NovelToon NovelToon
Alea Si Gadis Tersisihkan

Alea Si Gadis Tersisihkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Pengantin Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Kaya Raya / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:12.7k
Nilai: 5
Nama Author: Favreaa

"Kamu harus menikah dengan Seno!"

Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.

"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"

hardiknya keras.

Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"

***

Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26

"Kata Mang Darjo di luar ada orang yang nungguin Non Alea."

"Biarkan mereka menunggu sebentar, Bi. Aku bersiap dulu!"

"Iya, Non. Kalau begitu Bibi ke belakang dulu, ya!"

Alea mengangguk lalu masuk kembali ke dalam kamar. Dirinya baru saja selesai berpakaian dan saat membuka ponsel, di sana tertera beberapa panggilan tak terjawab dari Eyang Elaine dan sebuah pesan dari wanita tua itu yang mengatakan agar ia bersiap-siap karena sebentar lagi seseorang akan datang menjemputnya dan membawanya bertemu dengan keluarga Ravindra.

Alea melihat angka jam yang tertera di layar ponsel, pukul delapan malam. Ia pikir tidak mungkin menginap jadi ia tidak membawa pakaian ganti dan hanya pakaian yang sedang ia kenakan di badan.

"Alea, kamu mau bertemu dengan keluarga Ravindra dengan pakaian seperti itu ?" tegur Arka saat Alea lewat di depannya.

Arka merasa penampilan Alea sangat tidak pantas, kemeja ketinggalan zaman dan celana jeans panjang. Berpenampilan seperti itu saat hendak menemui keluarga calon suaminya, bukankah sama saja dengan Alea berniat mempermalukan dirinya dan keluarganya pikir Arka geram, emosinya mulai naik.

Ucapan Arka membuat langkah Alea terhenti. "Lalu aku harus pakai apa, gaun mahal dan aksesoris lengkap seperti Bianca? Anda sangat tahu bahwa aku tidak memilikinya!"

Alea berucap bahkan tanpa repot-repot menoleh atau membalik tubuhnya menghadap Arka, ia berbicara dengan membelakangi Ayah biologisnya itu.

Arka tertegun sejenak lalu berseru tak percaya. "Bagaimana mungkin bisa kamu tidak memiliki uang, aku sudah memberimu dua buah kartu peninggalan almarhum Kakekmu, setiap bulan aku mengisi keduanya, satu untuk biaya pendidikanmu dan satu lagi untuk uang bulananmu!"

Alea tertawa getir. Lihatlah bukti ketidakpedulian Arka. Meskipun pria itu setiap bulan mengiriminya uang tetapi pria itu tidak pernah tahu kalau bukan dia yang menikmati.

"Anda bahkan tidak tahu, kartu berisi uang bulananku telah diambil oleh istri dan ibumu sejak pertama kali aku mendapatkan kartu itu, di dompetku hanya ada satu kartu untuk biaya pendidikan."

Lagi-lagi Arka tertegun. "Apa maksudmu?"

"Kurang jelas?" Alea berbalik, menatap tepat di mata Arka dengan berani. "Kartu itu diambil oleh istri dan ibumu, aku tidak tahu uang itu digunakan oleh mereka atau tetap mengendap di dalam rekening. Terserah Anda mau percaya atau tidak!"

Setelah mengatakan itu Alea berbalik dan pergi dari rumah, meninggalkan Arka yang mematung sendirian. Setelah sadar, Aeka berjalan tergesa mencari keberadaan sang ibu dan istrinya. Pertama Arka menuju kamarnya dan Raya, ia membuka pintu yang dengan keras dan Raya yang berada di dalam terperanjat kaget.

"Mas! Kamu itu kenapa, sih?"

"Sayang, katakan dengan jujur padaku. Apa benar kamu dan ibu mengambil kartu peninggalan Papa untuk Alea?"

Raya sedikit gugup karena Arka terlihat marah, mencoba tetap tenang karena ia sudah menyiapkan alasan dari jauh-jauh hari. Agar Arka tidak merasakan kegugupannya, Raya pun bereaksi biasa saja bahkan sengaja memutar bola matanya malas.

"Kalau iya memangnya kenapa, Mas?" tanyanya santai tanpa rasa bersalah, walau dalam hati sejujurnya ia takut.

Arka tercengang. Selama ini ia berpikir tidak apa-apa untuk tidak memberi perhatian pada Alea dan selalu mengutamakan Bianca, tetapi ia masih bertanggung jawab dengan mencukupi kebutuhan Alea dengan memberinya uang setiap bulan dengan jumlah yang sama dengan Bianca. Tapi, ternyata uang itu bahkan tidak pernah dinikmati oleh Alea.

