocah, emang doi ada hubungan apa sama bocah cantik itu?" bisik Izan.
Sagara menoleh dengan sorot mata malas, "gue kira yang ngga punya kerjaan mikirin cewek waktu darurat begini cuma kapten, tapi ternyata lo lebih parah...pingin tau urusan orang," hardik Sagara pada Izan yang ditertawai Luki, Luki cengengesan mendengar sindiran telak Saga.
Izan berdecak, "penasaran, Ga."
Setelah semua dibubarkan, untuk kemudian diberikan intruksi, nyatanya pandangan sengit Ankara pada Saga belum berakhir, meski dari kejauhan, bahkan ketika Sagara sedang bersiap memakai suit.
"Letda Sagara," seorang letnan satu menghampiri Saga yang merapikan suit penerbang miliknya setelah sebelumnya memakai rompi anti peluru.
"Siap bang!"
Ia menyerahkan daftar para perwira yang nyatanya masuk daftar regu skadron inti dan hanya cadangan, ada lenguhan kasar darinya dengan kepalan tangan yang kencang.
"Tapi bukannya saya sudah masuk personel in----" Saga menghembuskan nafas lelah, tiba-tiba saja namanya merosot di bangku cadangan.
"Maaf, menurut kapten Ankara, kamu masih belum berpengalaman. Dan tugas ini membutuhkan personel dengan skill mumpuni berhubung kabar yang di dapat adalah adanya anak dari menteri Rewarangga di dalam pesawat itu,"
Sungguh bukan alasan logis yang ia dapat. Mereka tak tau jika di dalam pun ada adik sepupunya, Clemira, bukan hanya Zea saja.
Luki dan Izan sudah berpakaian lengkap alat pengaman dan siap masuk ke dalam helikopter berjenis apache atau yang biasa dipakai untuk mengangkut personel lapangan, "Ga. Sorry....kita berangkat dulu..."
Sagara tak mengiyakan, ia menatap nyalang lalu mendengus geram, ternyata memang benar Ankara begitu kekanakan. Ingin ia belah otak seniornya itu dan melemparkannya ke laut sebagai santapan hiu.
Sagara duduk memandang teman-temannya yang sudah naik ke atas helikopter dan regu penerbang yang berjalan ke arah pesawat tempur melewatinya sekitar 4 orang termasuk Ankara, ada pula anak baru yang seharusnya bangku itu diisi Saga tapi karena Ankara mendepaknya maka Sagara lah yang harus tersisih.
Tatapan kedua pasang mata itu bertemu begitu dingin dan menyulut percikan api permusuhan.
Ankara hanya mendengus meremehkan, seperti ingin membuat Sagara sadar jika kuasa adalah segalanya, yeahh! Termasuk untuk sebuah kata berjuluk, cinta. Semuanya halal dilakukan, begitu ironis.
Begitu picik pikiran Ankara, jika dengan ini Sagara ingin terlihat oleh Zea. Apakah saking tidak percaya dirinya kapten Ankara sampai menggunakan kekuasaan sang ayah dan senioritas hanya untuk mendepaknya?
Ia mengusap wajah lalu menjalar ke arah kepala dan menjambak rambut se centinya kasar.
Abang, Cle udah take off....do'ain pulang selamat.
Abang ganteng, tunggu Zea pulangggg 😍😍
Pesan dari adik sepupunya dan Zea begitu jelas terngiang-ngiang mirip kepakan sayap nyamuk di tengah belantara, sejumlah rencana manis yang sudah terangkai untuk Zea mendadak terhapus dari daftar hati.
Ponselnya berdering, diantara rasa gundah dan risau serta kecewanya, sang om memanggil. Sepertinya kabar itu begitu cepat menghampiri telinga letnan kolonel itu.
Tak ada yang lebih menyayat hati ketika mendengar tante Eyi menangis, trauma tersendiri membuat Eirene begitu histeris dan meraung-raung disana, ketimbang meratapi kepergian Rayyan dalam bertugas, jelas! Hati ibu mana yang terima ketika sang putri dalam bahaya.
Sagara beranjak dan segera berganti pakaian untuk bergegas menemui keluarga om'nya.
Setelah status naik menjadi tersandera, maka mau tak mau kenyataan pahit ini harus segera diberitahukan pada para keluarga penumpang pesawat.
"Mii, mami nyebut mii...istighfar!"
"Astagfirullah Zea..."
Papa Rangga menghela nafasnya, pikirannya langsung tertuju pada kasus yang saat ini sedang ditangani.
"Zico, baru sampai mana kasus kita?" tanya papa mengurut kening yang sudah banyak kerutannya itu, kulit-kulit yang mulai tua itu sudah mengendur termakan masa dan pikiran yang menggunung.
Bahkan papa Rangga sampai lupa jika kasus itu sudah masuk berkas di pengadilan, pihak aparat dan penegak hukum sudah tersebar mencari sindikat dan menangkap para jajaran bawahan mafia human trafi cking yang diduga juga berhubungan dengan kartel narkoba dan human trafic king jaringan Internasional.
Meski tidak mengatasnamakan individu atau kelompok tertentu, namun papa Rangga bukan orang bo doh yang tak tau, jika penyanderaan ini adalah sebuah ultimatum untuk dirinya dan bangsa untuk segera menarik kembali laporan dan menutup kasus ini begitu saja demi kembali berjalannya bisnis kotor mereka.
"Zeaaaaa!" teriak mama Rieke menangis pilu memanggil lirih sang putri bungsu.
"Mi...mamii,"
Rayyan menarik kerah kemeja loreng bawahannya dengan kasar, "guoblokkk! Sampai mati pun bakal gue kejar! Ngga bisa cuma nunggu perintah, yang jadi korban itu anak saya, paham!" ia bahkan harus dipisahkan dari ajudan sang komandan ketika ia menyampaikan perintah komandan resimen yang menjelaskan jika angkatan militer bagian mereka hanya menunggu kabar dari angkatan yang sedang bergerak.
"Kalaupun saya tidak dibayar negara, tak jadi masalah. Atau saya yang harus bayar negara?!" teriaknya ditengahi Pramudya dan Langit.
"Sabar Ray, sabar....gue tau komandan ngga akan kaya gitu, apalagi cimoy disana. Gue yakin komandan lagi mengusahakan biar kita ikut andil dalam kasus ini...elu cuma perlu nunggu bentar," ucap Langit.
"Lo tau, Lang...1 detik itu bisa menentukan nasib anak gue!"
Baru saja mereka berdebat, kembali junior Rayyan berlari memberi kabar, "lapor ndan!" mereka semua menoleh.
"Komandan sudah mengeluarkan surat perintah untuk unit khusus Raden Joko...."
"Kita berangkat dalam 3 menit!" Rayyan langsung mengambil sikap.
"Oke." Pramudya mengangguk.
"Buset, 3 menit baru gue pake sepatu sebelah, baru pamit aama bini...." Langit menggaruk kepalanya berlari menyusul untuk mengambil peralatan tempur.
.
.
.
.
.