Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Hari Pertama Kuliah
Sesuai dengan yang dikatakan Alvano kemarin, hari ini adalah hari pertama Aqila masuk kuliah. Gadis itu telah bersiap dengan rapi. Dress biru panjang yang dibelinya kemarin membalut tubuhnya dengan anggun, dipadukan dengan tas selempang simpel yang cocok untuk suasana kuliah.
"Aqila, kamu sudah siap?" tanya Alvano lembut, ia baru saja selesai memasang sepatu. Ia mengenakan kemeja biru muda senada dengan dress Aqila, membuat keduanya terlihat sangat serasi.
Aqila menoleh dan tersenyum lebar. "Siap, Mas!" sahutnya dengan penuh semangat.
Alvano tersenyum hangat. Melihat antusias istrinya, hatinya terasa lega. "Kamu cantik sekali, Qila. Bener kan, apa yang Mas bilang kemarin? Dress ini memang cocok banget buat kamu."
"Hehe, makasih, Mas," jawab Aqila malu-malu.
"Ya sudah, kalau gitu, ayo kita berangkat."
"Ayo!" seru Aqila riang.
Mereka berdua masuk ke mobil dengan semangat. Sepanjang perjalanan, Alvano sesekali melirik Aqila yang tampak bersemangat memandang ke luar jendela. Dalam hatinya, ia merasa bangga karena Aqila akhirnya bisa melanjutkan kuliah.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua telah sampai di Luminary Mahendra University. Hal itu dikarenakan jarak rumah dan kampus tidak terlalu jauh.
"Kita sudah sampai," ujar Alvano sambil melepas sabuk pengamannya. Ia menoleh ke arah Aqila dan tersenyum. "Ayo turun."
Namun, Aqila tiba-tiba memegang tangan Alvano, menghentikan langkahnya. "Tunggu dulu, Mas," ucapnya pelan.
"Kenapa, Qila?" Alvano mengernyit, menatap istrinya dengan lembut.
Aqila menggigit bibirnya ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, "Mas, aku boleh minta sesuatu nggak?"
"Tentu, apa itu?"
"Aku ingin... di kampus ini kita kayak orang asing, Mas. Kayak nggak saling kenal," ucap Aqila hati-hati.
Alvano terdiam, menatap Aqila dengan ekspresi tak percaya. "Maksud kamu apa, Qila? Kenapa kamu nggak mau orang tahu bahwa kita memiliki hubungan?"
Aqila menunduk. "Mas, kamu tahu kan kalau aku bukan siapa-siapa di sini? Aku cuma mahasiswa biasa. Kalau mereka tahu aku istri kamu, apalagi anak pemilik kampus, aku takut mereka jadi berbeda sikap. Aku takut semua orang mendekati aku cuma karena statusku. Aku mau diterima di sini sebagai diriku sendiri, bukan karena aku istri kamu."
Alvano menghela napas panjang. "Tapi Qila, Aku bangga sama kamu. Aku pengen semua orang tahu kalau kamu itu istriku."
"Aku tahu, Mas," ujar Aqila cepat. "Tapi aku juga ingin belajar dan bersosialisasi tanpa bayang-bayang siapa kamu. Aku nggak mau mahasiswa lain merasa aku dapat perlakuan istimewa atau malah menjauh karena takut sama kamu. Aku cuma mau jadi mahasiswa biasa, Mas."
Mendengar penjelasan Aqila, Alvano merasa sedikit lega, meski hatinya berat. Ia tahu Aqila tidak bermaksud menolak hubungannya, tapi lebih kepada menjaga dirinya sendiri di lingkungan baru.
"Qila, kamu tahu kan kalau Mas bangga sama kamu? Mas pengen semua orang tahu kalau kamu adalah istriku. Tapi... kalau itu yang kamu mau, Mas akan turuti."
Aqila tersenyum kecil. "Makasih, Mas. Aku nggak mau ngerepotin kamu juga. Ini demi kebaikan kita."
Alvano mengangguk, meski hatinya masih berat. "Tapi Qila, Mas nggak bisa janji kalau bakal terus pura-pura nggak kenal kamu. Kalau ada situasi mendesak, aku tetap akan bertindak sebagai suami kamu, ya."
Aqila mengangguk cepat. "Iya, Mas. Aku ngerti kok. Makasih ya, Mas."
Alvano menatap Aqila penuh kasih sebelum mengusap lembut kepalanya. "Baiklah, sekarang ayo kita masuk. Jangan sampai terlambat di hari pertama kamu."