"Itu uang untuk Alea, Raya. Biaya pendidikan anak itu sudah di tanggung Papa sebelum beliau wafat, sedangkan uang bulanan untuknya itu dariku, sebagai bentuk tanggung jawabku untuknya!"

Raya mengangkat wajahnya. "Tidak perlu berlebihan, Mas. Toh Alea masih hidup dan tetap berpakaian meskipun tanpa uang bulanan darimu. Dia harus bersyukur kita hanya mengambil uang bulanannya saja, tapi tidak dengan uang pendidikan jadi ia masih bisa tetap bersekolah. Dia juga tinggal di sini dengan aman tidak perlu khawatir pada orang yang berniat jahat di luaran sana jika dia tinggal di jalanan, apa yang kita makan juga ia ikut makan. Lihat, kita memperlakukannya dengan baik, tidak perlu membesar-besarkan masalah uang yang tidak seberapa jumlahnya!" ucap Raya santai.

"Tapi--,"

"Sudahlah, Mas. Dia hanya anak tidak sah yang seharusnya tidak lahir, kamu tidak punya tanggung jawab untuk menafkahi. Kita mau menampung dia di sini itu sudah sangat bagus untuknya!" Lagi-lagi Raya mengungkit tentang status Alea.

"Jika kamu memberi nafkah itu bukan kewajiban, tapi sedekah. Lagi pula uang segitu tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku terima akibat kehadirannya, Mas!" ucap Raya lagi.

Arka, pria itu tidak mempunyai pendirian tetap jika menyangkut Alea, sikapnya berubah-ubah dan mudah terpengaruh. Adakalanya ia tidak senang melihat istri dan ibunya memperlakukan Alea dengan buruk, adakalanya ia memaklumi dan menganggap biasa, ada kalanya juga ia di dera rasa bersalah yang membuat dadanya sesak.

Seperti sekarang saat Arka bergeming, mendengar penjelasan dan penuturan Raya rasa bersalah yang sempat hinggap di dada terbuang dengan mudah, kemarahan yang sempat menggebu sirna dalam sekejap.

"Lalu dimana uang itu sekarang?"

"Tanyakan pada Mama, Mama yang menyimpannya!"

Arka berbalik keluar dari kamar menuju kamar Nyonya Camelia. Setelah mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa dirinya yang datang, suara Nyonya Camelia terdengar dari dalam memintanya masuk.

"Kenapa, Ka? Tumben kamu datang ke kamar Mama." Nyonya Camelia bertanya seraya mengecilkan volume televisi.

Di kamar Nyonya Camelia memang ada televisi pribadi. Ia yang sudah tua dan tubuhnya sudah tidak sebugar dulu, terkadang kelelahan jika harus keluar ke ruang tengah hanya untuk menonton TV untuk menghilangkan jenuh. Jadi ia meminta televisi untuk ditaruh di kamar.

"Dimana uang bulanan yang aku kirimkan setiap bulan untuk Alea, Ma?" tanya Adam sembari mendudukkan dirinya diranjang.

"Oh, kamu sudah tahu ternyata. Mama pikir anak itu tidak akan mengadu, ternyata ia mengadu juga!"

"Ma-." Arka tidak ingin berbasa-basi atau ia akan kembali marah.

"Uangnya sebagian sudah mama belikan perhiasan, shopping dengan Raya dan BIanca. Mungkin hanya uang setahun ke belakang yang sama sekali belum terpakai!" terangnya enteng.

Arka ingin marah, tapi sekali lagi terlintas di benaknya ucapan Raya maka kemarahan itu mereda. Jika dipikirkan lagi, yang memakai uangnya juga ibu beserta istrinya dan bukan orang lain, jadi Arka akan memaafkan dan tidak mempermasalahkan.

Arka lalu mengulurkan tangannya menengadah. "Sekarang berikan kartunya pada Arka!"

"Di laci bawah Tv, ambil sendiri di sana!" jawabnya lalu meraih remot televisi dan menambah Volume suaranya menjadi lebih keras.

"Uang bulanan Mama sudah ada sendiri, kartu ini aku sita!" Nyonya Camelia mengangguk tak perduli, toh uangnya memang tinggal sedikit.

Sebenarnya bukan Nyonya Camelia dan Raya yang memakai uang itu, tetapi Bianca. Bianca memakainya untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, mereka berdua sepakat melindungi nama baik BIanca dengan mengorbankan diri, agar Bianca tetap terlihat baik di mata Arka sehingga Alea tetap tersisih dan tidak terlihat.

***

"Sepertinya mobil kita sedang diikuti!" ujar salah satu pria yang duduk di samping kemudi.

Alea menoleh ke belakang, sebuah mobil tampak sangat jelas mengikuti mobil yang ditumpanginya. Saat mobil pelan, mobil itu juga ikut pelan, begitu juga sebaliknya jika mobil melaju dengan kecepatan tinggi maka mobil yang ada di belakangnya turut melakukan hal yang sama.

