Dean tidak pernah berpikir dia akan hidup. Setelah dua kali terkena hujaman peluru, dan tubuhnya yang terbentur bertubi-tubi di lereng tebing. Dia yakin, pas dirinya terjun ke laut Dia pasti mati!
Siapa sangka, tubuhnya masih kuat terbawa arusnya ombak, dan terdampar di tepian pantai. Meski begitu, dia masih berpikir...
Dia pasti, akan mati!
Wanita itu.... Yah... Bisa dibilang malaikat penyelamat hidupnya. Dengan sepasang kakinya yang indah bertelanjang kaki berlari kecil di atas pasir menghampirinya. Menemukan tubuhnya yang malang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonelondo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31 Gara-Gara Wine
“Iya, aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir.”
Hm? Mu? Kenapa jadi kamu?
Dean mendelik atas perubahan per-sekian detik yang terjadi di diri Nina. Apakah ini artinya diantara mereka sudah tidak ada jarak?
“Hei, kenapa kamu diam lagi?”
Dean berjalan mendekat. Sesungguhnya dia ini lagi diambang dilema ada berniat ingin mundur. Entah mengapa langkah kakinya memanggilnya untuk maju. Mungkin akibat orang di depannya telah memberi ruang padanya.
“Ya, aku mendengarmu."
Pria itu memberi tatapan penuh makna diantara gemericik air hujan yang meniraikan pandangannya. Hujan datang semakin lebat, rupanya nggak menghalangi mereka untuk saling berpandangan. Ini kedua kalinya wanita itu seperti tersihir oleh mata hazel itu. Hingga angin kencang yang datang menggigit tulang pun tidak membuatnya goyah. Barulah, saat petir datang menggelegar dia tersadar. Segera dia menghentikan pandangan diantara mereka. Dengan mengalihkan berupa memberi alibi agar kedatangannya tidak disalahartikan.
“Karena kamu karyawanku. Tentu, aku khawatir. Kalau kamu sakit, bagaimana?”
Tersenyum. “Begitu ya?”
“Ya, tentu saja. Memang kamu pikir, apa?” Menyerahkan mantel. “Ini, pakailah.”
“Aku sudah kehujanan. Tapi terima kasih kamu membawakannya untukku."
Ya, benar juga, nggak ada gunanya. Nina menyimpan kembali mantel itu di balik jas hujannya.
“Ya sudah. Ayo, kita pulang.”
“Sebentar.” Menoleh ke belakang, memanggil. "Rocky."
"Hiiik..." Kuda itu menghampiri.
Kembali menengok ke depan. "Kita pulang naik Rocky saja."
Terperanjat. “Tidak, tidak. Aku tidak mau!"
“Kalau kamu tidak mau, aku tidak mau pulang." Lagi diatas angin, Dean mengancam.
Merengut. "Kamu ini...!"
Meraih pijakan kuda, mengulurkan tangan. "Bagaimana?"
Dengan muka masih tak sedap, Nina menuruti. Dean tersenyum.
Selama perjalanan terjadi keheningan. Kenapa? Tentu rasa canggung kembali menyerang Nina karena dihadapkan situasi ini lagi. Apa lagi suasana mendukung. Jadi membuatnya menempel dekat saat ini, memberi sensasi merinding yang berlebihan. Hanya satu harapannya, 'lekas sampai!'. Sedangkan, Dean? Hatinya lagi campur aduk. Senang Nina telah berubah, tapi sedih mengingat malangnya kehidupan pujaannya.
Kalau dipikir-pikir, dua orang itu sebenarnya senasib. Ditinggal orang tua, dan hidup seorang diri.
Nggak lama, mereka tiba. Dean turun, mengulurkan tangan. Nina menyambut, lalu bicara tanpa menoleh sembari menuju pintu pagar.
Biasa, wanita itu mau bergegas menenangkan diri sebelum mereka berhadapan lagi.
“Kamu lekas mandilah, biar tidak sakit.”
Hujan sudah reda. Nggak hanya Dean, Nina pun sudah mandi. Saat ini mereka sedang duduk di meja makan. Nina mengundang Dean masuk rumah. Dia sudah tenang. Selain cemilan, ada minuman hangat menemani mereka.
“Ini, minuman herbal. Bagus untuk daya tahan tubuh." Nina menggeser gelas, biar tepat di depan lawan bicaranya.
Mengambil. "Terima kasih." Meminum. "Ini, nikmat."
“Itu kubuat tidak pahit, agar kamu bisa menikmatinya.”
“Iya, biasanya minuman herbal pahit.”
“Ya, karena itulah kubuat begitu.”
Merubah topik. "Apa kamu ada kasihku pekerjaan?”
Menggeleng. “Tidak. Ini sudah sore. Lagi pula, memang nggak ada kerjaan."