Dengan hati yang mulai tenang, Aqila membuka pintu mobil, dan keduanya berjalan bersama menuju kampus. Namun, Alvano tetap merasa enggan untuk menyembunyikan pernikahan mereka. Dalam hati, ia bertekad untuk tetap menjaga Aqila tanpa melanggar keinginannya.
🌸🌸🌸🌸🌸
Aqila melangkah menyusuri lorong kampus bersama Bu Ayu, dosen yang akan mengajarkan mata kuliah Pengantar Bisnis. Sebagai mahasiswa baru, Aqila merasa gugup. Pandangannya sesekali beralih ke sekitar, mencoba memahami suasana kampus barunya, Luminary Mahendra University. Ia mengambil jurusan Manajemen Bisnis atas usulan Alvano, dan ini adalah awal dari perjalanan barunya sebagai seorang mahasiswa.
Sepanjang lorong, bisik-bisik terdengar. Beberapa mahasiswa terlihat memperhatikannya, bahkan ada yang menoleh dua kali.
"Siapa tuh? Mahasiswa baru ya?"
"Lumayan cantik juga,"
Tak jauh dari sana, seorang pria yang sedang berbincang dengan temannya tiba-tiba menghentikan obrolannya. Pandangannya terpaku pada Aqila.
"Aqila?" gumamnya pelan. Daniel, yang tak lain adalah orang dari masa lalu Aqila, mencoba meyakinkan dirinya. "Dia kuliah di sini?" Ia bahkan sempat mengucek matanya, takut jika apa yang dilihatnya hanyalah ilusi.
Daniel terus memperhatikan hingga Aqila menghilang di ujung lorong, ditemani Bu Ayu.
Setelah melewati beberapa tangga dan lorong, akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan. Bu Ayu membuka pintu kelas dan mengajak Aqila masuk.
"Selamat pagi, anak-anak," sapanya hangat.
"Pagi, Bu," jawab mahasiswa serempak.
Bu Ayu melangkah ke depan kelas sambil memberi isyarat kepada Aqila untuk maju. Dengan langkah gugup, Aqila memberanikan diri untuk masuk ke dalam kelas.
Bu Ayu menoleh ke arah Aqila dan berkata, "Anak-anak, hari ini kita kedatangan mahasiswa baru yang akan bergabung di kelas ini bersama kalian." Aqila silakan perkenalkan dirimu! " ucapnya lembut pada Aqila.
Aqila menatap seisi kelas yang memandangnya dengan penuh perhatian. Ia mengangguk kecil sebelum memperkenalkan diri.
"Halo semuanya, perkenalkan, nama saya Aqila Safira Wijaya," ucap Aqila dengan suara lembut namun tegas, sambil memandang seisi kelas. "Kalian bisa memanggil saya Aqila atau Qila, sesuai yang kalian nyaman. Saya baru bergabung di sini sebagai mahasiswa baru di Program Studi Manajemen Bisnis."
Ia berhenti sejenak, mengatur nafas sebelum melanjutkan dengan senyum ramah di wajahnya. "Senang bisa menjadi bagian dari kelas ini. Saya harap kita bisa saling membantu dan belajar bersama. Mohon bantuannya ya."
Aqila mengakhiri perkenalannya dengan sedikit membungkuk sopan, membuat sebagian teman-teman barunya mengangguk dan tersenyum menyambut.
Setelah perkenalan selesai, Bu Ayu menunjuk bangku kosong di tengah kelas. "Aqila, kamu bisa duduk di sana."
Aqila mengangguk, lalu berjalan menuju bangku yang ditunjukkan. Sesampainya di sana, seorang gadis berambut pendek dan berkacamata yang duduk di sebelahnya tersenyum ramah.
"Hai, Aqila!" sapanya lembut. "Aku Amel. Salam kenal ya!"
Amel mengulurkan tangan, dan Aqila menyambutnya dengan senyuman. "Salam kenal juga, Amel." Ucap Aqila menerima uluran tangan amel.
Keduanya berbagi senyuman sebelum fokus kembali ke depan kelas, di mana Bu Ayu mulai memberikan pengantar materi. Bu Ayu memulai dengan menjelaskan silabus mata kuliah yang akan mereka pelajari selama satu semester. Ia menjelaskan tentang manajemen operasional, analisis SWOT, hingga studi kasus yang akan mereka lakukan di akhir semester. Semua mahasiswa mencatat dengan serius, termasuk Aqila yang mencoba menyesuaikan diri dengan istilah-istilah baru.
Di sela-sela pembelajaran, Amel membisikkan sesuatu. "Qila nanti kalau ada yang bingung atau butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan nanya aku ya," bisik Amel di sela-sela pelajaran.