"Putar arah!" titahnya tegas. "Nona, tolong kencangkan sabuk pengaman Anda!".

Alea tidak mengatakan apa-apa, ia segera mengencangkan sabuk pengaman dan berusaha tetap tenang agar dua pria yang duduk di kursi depan tidak terganggu.

Mobil berputar arah tanpa aba-aba, Alea bisa melihat mobil yang mengikuti mereka mengerem mendadak, lalu ikut berputar arah mengejar mobil yang ditumpangi olehnya.

"Belok kanan jarak dua meter!"

Ckkiitt!

Supir mengerem mendadak, berbelok tiba-tiba dan menginjak pedal gas begitu kencang. Jantung Alea berdetak sangat kencang, adegan berbahaya yang biasa ia lihat dalam drama kini ia alami langsung.

Bohong jika ia tidak takut, ia sangat takut bahkan saking takutnya tubuhnya sangat tegang.

Beruntung, setelah melewati beberapa lorong dan persimpangan mobil yang membuntuti mereka sudah kehilangan jejak, dapat Jelita lihat ke belakang mobil itu terhalang oleh truk besar yang sedang melintas.

Alea menghela nafas lega dan mengelus dadanya. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi seraya memejamkan mata, jantungnya masih berdebar tak beraturan.

"Kita sudah sampai, Nona." Pria itu lalu turun, membukakan pintu untuk Alea dan mempersilahkan gadis itu untuk turun.

Alea mengangkat wajahnya, melihat bangunan yang sangat besar dan tinggi, lampunya sangat terang dan ia bisa melihat dengan jelas beberapa orang keluar masuk. Alea tidak bisa memperkirakan terdiri dari berapa lantai bangunan megah di depannya. Terdapat sebuah ukiran indah sangat besar di bagian atas pintu utama yang bertuliskan Hotel Garden Tulip.

"Mari ikuti saya, Nona!"

Alea tersentak, pengamatannya buyar lalu mengangguk dan melangkahkan kakinya mengikuti pria itu. Meskipun pria itu mengaku utusan Eyang Elaine, tapi Alea tidak percaya begitu saja dan tetap waspada. Ia mengirimkan lokasinya pada Eyang dan bertanya, apakah benar Eyang ingin bertemu dirinya di tempat ini.

Setelah Eyang mengatakan iya dalam pesan balasannya, Alea menghela nafas lega dan langkahnya terasa ringan. Berjalan melewati meja resepsionis menuju lift, lift bergerak membawa mereka ke lantai tiga. Keluar dari lift, pria itu membawanya memasuki koridor hotel melewati beberapa kamar yang tertutup.

Warna dinding perpaduan antara cream dan coklat, benar-benar perpaduan warna yang apik dan berhasil memberikan kesan yang tenang. Dalam hati Alea memuji desain bangunan dan pemilihan warna yang sangat sempurna.

Tiba di sebuah kamar, pria itu mengetuk pintunya tiga kali lalu berdiam diri menunggu. Tak lama kemudian pintu terbuka, di sana terlihat Eyang melebarkan senyumnya menyambut Alea.

"Sayang, kamu sudah datang rupanya!"

Eyang berseru senang, mendekat meraih Jelita ke dalam pelukan.

"Iya, Eyang!" jawab Jelita seraya membalas pelukan Eyang Juwita tidak terlalu erat.

"Ayo, masuk!" Eyang Elaine menggandeng Alea masuk.

Sedangkan pria yang mengantar Alea berbalik pergi setelah memastikan dua wanita berbeda usia itu masuk dalam keadaan aman. Pria itu beralih mengetuk pintu kamar tepat di depan kamar Eyang.

Paman Emir muncul dari balik pintu dan meminta pria itu masuk.

"Ada apa?" tanya Seno begitu pria suruhannya menghadap.

"Sebuah mobil mengikuti kami saat dalam perjalanan ke sini, sepertinya mereka sudah ada di area rumah Wicaksana dan mengawasi pergerakan Nona Alea."

"Lalu, mereka tahu tempat ini?"

"Tidak, Tuan. Saya bisa memastikan mereka kehilangan jejak kami di persimpangan stasiun kereta!" jawabnya.

"Pergilah!"

Pria itu menatap Seno. "Tidak ada lagi yang perlu kami lakukan, Tuan?" tanyanya.

"Tidak ada, tugasmu sudah selesai. Perketat pengawasan, jangan sampai ada orang tak di kenal mendekat ke area ini!"

"Siap laksanakan, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu!" Pria itu membungkuk kecil lalu pergi dari hadapan Seno.

Paman Emir yang sejak tadi diam bergeming dan hanya menjadi pengamat dan pendengar kini mulai bersuara.

