Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 - Pencari perhatian.
Chloris menangkupkan kedua tangannya ke wajah lantas berlari meninggalkan ruangan ini disusul oleh Maggie dan Rowena.
"Wah, sepertinya ada yang mewakili pembalasan dendamku," celetuk Natalie yang tiba-tiba muncul dari balik punggungku.
Aku menoleh ke belakang dan buru-buru mencolek lengannya.
"Sori, aku tidak bermaksud," imbuhnya enteng. Ia sekilas melirik William yang sedang makan kue. Kemudian, pura-pura berdeham untuk menarik perhatian cowok itu. "Hai, Will. Apa aku boleh duduk di sini? Maaf, kalau aku mengganggu waktu romantis kalian."
Aku berdecak.
"Ya, duduk saja. Waktu romantis kami sudah selesai," jawab William yang justru menanggapi sindiran Natalie.
Ia terkekeh. "Oke, thank's."
Setelah sesi dansa berakhir, acara penutup dari pesta malam ini yang juga tidak kalah menarik lainnya adalah pengumuman pemenang hadiah doorprize. Aku mendengar suara Natalie yang tak henti-hentinya menggumamkan doa di sampingku. Ia juga terus menggoyangkan satu kakinya sampai-sampai seluruh isi meja resepsi tempatku duduk ikut bergetar dengan kencang.
"Kathleen, lihat punyamu. Kau dapat undian nomor berapa?"
"Tujuh belas."
Natalie mengamati semua tiket undian yang ada di tangannya. "Apa kau mau tukar dengan nomor 26 milikku?"
"Tidak usah, ini ambil saja punyaku."
"Sungguh?"
"Yeah, semoga kau beruntung."
Ia nyengir lebar. "Wow, terima kasih banyak!"
"Sama-sama."
Ponsel yang ada di dalam tas kecilku mendadak bergetar. Aku tidak tahu kalau Dad sudah meneleponku sebanyak lima belas kali karena tas ini kutinggalkan di kursi semenjak sesi dansa tadi. Ia juga barusan mengirimkan pesan suara yang isinya hanya terus menyuruhku agar lekas pulang, padahal setengah jam lagi acaranya akan selesai. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku harus tetap pulang sebelum Dad mengomeliku sepanjang malam.
"Ada apa?" tanya William yang ternyata sedang memperhatikanku. "Ayahmu menelepon?"
"Ya, tadi dia menyuruhku agar cepat pulang."
Will membenarkan posisi duduknya. "Jadi, kau mau pulang?"
"Umm, kau sendiri?"
"Aku terserah padamu. Kalau kau memang mau pulang sekarang, aku akan mengantarmu. Lagi pula, ini juga sudah larut malam. Orang tuamu pasti khawatir, apalagi mereka tahu kalau kau hanya pergi berdua dengan seorang cowok."
"Well, maaf. Ayahku kadang memang suka begitu. Kuharap kau tidak tersinggung," balasku lantas memasukkan ponsel kembali ke dalam tas. "Natalie, aku pergi dulu. Ayahku sudah menyuruhku untuk pulang."
"Oh, baiklah. Hati-hati di jalan!" sahutnya dan kubalas dengan anggukan.
Aku dan William segera melangkah keluar dari gedung mewah itu untuk pergi ke pelataran parkir. Semilir angin bertiup lumayan kencang dan terasa dingin seperti biasanya. Hanya ada sedikit bintang di hamparan langit gelap yang berkabut. Situasi di luar sini tampak begitu sepi lantaran semua orang masih sibuk menikmati acara terakhir dari pesta meriah malam ini.
Seingatku, William tadi mengenakan mobil putih untuk mengantarku kemari. Namun, entah mengapa mobil berwarna biru dongker yang terparkir di sampingnya seakan-akan sudah tidak asing lagi bagiku. Mungkin karena mobil sejenis itu terlalu banyak berlalu-lalang di tengah Kota Boston.
Will mengeluarkan kunci mobilnya dan berjalan mendahuluiku untuk membukakan pintu. Akan tetapi, di saat kuhendak masuk ke dalam, aku terkejut waktu melihat pemilik mobil silver tadi tahu-tahu membuka kaca jendelanya.
