Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dion tahu
Siang itu, kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa berlalu-lalang di sekitar taman, beberapa sibuk mengobrol, yang lain bergegas menuju kelas mereka. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang tampak berjalan dengan langkah cepat dan penuh amarah, Dion.
Matanya liar mencari seseorang, dan begitu ia menemukannya, tanpa ragu ia melangkah lebih cepat. Hana baru saja keluar dari perpustakaan bersama Marini ketika Dion tiba-tiba menarik tangannya dengan kasar.
"Kita perlu bicara!" suaranya penuh kemarahan.
"Astaga! Apa lagi sih?" Hana terkejut dan mencoba menarik tangannya, tetapi cengkeraman Dion terlalu kuat.
"Lepasin aku, Dion! Kamu menyakitiku!" teriak Hana, suaranya menggema di sekitar taman kampus yang sepi.
Namun, Dion tidak menggubris, genggamannya semakin erat pada pergelangan tanganku.
Hana bisa merasakan kemarahannya membara, tapi ia tidak tahu apa salahku. Marini langsung berlari ke arah kami, berdiri di antara Hana dan Dion.
"Hei! Lo budek? gak dengar dia bilang apa? Lepasin!" bentaknya lantang.
Tapi Dion bahkan tidak melirik ke arah Marini. Ia hanya semakin keras menarik Hana ke sudut taman yang lebih gelap, seperti serigala yang mengintai mangsanya.
Hana merasa ketakutan.
"Jawab, Hana! Apa yang lo kasih ke ayah gue sampai dia berani ninggalin nyokap gue, hah? Tubuh lo?" Dion berbisik tajam, hampir mendesis, suaranya penuh dengan dendam yang mengerikan.
Hana bisa merasakan nafasnya yang panas bercampur dengan amarah. Ia memandangnya, air matanya menggenang, tak mampu ditahan lagi. Rasanya perih, lebih perih dari genggamannya yang menyakitiku.
"Kamu pikir aku perempuan macam apa, Dion?" tanya Hana dengan suara bergetar, lemah tapi penuh kekecewaan.
Dia tertawa sinis, tatapannya tajam seperti bilah pisau yang menusuk.
"Lo pikir gue bodoh? Gue tahu lo manfaatin ayah gue, lo bikin dia tergila-gila sampai lupa anaknya sendiri!" Nada suaranya begitu merendahkan, membuat hati seperti tercabik.
Hana menelan ludah, mencoba merangkai kekuatan untuk bicara. 'Bagaimana aku bisa menjelaskan hal yang tidak pernah aku lakukan? Apa sih maunya Dion?'
Tapi di balik tatapan bencinya, Hana hanya melihat luka yang dalam. Ia ingin memberitahunya bahwa dia salah, bahwa Hana bukan seperti yang dia pikirkan.
Namun, suaranya tertelan di tenggorokan. Apa Hana bahkan berhak untuk membela diri, saat prasangkanya sudah menghakimi habis-habisan?
"Lo kasih tubuh lo kan? Gue tahu lo perempuan murahan!"
Tamparan keras mendarat di pipi Dion. Hana menatapnya dengan mata penuh kemarahan dan luka.
"Jangan pernah bicara seperti itu lagi! Aku nggak pernah menghancurkan keluargamu, Dion! Pernikahan orang tuamu sudah berantakan bahkan sebelum aku datang!" Hana gemetar, bukan karena takut, tetapi karena sakit hati.
Dion terdiam. Hana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya.
"Aku pernah mencintai kamu, Dion. Aku rela melakukan apa pun demi hubungan kita. Tapi lihat apa yang kamu lakukan padaku. Kamu menyakitiku, merendahkanku, dan sekarang kamu menuduhku menghancurkan keluargamu? Jangan bodoh, Dion. Buka matamu!"
Dion terdiam, rahangnya mengatup rapat. Amarah di matanya mulai digantikan oleh sesuatu yang lebih dalam, rasa bersalah.
Sementara itu, Marini yang sedari tadi mengawasi akhirnya mendekat. "Udah cukup dramanya! Hana, ayo pergi."
Hana menatap Dion untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan pergi bersama Marini.
Dion tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Hana yang semakin menjauh. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti pecundang, kehilangan segalanya hanya karena kebenciannya sendiri.
Dion duduk di dalam mobilnya, menatap kosong ke jalanan di depannya. Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, buku-buku jarinya memutih. Dadanya naik-turun cepat, seolah sedang berusaha mengatur napasnya yang tersengal karena emosi yang bercampur aduk.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya.
Dulu, dia punya segalanya, keluarga yang utuh, hubungan yang stabil dengan Hana, dan kepercayaan penuh pada ibunya.
Tapi kini, semuanya hancur berkeping-keping. Ayahnya, yang selama ini ia pikir akan selalu bersama ibunya, malah memilih wanita lain. Wanita itu adalah Hana, mantan kekasihnya sendiri.
Dion meremas rambutnya sendiri, frustrasi luar biasa. Ingatannya kembali ke beberapa bulan lalu, saat ia masih bersama Hana. Ia tahu betapa Hana mencintainya, betapa gadis itu selalu berusaha mempertahankan hubungan mereka meskipun mereka sering bertengkar.