"Kenapa kamu tidak menyuruh mereka mencari tahu. Mungkin keluarga Wicaksana mempunyai musuh yang ingin mengusik keluarga mereka!"

"Alea bukan bagian dari mereka, musuh tidak akan menargetkan gadis itu untuk mengusik keluarga Wicaksana!"

"Lalu, apa kau tahu sesuatu?" tanyanya dengan dahi berkerut. Namun, tiba-tiba matanya terbelalak. "Jangan-jangan-"

Seno mendorong kursi rodanya dan berhenti di pinggir jendela kaca yang terbentang luas. Pemandangan malam yang menampilkan kelap-kelip lampu terlihat sangat indah. Jika anak kecil yang melihat, pasti sudah kegirangan.

"Kakek Ian dan Zea, pelakunya ada di antara keduanya atau malah mereka berdua dalangnya!" ujar Seno datar. Netranya sama sekali tak beralih dari gedung-gedung tinggi yang menjadi pemandangan terdekatnya saat ini.

Paman Emir menghela nafas, turut berdiri di sebelah Seno dengan pandangan lurus menatap jauh ke depan.

"Jika aku kembali ke London. Apa kamu bisa menangani mereka sendiri?"

"Jangan meremehkanku, apa selama ini aku pernah menuruti permintaannya? ... Aku hanya menghormati Kakek Ian sebagai adik almarhum Opa. Tapi aku tidak pernah tunduk dengan perintahnya!"

Paman Emir menoleh, menatap Seno meledek. "Tapi kamu pernah menuruti permintaannya, dekat dengan Zea sewaktu remaja bukanlah atas permintaannya?"

Seno mendengus jengkel. "Itu karena Opa, kalau bukan karena Opa terus membujukku, Paman pikir aku mau dekat dengan wanita bermuka dua sepertinya?"

Paman Emir terkekeh. Mereka semua tahu sifat asli Zea, tapi almarhum suami Eyang Elaine yang Seno panggil Opa sangat menyayangi Zea seperti cucu kandungnya sendiri karena Zea yang ramah, baik, anggun dan memiliki tata krama yang baik. Untuk itu ia selalu meminta pada Seno untuk dekat dengan Zea dan menjaga gadis itu.

"Alea sudah bersama Mommy, kau tidak ingin menemuinya?"

"Untuk apa?" Seno bertanya malas.

"Hei, kau harus memulai pendekatan. Kalian akan hidup satu atap, satu ruangan, bahkan satu ranjang. Tidak mungkin kalian bertindak seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Atau jangan-jangan, kau berencana memberinya kontrak pernikahan ?" Paman Emir memicing menatap Seno penuh curiga.

"Ck, bukan urusan Paman. Lebih baik Paman kembali ke kamar Paman sendiri!"

"Hei, anak nakal. Aku sudah berbaik hati menemanimu di sini tapi kau malah mengusirku?" tanyanya dengan wajah bersungut-sungut.

Seno memutar bola matanya jengah. "Lalu apa, Paman mau ikut aku tidur? Aku ingin beristirahat!"

Meski dengan wajah kesal, Paman Emir menuruti perintah Seno dengan keluar dari kamarnya dan meninggalkan Seno sendirian.

1
Siti Aisyah Aisyah
lanjut up lg thor
Giandra
semoga semua para pelayan sadar bahwa cover bagus belum tentu isinya juga sama mudah2an si Nina bisa diterima di keluarga zea sukur2 jadi pelayan kakeknya biar jadi mata2 untuk dirinya sendiri.
Retno Harningsih
up
Mariaangelina Yuliana
iklannya shopee bikin jengkel
Mariaangelina Yuliana
aduh kok kayak nyium bau bau pelakor yaaaa🤭
Giandra
enaknya diapain ni art g jelas banget
Retno Harningsih
up
Giandra
jangan gegabah mengambil keputusan sendiri Alea bicarakan baik baik seolah olah bertanya ''mau dibawa kemana pernikahan ini" pada Seno
Adinda
semoga ibu kandungnya Alea masih hidup
Adinda
semoga ibu kandung alea masih hidup, kasihan alea thor.
Giandra
bagus
Giandra
tetap waspada Alea jangan sampai lengah orang orang disekitarmu
Anonymous
suka banget sama karakter alea, ga pernah ngeluarin air mata buat orang jahat & dia tetap tegar
Giandra
ada lagi yang cari penyakit
Retno Harningsih
up
Giandra
ayo Alea perjalanan hidupmu baru dimulai tunjukkan ketegasanmu jangan biarkan orang orang terutama para pelakor menindasmu
Giandra
zea dan Bianca mencari penyakitnya sendiri
Retno Harningsih
up
Giandra
momen canggung malah kepergok ada yang masuk pasti salah paham
Giandra
semoga lancar acaranya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!