"Loh, Dad?" seruku, mendelik kaget.
"Ayo, pulang!" ajaknya. "Lihat ini sudah jam berapa?"
Aku mengerjap. "Bagaimana kau bisa tau kalau aku ada di sini?"
Aneh, padahal kemarin aku sengaja tidak memberitahunya di mana pesta ini akan berlangsung supaya ia tidak banyak bertanya atau malah menyusulku seperti sekarang.
Ia lantas menunjuk ke kursi penumpang yang ada di sebelahnya dan aku pun kembali terkejut. "Steve?"
"Hai!" sapanya seraya tersenyum lebar. Cowok itu sedang duduk di kursi penumpang dengan sangat santainya.
Steve lagi-Steve lagi! Sedang apa coba dia ada di situ? protesku dalam hati. Awas saja kalau dia berani memprovokasi atau mengatakan hal yang macam-macam dengan ayahku!
"Aku sudah meneleponmu berkali-kali, tapi tidak ada satu pun yang diangkat. Untung saja tadi Steve cepat mengangkat teleponku," keluh Dad sambil mengerutkan alis tebalnya.
Wajahku langsung cemberut. Benar-benar menjengkelkan. Kenapa sih dia tidak pernah bosan mencari gara-gara?
Aku menggerutu kesal lalu menoleh ke arah William dengan perasaan sedih. "Maaf, Will. Sepertinya, aku tidak bisa pulang bersamamu sekarang ...," kataku sembari menunduk murung.
"Ya, tidak masalah. Masuklah. Ayahmu sudah menunggu," balasnya pengertian.
Steve pun turun dari mobil Dad dan membukakan pintunya untukku. "Sampai ketemu lagi di sekolah, Kathleen!" Ia melambaikan tangannya.
"Thank you, Steve!" ujar Dad, bukan aku. Malas sekali. Aku tidak ingin mengucapkan sepatah kata apapun padanya selain kata umpatan.
"You're welcome, Mr. Watson!" sahutnya riang karena telah berhasil mengambil hati ayahku.
"Kalian berdua juga pulanglah. Ini sudah larut malam. Tidak baik berkeliaran di luar."
"Tentu, kami juga akan pulang setelah ini," sambung Steve sementara Will hanya mengangguk sopan membalas nasihat ayahku.
Aku merasa tidak enak hati meninggalkan William sendirian di sana bersama cowok tengil itu. Seharusnya kalau pergi bersama, kami juga pulang bersama sebagai etika sopan santun. Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih padanya gara-gara terlanjur geram dengan tingkah Steve barusan.
"Bagaimana pestanya? Menyenangkan?" celetuk Dad ketika mobil yang kami naiki sudah memasuki jalan raya utama.
Aku memutar bola mata. "Biasa saja. Tidak ada yang istimewa."
"Ohh." Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Well, kau masih belum memberitahuku. Siapa nama pemuda yang tadi mengantarmu? Will ... Willy?"
"William. Nama lengkapnya William Anderson. Aku biasa memanggilnya dengan nama Will," balasku jujur. "Kenapa?"
"Yeah, aku minta maaf kalau sempat tidak percaya denganmu. Setelah bertanya pada ibumu, ternyata dia juga mengenal William."
Kulirik ekspresi Dad yang sedang berbicara. "Sejak kapan Mom mengenalnya?"
"Entahlah." Ia menatapku sebentar lalu kembali mengalihkan pandangannya ke spion sebelah kiri. Ada sebuah mobil sedan dari belakang yang buru-buru ingin menyalip ke depan. "Dia bilang pemuda itu pernah datang ke rumah untuk mengantarkan kue karamel pesanan Mom."
"Kue karamel?" Aku memandang lampu-lampu yang berpendar di sepanjang jalan.
Ia mengangguk. "Kau tahu Mr. Thompson?"
"Tahu, tetangga kita di persimpangan jalan. Kita selalu melewati rumahnya setiap hari. Ia pemilik toko kue di Newbury Street, bukan?"