“Baiklah.”
Waktu terus bergulir, hubungan mereka pun kian dekat. Sejak Nina berucap ‘kamu', hubungan baik diantara mereka tercipta begitu saja.
Dean pun semakin membulatkan tekad takkan mundur. Mati dan hidup urusan Tuhan. Dari pada menyesal, lebih baik dia maju. Selain itu, dia sudah buat rencana. Kalau mereka sudah jadian, dia akan umumkan ke warga sini kalau dia seorang tentara. Jadi, kalau terjadi apa-apa dengannya, warga sini tidak menambah gosip nggak sedap ke Nina. Karena apa yang terjadi padanya hal lumrah. Sudah resiko dari pekerjaan.
Nina sendiri sebenarnya ingin hubungan mereka sebagaimana semestinya saja. Setelah segala hal menyebalkan yang diperbuatnya. Tanpa perlu dia bicara hanya lewat perilaku. Dia yakin Dean bakal paham sinyal yang diberikan darinya.
**********
Melewati semak belukar, mereka terus mengendap-endap. Saat ini mereka lagi mengintai seekor b*bi hutan. Lelaki itu mengajak berburu. Tentu wanita itu mau, karena dia mendapat ilmu menimbang tinggal dilingkungan ini.
Nina telah siap dengan tombaknya. Sebelum pergi Dean membuatnya. Setelah keluar instruksi dari mulut Dean, Nina segera melempar.
Syuuunggg...
“Oink, oink..." Si b*bi menjerit.
Mereka langsung keluar dari tempat persembunyian.
“Yeee... Aku berhasil!” girang Nina.
“Iya. Ayo, kita tangkap dan bawa pulang."
Mengangguk. “Iya.”
Mereka mencabut tombak. Mengikat keempat kaki b*bi ke tombak. Dean memanggul hewan itu. Kemudian mereka berjalan pulang.
“Aku tak menyangka bisa berhasil." Nina tersenyum-senyum senang.
“Yang penting kamu fokus.”
“Tadinya pas kamu suruh tombak, tanganku gemetaran lagi. Syukurlah, biar begitu tidak meleset.”
Sebelumnya tombakan wanita itu selalu gagal. Maklum, namanya lagi belajar.
“Sudah kubilang, jangan gugup.”
“Iya. Namun untunglah tadi tidak gagal.”
Setiba di rumah. Dean membersihkan tangkapan mereka, sedangkan Nina menyiapkan api unggun dan segala peralatan bakar. Setelah urusan masing-masing pada beres, Dean menancapkan tubuh b*bi dari pantat hingga ke kepala. Kemudian membakarnya secara menyeluruh mengguling-gulingnya di atas perapian.
(Gambar hanya ilustrasi)
“Kita ini makan besar,” ucap Nina.
“Iya, tapi selebihnya bisa disimpan.”
Mengangguk. "Mm." Teringat sesuatu, lekas berdiri. “Oh iya!”
Dean menatap bingung punggung orang yang berjalan pergi meninggalkannya. Tapi pas orang itu keluar rumah membawa 2 botol minuman, dia tersenyum.
“Wine?”
“Iya, tapi ini bukan wine yang waktu itu kita buat. Ini wine simpananku. Makan daging bukankah lebih asik minum, bukan?”
“Ya, setuju!” sepakat Dean.
Aroma bakaran menyelimuti sekitaran. Daging itu telah terpanggang merata. Dean menyayat-nyayat dan meletakkan ke nampan. Nina memindahkan ke piring masing-masing mereka. Selanjutnya mereka menyantap bersama.
“Aku sudah lama tidak makan b*bi bakar,” ucap Nina.
Mengerutkan kening. “Masa? Bukannya kamu pernah masak bab*? Perasaan aku pernah makan."
“Maksudku itu, daging bab* yang fresh. Karena yang selalu kubeli itu dalam kemasan kaleng. Ya, yang kamu makan itu."
“Oo... Kalau begitu, kenapa tiap kapal pemasok kebutuhan datang, kamu tidak beli?"
"Entahlah... Tapi kalau pun kubeli, tetap saja gak fresh. Mereka kan jual daging beku. Namanya mereka jualan keliling pulau."
"Mm... Benar juga." Teringat sesuatu. "Eh, tapi waktu itu kamu beli anggur fresh. Seharusnya kan juga beku. "
Tersadar. "Eh iya, ya. Ah, entahlah..." Merubah topik. “Kamu bisa main gitar?”
Mendelik. "Bisa. Kenapa?”
“Tunggu."
Nina berjalan lagi masuk ke dalam rumah. Nggak lama keluar membawa alat musik.
“Kamu ingin ada musik?" tebak Dean.
Mengangguk. "Iya."