Tapi sekarang?
Hana memilih Dominic.
Bukan hanya itu, ayahnya juga memilih Hana daripada mempertahankan keluarganya.
"Apa aku segitu tidak berharganya?" pikir Dion, dadanya terasa sesak.
Ia lalu memikirkan ibunya, Rina. Wanita itu kini hancur, amarahnya tak terbendung setelah menerima surat gugatan cerai dari Dominic.
Dion bisa melihat bagaimana ibunya berusaha sekuat tenaga menutupi rasa sakitnya dengan kemarahan. Tapi dia tahu, di balik semua itu, ibunya benar-benar terluka.
Dion mengepalkan tangannya. "Ini semua karena Hana."
Tapi kemudian, sebuah suara kecil di kepalanya membantah.
"Atau ini karena ayah?"
Dion mulai meragukan segalanya. Apakah ayahnya benar-benar jatuh cinta pada Hana? Atau hanya karena dendam lama dengan ibunya?
Dan bagaimana dengan ibunya sendiri? Kenapa ayahnya begitu teguh ingin berpisah?
Dion menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang ia tidak tahu. Sesuatu yang disembunyikan oleh kedua orang tuanya selama ini.
"Aku harus tahu kebenarannya."
Tanpa berpikir panjang, Dion menyalakan mobilnya dan melaju kencang ke rumah ibunya. Jika ada yang bisa memberinya jawaban, maka itu adalah Rina.
--
Dion memasuki rumah ibunya dengan langkah cepat. Hatinya masih dipenuhi emosi yang berkecamuk. Ia harus mendapatkan jawaban, harus tahu mengapa ayahnya memilih untuk meninggalkan mereka demi Hana.
Saat memasuki ruang tamu, ia melihat Rina duduk di sofa, matanya sembab dan merah, jelas habis menangis. Di tangannya, segelas wine bergetar pelan, sementara bibirnya mengatup rapat, seakan menahan kata-kata yang ingin keluar.
"Ibu," panggil Dion dengan suara berat.
Rina mengangkat wajahnya, menatap Dion dengan tatapan kosong.
"Kamu datang..." suaranya terdengar serak, nyaris berbisik.
Dion menutup pintu dengan keras, membuat ibunya sedikit tersentak.
"Aku ingin tahu kebenarannya, kenapa ayah memilih meninggalkan kita? Kenapa dia sampai segitu teguhnya ingin cerai? Ini semua karena Hana, kan?" katanya tegas.
"Dion, ini bukan hanya tentang Hana..." Rina menghela napas panjang, menegakkan tubuhnya.
Dion mendengus sinis. "Bukan hanya tentang Hana? Jadi apa? Ayah selalu bilang dia tidak bisa memaafkanmu, dia menyebut kesalahanmu berulang-ulang, tapi aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
Rina menggigit bibirnya, tangannya mencengkeram gelas wine begitu erat hingga hampir pecah.
"Kamu tidak akan mengerti, Dion," katanya dengan suara bergetar.
Dion mengepalkan tangannya. "Kalau Ibu tidak menjelaskan, bagaimana aku bisa mengerti?"
Keheningan melingkupi mereka.
Rina menatap anaknya dengan mata yang penuh kepedihan. Kemudian, ia tersenyum miris. "Baiklah. Kamu ingin tahu kenapa ayahmu begitu membenciku?"
Dion tidak menjawab, hanya menatap ibunya dengan tatapan tajam.
Rina menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, "Karena aku pernah mengkhianatinya."
"Apa?" Jantung Dion berdegup kencang.
"Ayahmu tidak pernah bisa melupakan kesalahanku, Dion... Ibu pernah selingkuh." Suara Rina nyaris berbisik.
"Ibu bercanda, kan?" Dion mundur selangkah, seolah kata-kata itu adalah pukulan telak baginya.
Tapi raut wajah Rina tidak menunjukkan kebohongan sedikit pun. Matanya penuh penyesalan. "Tidak, aku tidak bercanda."
Dion menggeleng tak percaya. "Jadi... Ayah meninggalkanmu bukan hanya karena Hana?"
Rina mengusap wajahnya. "Hana hanya pemicu, Dion. Luka ayahmu sudah ada jauh sebelum Hana datang ke dalam hidupnya."
Dion merasa dunianya berputar. Ia selalu menyalahkan Hana, selalu berpikir bahwa gadis itu adalah penyebab kehancuran keluarganya. Tapi sekarang, kebenaran yang terungkap justru lebih menyakitkan.
"Siapa? Siapa pria itu?" tanya Dion dingin.
Rina terdiam. Ada ketakutan dalam matanya. "Itu tidak penting."
"Tentu saja itu penting, Bu! Siapa pria itu?" Dion berteriak.
Rina menunduk, air mata jatuh ke pipinya. "Seseorang dari masa lalu..."
Dion mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak percaya... Aku tidak percaya ini!"
Ia berbalik, berjalan keluar dengan langkah cepat.
"Dion!" Rina memanggil, tapi Dion tidak peduli. Ia harus pergi. Harus menjauh.
Saat ini, hanya ada satu orang yang ingin ia temui.
Dominic.
Bersambung...