"Nah, itu dia. Ibumu bilang kalau William adalah keponakannya."
"Ah, pantas saja ... kukira William tinggal di sekitar situ karena Mr. Thompson sedang membuka penginapan baru."
"Tidak, Mr. Thompson sudah tidak membuka penginapan lagi. Terakhir kali ia bilang padaku kalau sedang ingin fokus mengelola toko kue," katanya. "Tapi, aku betul-betul baru tahu kalau ia punya keponakan laki-laki."
"Mungkin karena William selama ini tinggal di Charleston. Dia baru pindah ke sini tahun kemarin."
Dad mengetuk-ngetuk dagunya dengan satu tangan. "Charleston ... oh, kota di Carolina Selatan itu?"
Aku mengangguk.
"Wow! Kau tahu, itu adalah kota yang sangat indah. Charleston pernah dinobatkan menjadi kota terbaik di dunia. Aku dan ibumu pernah berencana ingin berlibur ke sana."
"Oh ya? Jangan lupa mengajakku kalau begitu."
Ia terkekeh pelan. "Yeah, pasti. Kami tidak mungkin melupakanmu."
Aku menatap ujung sepatu heels berwarna silver yang kukenakan. "Ngomong-ngomong, Steve tadi membicarakan apa saja denganmu?"
"Tidak banyak. Dia hanya bilang merindukan Boston semenjak pindah ke Chicago."
"Cuma itu?"
"Umm, dia juga sempat membicarakanmu."
"Membicarakan apa?" tanyaku seraya membulatkan mata.
"Steve meminta izin padaku kalau ingin mengantar-jemputmu ke sekolah setiap hari. Rumah barunya kebetulan satu arah dengan kita."
"Lalu?"
"Aku bilang tidak usah repot-repot. Tapi kalau kau mau, aku akan mengizinkanmu. Lagi pula, ayahnya kenal baik denganku. Kalian berdua juga sudah berteman sejak tahun pertama di high school, jadi kurasa tidak masalah. Kelihatannya dia anak yang baik-baik."
Baik-baik? Wah, andai saja kau tahu betapa ganasnya cowok itu, Dad! batinku sambil geleng-geleng kepala.
"Bagaimana menurutmu?" Ia kembali bertanya.
"Ugh, tidak usah. Terima kasih. Aku lebih suka naik bus sekolah saja," jawabku cepat.
"Oke, aku tidak akan memaksa kalau kau memang lebih suka naik bus sekolah bersama teman-temanmu."
"Ya, aku juga tidak mau terlalu banyak berhutang budi pada orang lain."
"Baiklah, aku mengerti maksudmu. Kau satu-satunya putriku yang paling manis dan mandiri, bukan?" lanjutnya memberikan pujian.
"Tentu saja!"
Kami tertawa bersamaan.
Dad langsung memasukkan mobilnya ke garasi begitu kami tiba di rumah. Aku mengucapkan selamat malam padanya kemudian melangkah masuk sementara ia mengunci pintu dan pagar depan. Kulihat Mom sudah tidur waktu aku melewati kamar milik orang tuaku yang berada di lantai bawah dekat tangga.
Selesai menggosok gigi dan mencuci muka, aku pun segera naik ke kamarku untuk beristirahat. Ruangan kecil bernuansa krem ini masih terlihat sangat berantakan karena belum sempat kubereskan lagi. Aku berjalan ke samping ranjang lalu menyalakan lampu tidur sebagai sumber penerangan agar tidak terlalu gelap. Sorot cahayanya yang lembut selalu berhasil membuatku merasa nyaman.
Sebelum tidur, aku menatap layar ponselku sejenak-berniat ingin mengabari William kalau aku sudah sampai di rumah. Namun, ponsel Will ternyata sedang tidak aktif setelah kucoba meneleponnya. Jadi, kali ini aku hanya mengirimkan sebuah pesan teks padanya yang berisi: William, terima kasih banyak untuk malam ini. Aku senang sekali bisa pergi bersamamu, kuharap kau juga begitu. Jangan lupa beristirahat. Selamat malam dan mimpi indah!