Tersenyum. "Baiklah. Memang suasana begini bagusnya ada melodi."
Setelah makan, mereka bernyanyi-nyanyi riang ditemani api unggun dan remangnya malam. Satu botol wine sudah habis, botol kedua sudah ½ habis. Kali ini Nina bernyanyi sambil menari dengan menaikkan roknya ke atas dengkul, bergoyang ke kanan dan ke kiri.
Tubuh wanita itu sedikit lunglai sepertinya sudah mabuk. Pria itu juga begitu, tapi dia masih bisa mengontrol diri. Mungkin karena nggak ingin melewatkan pemandangan di depan matanya. Ya! Kapan lagi? Dia tersenyum-senyum senang lihat pujaannya melenggokan tubuhnya yang aduhai. Tapi sepertinya yang dilihatnya sudah tak tahan lagi. Berdirinya sudah tidak bisa stabil.
Nina berjalan mendekat kemudian memerosotkan tubuhnya ke pangkuan orang yang memperhatikannya. Untung sebelum Nina jatuh, Dean terlebih dahulu reflek menyingkirkan gitar di atas pahanya, dan segera menangkap tubuh pujaannya.
“Kamu mabuk?”
“Apa kamu tidak?” Nina balik bertanya, dengan kedua mata sayu.
Tersenyum. “Sedikit.”
Nina menaikkan satu tangannya, membelai wajah di depannya. Seketika yang dibelai membeku.
“Apa kamu menyukaiku?”
Dean melotot. Tentu saja seketika menghilangkan kadar alkohol di tubuhnya sampai ke titik nol. Sepenuhnya dia langsung sadar.
“Aku tahu, kamu pasti ada maksud tertentu padaku. Aku bisa merasakan itu. Kenapa? Mm?”
"Apakah karena aku cantik?"
“Apa karena aku wanita menarik?”
“Apa karena aku wanita yang menyelamatkanmu?”
“Atau kamu pikir, aku wanita kesepian?”
“Atau juga, kamu kasihan lihat keadaanku?”
Wanita itu terus mencecar pertanyaan, dengan diakhiri menarik baju. Wajah mereka jadi semakin dekat. Lalu secara nakal, wanita itu melakukan pergerakan tidak terduga lagi. Dengan menjulurkan lidahnya membasahi permukaan bibir lawan bicaranya.
“Kenapa kamu terus menggodaku? Mm? Kamu pikir, aku tidak tahu kamu terus berusaha keras mencari celah mendekatiku?”
Jantung Dean berdetak keras, namun pandangannya tak lepas dari bola mata kelambu itu. Apakah ini isi hati alam sadar, Nina? Jadi, Nina sudah tahu maksud tujuannya di sini?
Nina terus menggoda menjilati bibir yang menarik perhatiannya. Hebatnya Dean, dari tadi berusaha keras menahan gairah. Karena dia berharap andai Nina dalam kondisi sadar. Ah, persetan lah!
Serangan wanita itu tentu mampu membobol pertahanan pria itu. Dia langsung mempererat pelukannya, memberi serangan balik langsung mensesapi bibir delima yang diimpikannya. Terus dimainkannya lekukan indah itu dari sudut ke sudut. Lalu dia masuk ke dalam. Menjalarkan lidahnya memijat pelan-pelan atas dinding mulut lawan mainnya. Mereka terus bertukar saliva. Ciuman mereka pun semakin hot. Hingga secara naluri kejantanannya, pria itu mengangkat tubuh yang sangat didambakannya itu, dibopongnya ke dalam. Mereka terus berciuman sepanjang jalan.
Kemudian setelah tubuh wanita itu diturunkan di atas ranjang, sebelum direbahkan, terlebih dahulu dia menarik resleting belakang gaun wanita itu. Mengelus-elus punggung halus nan mulus memberi kegelian dulu di sana, sebelum dia menyelami keindahan dua apel yang menantinya di depan.
Namun pada saat bensinnya sudah terbakar, Dean merasakan laju ciuman pujaannya melemah, dilihatnya kedua mata Nina perlahan menutup. Dari situlah dia tersadar, ini nggak boleh dilakukan. Bisa kacau urusannya besok pagi Nina sadar.
Dipasangnya lagi apa yang telah dibongkarnya. Direbahkannya tubuh yang lemah itu pelan-pelan. Diamatinya wajah pujaannya yang mirip boneka. Dibelai-belainya kemudian, dilanjutkan memberi kecupan ke kening.
“Selamat istirahat, Sayang..."
Setidaknya dia sudah tahu isi hati Nina. Tidak apa-apa, itu bisa dilakukan nanti dalam kondisi Nina sudah jatuh dalam pelukannya. Sebaiknya sekarang dia pergi.
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️
setelah greget baca dewi dan mas kris