Aqila mengangguk. "Iya Amel, Makasih ya, Kamu baik banget." Aqila tersenyum lembut.
Hari pertama Aqila di kampus berjalan dengan baik. Meski gugup di awal, kehadiran Amel membuatnya merasa sedikit lebih nyaman.
🌸🌸🌸🌸🌸
Waktu istirahat telah tiba. Setelah pembelajaran pertama selesai, Aqila menghela napas lega. Dalam hatinya ia bersyukur karena bisa mengikuti materi dengan baik. Kini, ia memiliki waktu untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan kelas berikutnya yang akan dimulai tepat pukul sepuluh.
Di sebelahnya, Amel yang sedang membereskan buku-bukunya menoleh dan bertanya, "Qila, gimana tadi? Kamu ngerti kan sama materi yang dijelasin Bu Ayu?"
Aqila mengangguk sambil tersenyum. "Alhamdulillah, aku ngerti, Mel. Bu Ayu ngajarnya enak, jadi aku bisa paham."
"Syukur deh kalau gitu!" Amel tersenyum lega. Ia lalu melirik jam tangannya dan mendekatkan wajahnya ke Aqila. "Eh, mumpung sekarang waktu istirahat, yuk kita keluar! Duduk di taman sambil jajan. Seru, kan?"
Aqila tersenyum semangat. "Boleh, ayok!"
Mereka berdua berjalan ke taman kampus dengan santai. Suasana di luar kelas terasa menyegarkan, angin bertiup sepoi-sepoi, dan suara mahasiswa bercampur tawa menghidupkan suasana. Aqila merasa sedikit lebih santai, terutama karena kini ia punya teman yang ramah seperti Amel.
Di taman, mereka memilih bangku kosong yang nyaman di dekat pohon rindang. Amel tak mau melewatkan kesempatan untuk membeli camilan di kantin terdekat. Tak lama, ia kembali membawa dua bungkus roti.
"Nah, ini buat kamu," katanya sambil menyerahkan satu bungkusan pada Aqila.
"Terima kasih, Mel." Aqila tersenyum menerima roti itu.
Setelah membuka bungkusnya, Amel melanjutkan obrolan. "Qila, kamu ini kan mahasiswa baru ya, Kamu pindahan dari mana sebelumnya?"
Aqila menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Bukan, Mel. Aku bukan pindahan. Aku memang baru masuk kuliah. Setelah lulus sekolah, aku milih kerja dulu. Sekarang baru ada kesempatan, jadi aku bisa kuliah."
"Oh, begitu..." Amel manggut-manggut. "Keren juga kamu, Qila. Udah kerja dulu baru kuliah. Hebat!"
Aqila hanya tersenyum kecil. "Aku cuma berusaha memanfaatkan kesempatan, Mel. Kalau nggak sekarang, aku nggak tahu kapan bisa kuliah."
Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara bisik-bisik dan keributan kecil dari mahasiswa lain di taman. Beberapa orang terlihat berkerumun, sebagian bahkan berteriak kecil.
"Ada apa sih?" tanya Aqila bingung sambil menoleh ke arah keramaian.
Amel menatap ke depan, matanya melebar saat melihat sosok Alvano berjalan melewati taman dengan langkah santai. Dengan wajah serius dan aura tegasnya, Alvano menarik perhatian semua orang.
"Itu Pak Alvano!" seru Amel pelan dengan nada antusias.
Aqila terkejut. Ia melihat suaminya berjalan dengan percaya diri. Alvano sedang berjalan melewati taman. Dengan langkah santai, ia tetap fokus ke depan, meskipun tatapan banyak orang mengarah padanya. Beberapa mahasiswa perempuan bahkan terlihat menahan napas saat melihatnya.
Namun, langkah Alvano terhenti sejenak ketika matanya bertemu dengan Aqila. Ia hampir saja mendekati istrinya, tapi kemudian mengingat kesepakatan mereka pagi tadi. Alvano tersenyum tipis, sekadar menyapa dari kejauhan, sebelum melanjutkan langkahnya.
Aqila, yang menyadari hal itu, segera menundukkan kepala, malu-malu. Sementara Amel yang berada di sebelahnya langsung memegang dadanya dengan ekspresi dramatis.
"Aduh, Pak Vano... senyumnya manis banget sih! Bikin aku mau meleleh," ucap Amel sambil tersipu.
Aqila hanya bisa geleng-geleng kepala, berusaha menahan senyum.
"Qila, kamu tahu nggak siapa dia?" tanya Amel penuh semangat.
Aqila pura-pura bingung. "Siapa, Mel?"
"Dia itu, Pak Alvano. Salah satu dosen di kampus ini. Udah ganteng, pintar, kaya, terus dia itu anak pemilik kampus kita, loh. Dan aku dengar, dia juga pengusaha sukses! Duh, pokoknya paket lengkap banget."
"Oh," gumam Aqila pelan. "Iya, aku tahu kok," tambahnya tanpa sadar.
"Hah? Maksud kamu tahu? Kamu kenal sama Pak Alvano?" Amel terkejut, menatap Aqila dengan penuh rasa penasaran.
Aqila langsung menyadari dirinya keceplosan. "Eh, maksudku... aku tahu dari cerita orang-orang. Dia kan terkenal banget di sini," jawabnya sambil tertawa gugup, mencoba mengalihkan perhatian Amel.
"Ya ampun, aku pikir kamu udah kenal dekat sama dia," ucap Amel sambil tertawa kecil. "Eh, tapi tahu nggak, Qila? Aku dengar Pak Alvano bakalan jadi dosen di program studi kita!"
Aqila menatap Amel heran. "Serius? Kok bisa?"
"Iya, serius. Padahal sebelumnya dia nggak pernah ngajar di kelas kita, loh. Ini pertama kalinya!" Amel tampak bingung, tapi matanya berbinar penuh semangat.
Aqila terdiam. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah ini kebetulan atau Alvano sengaja menambah jadwal mengajar untuk bisa lebih dekat dengannya.
"Tapi nggak apa-apa sih, Qila. Justru ini kesempatan bagus. Kapan lagi kita bisa diajar langsung sama dosen ganteng kayak Pak Alvano!" Amel tertawa kecil, tampak sangat senang.
Aqila hanya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan pikirannya yang mulai menerka-nerka alasan di balik semua ini.
Di lorong kelasnya, Daniel berdiri mematung, menatap kosong ke arah pemandangan kampus dari ketinggian. Tangannya bersandar di pagar pembatas, sementara pikirannya melayang jauh. Ia masih memikirkan hal yang dilihatnya tadi. Aqila. Nama itu terus berputar dalam benaknya.
"Aqila... Apa benar tadi itu dia?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
Daniel menggeleng, mencoba menepis pikirannya. Tapi bayangan wajah Aqila tadi terus menghantui. Dia tampak berbeda dari terakhir kali Daniel melihatnya. Wajah itu tampak lebih cerah, penampilannya terlihat rapi, bahkan penuh percaya diri. Namun, satu hal yang membuatnya bingung, bagaimana bisa Aqila berada di sini?
"Apa Aqila kuliah disini? tapi Kampus ini kan mahal. Dari mana dia bisa dapat uang untuk kuliah di sini? Apa dia sudah bekerja keras sampai bisa seperti ini?" pikirnya dalam hati. Keraguan mulai mengusik. Ia tahu betul bagaimana Aqila dulu hidup serba kekurangan. Apalagi setelah diusir dari rumah oleh mama tiri dan kakaknya, Areta.
Lamunannya terpecah ketika suara langkah ringan mendekat.
"Hay, sayang." Suara lembut itu membuyarkan pikirannya. Areta berdiri di sana dengan senyum manis, mendekati Daniel dan langsung bergelayut manja di lengannya.
Daniel tersentak kaget. "Areta? Aduh, kamu bikin kaget aja," ucapnya sambil mengusap dadanya pelan.
Areta terkekeh kecil. "Ya abisnya aku dari tadi liatin kamu. Kamu ngelamun melulu. Lagi mikirin apa, hm?" tanyanya sambil menatap Daniel dengan rasa penasaran.
Daniel menatap Areta sejenak, ragu apakah ia harus mengatakan hal yang dilihatnya tadi. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk bicara.
"Sayang, kamu tahu nggak? Aku lihat Aqila tadi."
Areta mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata Daniel. Sesaat kemudian, ia terkekeh kecil dengan nada meremehkan. "Terus kenapa, Daniel? Kamu lihat dia di mana? Jangan-jangan di jalan jadi gelandangan?" tanyanya dengan nada mengejek.
Areta tertawa pelan, wajahnya penuh kepuasan. "Biarin aja dia. Yang penting dia nggak ganggu hidup kita lagi, kan?"
Namun Daniel menggeleng cepat. "Bukan, Areta. Aku lihat dia di sini. Di kampus ini. Bahkan aku yakin dia sekarang sudah jadi mahasiswa di sini." Suara Daniel terdengar serius.
Mendengar itu, tawa Areta terhenti. Matanya membelalak kaget. "Apa?! Di kampus ini? Kamu serius, Daniel?"